Sabtu, 14 Januari 2017


Kali ini bulan Suro, suasana Gerdhu tiba-tiba menjadi lebih sepi. Para penghuninya pun tiba-tiba ikut-ikutan nyepi seperti orang Hindu ketika melaksanakan upacara nyepi.
“Loh mbah, kok mbah Kacud gak keliatan selama tiga hari ini to ?” Mad Fata muncul secara tiba-tiba menghampiri Nisito dan Juniti serta Culing yang lagi asyik tiduran di Gerdhu.
“Mbahmu lagi meguru Mad. Biarin aja biasanya setelah tiga hari juga muncul.” Sahut Nisito
Dari kejauhan nampak Arda yang menghampiri keempat penghuni Gerdhu yang diberi nama Gerah (Gerdhu para Rahwono) ini. Raut mukanya nampak kesal semakin memperburuk potongannya yang hanya berpakaian kaus kutang serta celana bolong di dhengkulnya.
“Kenapa Da. Wajah dan pakaian kok serasi, lecek. Haha..” Mad Fata memperhatikan wajah Arda seraya menyambut salaman gaul dari tangannya.
“Ahh, mbuh Mad. Saya kok ya bingung tadi pas mau beli rokok, ditegur sama ustad sebelah itu. Ndalil lagi. Katanya pakaiannya orang Islam itu yang sopan niru kanjeng Nabi. Berjubah atau bersarung pakek sorban, terus dzikir di masjid. Ahh lha aku beli rokok kok jubahan.” 
“Betul itu Da. Kanjeng Nabi dulu jubahan. Kita ya minimal sarungan terus diangkat sedikit biar gak masuk neraka.”
“Hubungane apa sarung sama Neraka, Ling. Islam kok ya mengerikan ngunu.” Arda ndak mau kalah sama Culing yang malah bela ustad tersebut.
“Loh kan katanya kalo sarung kita nglembreh nanti masuk neraka. Makanya kamu ngaji jangan di Gerdhu aja.”
“Loh kamu sendiri nek sudah mentok ngajimu yo akhire ngaji ke mbah Kacud.” Arda tidak terima. “Bukan urusan acara ta tempat Ling, tapi dapat apa kamu waktu ngaji.”
“Wes wes, begini lho lee. Kanjeng Nabi ndawuh ataupun melakukan sesuatu itu kita tidak boleh langsung menerima mentah-mentah. Harus tau dimensi sosial politiknya waktu itu, kondisi kebudayaannya, struktur manajemen berpikir masyarakatnya, wahh luas lee. Tidak bisa di telan mentah-mentah.” Juniti mulai membuka pembicaraan.
Memang beberapa hari ini diskusi di Gerdhu cenderung ngislami, entah karena terbawa suasana mistis bulan Suro yang identik dengan ngumbah pusoko bagi orang Jawa.
“Lah waktu Kanjeng Nabi ngomong tentang pakaian yang nglembreh. Kudu jelas itu bersifat kebendaan atau makna. Kalo kebendaan berarti kita harus tau kondisi lingkungan Arab.” Nisito turut menyumbangkan idenya
“Di Arab kan ya gitu-gitu aja kondisinya mbah, padang pasir tandus, banyak kurma, banyak domba.” Arda mencoba mengidentifikasi kondisi lingkungan Arabnya.
“Nah, terus kira-kira kenapa Kanjeng Nabi nyuruh pakaiannya diangkat?”
“Ya mungkin lho mbah ya, mungkin.” Kata Mad Fata. “Kanjeng Nabi nyuruh kita menjaga pakaian agar tidak kena debu yang diragukan kesuciannya, mungkin waktu angin agak kencang debunya bercampur telethong unta. Kan najis mbah.”
“Nah berarti yang disuruh ngangkat pakainnya apa menjaga kesuciannya ?”
“Kesucian mbah.”
“Nah, sekarang kita mencoba dari sisi makna. Kira-kira maksud pakaian nglembreh itu apa ?
