PADA 20 Maret 2002, pemerintah Belanda memperingati 400 tahun Vereenigde Oostindie Compagnie (VOC). Ratu Beatrix berpidato dan disiarkan langsung ke seluruh penjuru negeri Belanda. Menjelang puncak perayaan, sejarawan UGM Sri Margana, kala itu masih menempuh studi masternya di Leiden, diminta oleh seorang profesornya untuk ikut dalam perhelatan tersebut. Sang guru besar juga didaulat untuk berpidato di hadapan ratu.
Rencananya, beberapa mahasiswa yang berasal dari negeri-negeri bekas jajahan seperti Indonesia, Formosa (kini Taiwan), Ceylon (kini Srilangka) dan diminta untuk berdiri berbaris di belakang sang profesor ketika dia berpidato. Mereka diminta memakai pakaian tradisional asal negerinya sembari memegang komoditas khas negerinya masing-masing.
“Tentu saja saya dan dua kawan dari Indonesia menolak permintaan itu. Sebagai bangsa Indonesia kami merasa dilecehkan,” kenang Margana dalam seminar sejarah VOC di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 11 Februari lalu.
Dalam sejarah Indonesia, kedatangan VOC adalah awal dari jalan panjang penjajahan. Buat bangsa Belanda, kejayaan VOC adalah zaman keemasan, di saat armada dagang Belanda menguasai jalur perdagangan yang merentang mulai Tanjung Harapan di Afrika sampai Jepang dan Nusantara di Asia.
Semangat zaman untuk menemukan sumber rempah-rempah mendorong tumbuhnya minat penjelajahan di kalangan orang Belanda. Kamar dagang yang terbentuk di berbagai kota di Belanda berlomba-lomba membiayai ekspedisi untuk mencari daerah penghasil rempah-rempah.
Menurut sejarawan Mona Lohanda periode tersebut masuk ke dalam masa “voorcompagnieĆ‘n”, “atau bahkan disebut sebagai “pelayaran liar (wilde vaart) yang tidak diatur dan seringkali menimbulkan persaingan di kalangan perusahaan dagang Belanda sendiri,” ujar sejarawan-cum-arsiparis Arsip Nasional Republik Indonesia itu.
Pada masa itulah delegasi dagang Belanda pertama yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman berhasil tiba di Banten pada 23 Juni 1595. Keberhasilan itu menumbuhkan rasa percaya diri di kalangan mereka: tak hanya orang Portugis dan Spanyol yang bisa mencapai Nusantara, sumber penghasil rempah, tapi juga Belanda. Maka tiap-tiap kongsi dagang berlomba-lomba pergi ke timur, menggantungkan harapan mencari untung.
Dalam keadaan terpecah belah demikian, Belanda disibukkan oleh perang melawan Spanyol dan Portugal. Menurut sejarawan Universitas Leiden Femme Simon Gaastra kompeni-kompeni dagang yang tercerai berai tersebut tak mampu menghadapi kekuatan kedua armada itu.
“Sebaliknya, kompeni bersatu dapat menjadi senjata ampuh di bidang militer dan ekonomi,” tulis Gaastra dalam makalahnya “Organisasi VOC”.
Maka dimulailah proses perundingan untuk menyatukan kongsi-kongsi dagang yang ada di Belanda, enam di antaranya dari Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn dan Enkhuyzen. Awalnya tak semua sepakat dengan penyatuan itu, terutama wakil dari kamar dagang Zeeland. Mereka terlampau curiga atas dominasi Amsterdam. Namun berkat upaya keras dari Johan van Oldenbarneveldt dan campur tangan Pangeran Maurits, mereka bersedia bersatu di bawah panji VOC.
Johan van Oldenbarneveldt adalah pengacara yang mewakili Staten General (pemerintahan negeri Belanda). Penyatuan itu menurutnya, “Guna menimbulkan bencana pada musuh dan guna keamanan tanah air.”
Maka pada 20 Maret 1602 enam perusahaan dagang menggabungkan diri, membentuk Verenigde Oostindie Compagnie (VOC). Dengan penggabungan itu persaingan sengit di kalangan perusahaan dagang Belanda bisa diatasi. Belanda lebih siap menghadapi pesaingnya, Spanyol dan Portugis, yang merintangi jalan Belanda menguasai jalur perdagangan.
Menurut CR Boxer dalam Jan Kompeni: Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799, VOC dipimpin oleh suatu dewan pengelola atau majelis para pengurus yang terdiri dari 17 utusan dari enam kamar dagang yang sudah dilebur dalam VOC. Ketujuhbelas pemimpin itu dikenal dengacn sebutan Heeren Zeventien atau 17 tuan. Sementara itu untuk level manajerial ada 60 direktur yang terdiri dari 20 orang wakil dari Amsterdam, 12 wakil Zeeland dan tujuh wakil untuk empat kamar dagang kecil lainnya.
Pemerintah Belanda juga memberikan keistimewaan kepada VOC berupa hak oktroi. Hak tersebut antara lain menyebut “bahwa tidak satu pihak pun selain VOC yang diperbolehkan mengirimkan kapal-kapal dari negeri Belanda ke daerah seberang timur Tanjung Harapan dan di sebelah barat Selat Magalan,” tulis Gaastra.
Sebagaimana perusahaan dagang, kepemilikan VOC pun dibagi berdasarkan saham. Menurut sejarawan Mona Lohanda, kepemilikan saham voor-compagnie (perusahaan-perusahaan dagang pra pembentukan VOC) itu hampir tak berbeda dari VOC yang mendapat oktroi.