“Apa ya mbah ?” Culing mendongakkan wajahnya. “Mungkin tandanya berlebihan mbah. Kan kalo nglembreh berarti pakaiannya lebih.”
“Nahh tepat. Berarti kalo berlebihan tandanya orang yang ?”
“Sombooong.” Hampir serentak ketiga pemuda itu menjawab Nisito
“Nah, berarti Kanjeng Nabi nyuruh kalo pakaian biasa aja, ndak usah terlalu bagus. Ataupun meskipun pakaiannya biasa, jangan sampai ada niat ingin menyombongkan diri.”
“Intinya.” Sahut Juniti. “Meskipun kita lempit sarung kita tapi tujuan kita tidak seperti maksud Kanjeng Nabi, ya salah kaprah lee.”
Ketiga pemuda tersebut manggut-manggut seperti diceramahi kyai tapi potongan kayak wong gendheng. Tak berselang lama, muncul sesosok orang njembling seperti busung lapar dengan mata yang sayu mendekati mereka. Tak salah lagi, Kacud menghampiri mereka dengan memakai baju surjan, sandal klompen, dan berjarik.
“Lo,, loo,, mbah Kacud ini mau nikah lagi to ? Iling mbah, udah layu.” Kata Mad Fata.
“Aku baru ketemu Kanjeng Nabi. Makanya pakai begini.”
“Loh kok ya aneh, ketemu Kanjeng Nabi ya pakek sarung bergamis mbah. Bukan kayak mantenan.” Culing nampak tidak terima.
“Itu kan Kanjeng Nabi menurutmu, Kanjeng Nabiku ya begini. Wong beliau orang Jawa kok, Cuma dulu bajunya jubah semua, makanya beliau berjubah. Coba beliau ndak disuruh ke Arab, ya mungkin bersurjan.”
“Mbah Kacud ini tiga hari nyepi udah sesat, tobat mbaah. Kanjeng Nabi pakaiannya jubah putih bagus, pakek sorban.”
“Nabimu kui sopo to ? Kanjeng Nabi Muhammad, Musailamah Al-Kadzab atau Abu Jahal ?”
“Ngawur mbah ini, ya Nabi Muhammad.”
“Lho ya gini pakaiane Kanjeng Nabi. Nek jubahan bagus yo Abu Jahal. Lha Kanjeng Nabi angon wedhus kok jubahan apik. Gile lo ndro.”
“Kanjeng Nabi berjubah kan memang pakaiannya di Arab semua berjubah. Beliau abdan Nabiyya. Nabi yang menghamba. Beliau mensejajarkan dirinya dengan orang atau rakyatnya yang pakaiannya paling buruk sehingga banyak tambalan di jubah beliau lee.” Ujar Nisito
“Kalau di Jawa mungkin Kanjeng Nabi ya bersurjan, pakai udheng, membawa keris. Makanya kanjeng Sunan Kalijaga ya begitu, niru nilai berpakaiannya Kanjeng Nabi, bukan niru pakaiannya.” Sambung Juniti
“Tapi tadi mbah Kacud bilang kalo kanjeng Nabi Muhammad orang Jawa. Kan pengawuran sejarah mbah.” Kata Culing
“Maklum Ling, mbah Kacud ndak sekolah.” Sahut Mad Fataa
“Memang secara jasad, beliau orang Arab. Namun, secara kepribadian dan karakter serta kelakuan, beliau berjiwa Jawa sehingga mbahmu Kacud menganggap beliau masih ada darah Jawa.” Kata Nisito
“Lho, kok bisa mbah ?” Culing kebingungan
“Coba, sifat kanjeng Nabi Muhammad itu bagaimana yang paling menonjol ?”
“Beliau lembut, ndak pemarah, pemaaf, dan apa lagi yaa...” jawab Mad Fataa
“Beliau adalah Al-Qur’an yang hidup.” Sahut Culing
“Wah, jawabanmu kurang kreatip. Kanjeng Nabi suka bertapa, suka ngitung-itung, suka kemenyan, suka musik, suka wetonan.” Tungkas Kacud
“Lho, lho, beneran to mbah ?”
“Ngawur sampeyan mbah !”