“Dari tukang cukur, tukang roti, pemilik warung sampai pedagang besar ikut beli saham dan mereka dapat andil (aandeel). Amsterdam mempunyai modal terbesar, karena itu mereka memiliki wakil paling banyak dalam Dewan Tujuhbelas,” ujar Mona.
Para direktur VOC juga diharuskan memiliki saham minimal 6 ribu gulden. Jumlah ini sekaligus jadi jaminan apabila kelak mereka melakukan penyalahgunaan wewenang atau penipuan, mereka dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkannya.
Hak oktroi pun memberikan keistimewaan lain kepada VOC untuk memiliki armada militer sendiri, termasuk mempersenjatai personil dan kapal-kapal mereka. Bahkan VOC dizinkan untuk memiliki mata uang sendiri untuk menjalankan aktivitas perdagangannya. Melalui oktroi, pemerintah Belanda juga memberi wewenang VOC untuk membangun benteng-benteng, mengerahkan serdadu, mengikat perjanjian dengan raja-raja dan mengangkat hakim-hakim.
Dokumen Hak Octrooi
DARI semua wilayah operasi VOC, wilayah Hindia Timurlah yang terluas cakupannya dan menjadi wilayah terpenting di Asia. Oleh karena itu menurut Femme Gaastra seluruh kantor VOC di Asia (dan Tanjung Harapan) tunduk pada Gubernur Jenderal VOC di Batavia.
Cengkeraman kekuasaan VOC dimulai perlahan-lahan. Diawali oleh perdagangan, berakhir pada campur tangan politik pada konflik-konflik yang terjadi di tubuh kerajaan-kerajaan. “Biasanya mereka datang untuk berdagang. Namun seringkali diundang terlibat membela salah satu pihak di dalam konflik perebutan kekuasaan di kerajaan. Dari situ mereka mendapatkan konsesi wilayah,” kata Mona.
Ricuh antara Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten dengan Sultan Haji adalah contoh terbaik bagaimana VOC bisa berhasil memanfaatkan konflik ayah dan anak itu. Banten lambat laun melemah seiring meluasnya pengaruh VOC di tubuh keluarga kesultanan yang terlibat pertikaian.
Namun tak selamanya cerita hubungan VOC dengan kerajaan berwarna kelabu. Di Kesultanan Buton, kompeni mendapatkan tempat di hati sultan dan petinggi kesultanan lainnya. Dari catatan Syekh Haji Abdul Ganiu, seorang ulama terkemuka dari Buton yang hidup pada abad ke-18, terjemahan oleh La Niampe dalam Nasihat Leluhur untuk Masyarakat Buton-Muna berharap persekutuan yang mengikat antara Kesultanan Buton dengan VOC (kemudian pemerintah Belanda) yang pernah dibuat pada 5 Januari 1613 bisa tetap dipertahankan.
“Wahai Sultan yang memegang kekuasaan, teguhkanlah perjanjian dengan Belanda. Apabila perjanjian dengan Belanda itu lemah, maka akan berwujud dua perkara, pertama, kita akan dikena sumpah, kedua, esok mengubah dolango (pelindung sultan dan rakyat-Red) tertumbuk perjanjian dengan Bone, sekejap mata saja esok kita tenggelam,” tulis Syekh Haji Abdul Ganiu.
Kongsi dagang para perompak
Menurut sejarawan Sri Margana, setiap awak kapal VOC yang hendak berlayar ke kepulauan Nusantara sudah siap mati dalam perjalanan. “Biasanya dari 300 kru yang berangkat, pulang 100 itu sudah bagus. Kerjaannya berat. Selama perjalanan 3,5 bulan ke Hindia Timur banyak yang sakit dan tewas,” kata dia.
Menurut doktor alumnus Universitas Leiden itu pada setiap kapal VOC selalu ada empat kategori profesi yang turutserta berlayar. Mereka adalah para saudagar (koopman), tentara bayaran, para pendeta dan kelompok terakhir terdiri dari pembuat peta, dokter serta ilmuwan.
Kendati dikenang sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia, VOC juga menyisakan cerita kelam tersendiri. Menurut Sri Margana tak semua pegawai VOC yang dikirim ke Hindia Belanda berwatak baik. “Orang yang bekerja di VOC adalah pengangguran, penjahat dan punya reputasi buruk,” ujarnya.
Tak semua orang Belanda menyanjung VOC pada zaman di saat kongsi dagang itu sedang berkibar. Pieter de la Court seorang usahawan dari Leiden yang hidup pada abad ke-15 dalam buku Aanwijzing der heilzame politieke gronden en maximum van de Republieke van Holland ende West-Vriesland (Petunjuk tentang dasar-dasar dan dalil-dalil politik yang bermanfaat dari Republik Holland dan Friesland) menulis kalau VOC mengirim “orang yang lalai, malas, boros dan jahat berlayar ke Kepulauan Hindia.”
Padahal katanya,“orang-orang Belanda yang berbakat, hemat, rajin dapat menjadi kolonis yang terbaik di dunia.” Tapi dalam urusan VOC ini, Pieter malah mengherankan lagi kalau ada orang Belanda cerdas, hemat dan rajin yang bersedia masuk dalam “dinas membudak demikian, kecuali dalam kebutuhan yang amat sangat.”
Sumber : http://historia.id/kuno
0 komentar:
Posting Komentar