“Gini lee, Kanjeng Nabi kan juga melakukan bertapa atau menyendiri di tempat yang jauh dari keramaian. Atau mungkin kalian menyebutnya ya berkhalwat di Gua Hira. Akhirnya beliau mendapatkan kesejatian diri dengan diangkat menjadi Nabi dan Rasul.” Jawab Nisito
“Oiya ya mbah, beliau menyendiri 40 hari 40 malam sehingga mendapat wahyu.” Ucap Culing
“Lebih tepatnya, mendapat risalah dan nubuwah lee, bukan sekedar wahyu. Karena kalau wahyu, semua makhluk juga diwahyui oleh Gusti Allah. Wong lebah ae diberi wahyu kok, opo maneh potongan kita.” Sahut Juniti
“Kanjeng Nabi juga suka dengan perhitungan. seperti ketika beliau sakit, beliau minta air dari 7 sumur sebagai jalaran obatnya. Nah, coba kalian pikir lah, bangsa mana yang suka dengan begituan ?” tanya Nisito
Para pemuda nampak bingung ngelu dengar sebuah hal aneh yang kalo disalahkan ya kayaknya ndak salah, dibenarkan ya kok ndak ada dalam buku-buku pelajaran.
“Iya ya mbah, tak pikir-pikir juga begitu. Sifat orang Arab kan kebanyakan agak keras dengan suaranya yang lantang. Kalo saya belajar pembagian iklim ya wajar mereka berwatak keras karena iklim di sana kan ganas. Tapi kok ya Kanjeng Nabi itu berbeda, kok aluuus, kalem, santun, ngomongnya ya ndak keras tapi jelas.” Beber Arda yang dari tadi meneng tiba-tiba mulai muni.
“Wah wah, kamu kritis juga Da, kamu tau dari mana kok orang Arab keras ?”
“Kan pernah ada Sayyid atau orang sini nyebutnya Habib dari wilayah Arab ngisi pengajian, kalo ngomong ya beda dengan bangsa Jawa. Ngomongnya keras dan tidak basa basi. Kalo kita kan meskipun ngomong benar dan menyalahkan yang lain tetap memikirkan perasaan orang to mbah.”
“Joss, joss.” Kacud tiba-tiba bertepuk tangan. “Potonganmu kayak wong ngedos, tapi pikiranmu ngalah-ngalahi propesor.”
“Penampilan bukan patokan penilaian mbah. Haha”
“Tapi ya mosok Gusti Allah keliru nakdirkan kanjeng Nabi ke Arab ?” tanya Mad Fata
“Lho ya ndak lahh,, islam kui butuh penguatan akar. Makanya ditaru di Arab. Orang Arab kalo indah ya dibilang indah, kalo salah ya dibilang salah. Tegas, keras, dan kuat. Maka dinikahkan atau diperjodohkan dengan kanjeng Nabi sebagai sosok penghalus, pengasih, penyayang. Islam menjadi sebuah nilai yang lengkap dan indah dengan dasar yang kuat lee.” Ujar Nisito
“Betul itu Mad, nek ditaruh di Jawa, waah jelas ndak kuat. Disini salah ya yang ngomong salah yang dipertanyakan. Separuh bilang benar, separuh salah, wah serba dibulet-buletkan. Kemudian sifat Jawa ya manutan tanpa pikir panjang. Bahaya kalo islam turun disini, nanti jadinya kayak keyakinan lain yang punya banyak versi kitab sucinya.” Tungkas Arda sambil merem melek
“Sek sek sek. Kamu ini kerasukan jin apa kok tiba-tiba ngomong gini.” Tanya Kacud
“Lho kan, gini nih sifat Jawa. Orang benar dipertanyakan. Kalo di Arab, langsung manthuk-manthuk mbah. Huahua”
“Kampret kowe.”

0 komentar:

Posting Komentar

SEWELASAN

AGENDA

  • MENGOLEKSI
  • BERKEGIATAN
  • NAPAK TILAS

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget