Sakjane dolanan opo
ngaji, opo kok ngaji model dolanan, opo dolanan karo ngaji
Mad Fata dan Joko tampak kesal pulang ke
Gerdhu tempat pemuda berkumpul di desa Karang Sringah. Disana telah ditunggu
oleh tiga penghuni tetap Gerdhu yang sudah mengkeret dari ujung atas sampai bawahnya.
Ketiga penghuni Gerdhu tersebut memang setia menjaga eksistensi Gerdhu di
lingkaran gedung elit, lha wong memang ndak ada lagi yang dikerjakan.
“Kenapa Ko, dari pengajian gak sumringah
malah pucet gak karuan kayak sarung nglumbruk.” Kacud menyindir nyinyir
disertai suara ketawanya yang sedikit tapi nyelekit yang ditujukan
kepada kedua pemuda berusia masih tergolong degan yang baru sampai di Gerdhu
tersebut.
Joko menghela nafas seperti Sapi yang
melenguh. “Bosen mbah, mosok kok ngaji itu bahasannya membosankan. Surga ada
bidadari, sedekah biar kaya, puasa biar sakti, ahh padahal tiap hari tak
lakukan, gak kaya-kaya, apalagi sakti. Jangankan bidadari, ngejar tetangga
sebelah aja gagal total !”
Kacud tertawa ngakak mendengar kepolosan
Joko. Sementara si Mad
Fata menganggukkan kepalanya tanda senasib dengan
Joko. Juniti
dan Nisito yang berada di samping Kacud juga tak kuasa menahan tawa.
“Lah kalian sendiri pekok, wong pedagang
pasar disuruh jadi penceramah. Tiruen
mbahmu Juniti dan Nisito ngajinya ke wong
angon dan ludruk. Nek saya, gak usah
ngaji, mending dolanan neker, sempok’an. Ha ha ha”
Mad Fata sedikit tersinggung seolah
uraian si Joko tidak ditanggapi dengan serius. “Mbah, kalo ludruk itu tontonan
bukan pengajian ! Apalagi dolanan, itu hal yang musproh!”
Kacud semakin terpingkal mendengar
pembelaan Mad Fata. Sampai-sampai Gerdhu tempat mereka berkumpul tersebut
bergetar seperti ditimpa gempa yang menantikan meletusnya lahar dari saluran kencing
Kacud saking nemennya tertawa.
“Ha ha ha. Cukup
Cud, kasian anak cucumu ini, mereka masih menemui sedikit pengalaman. Kalo kamu tertawai terus nanti mundhak stress.” Kata Juniti
seraya menepuk pundak Kacud agar si mbah
yang pringisan ini menghentikan tawanya. “Mengaji atau ngaji yaitu menemukan
ajinya hidup lee. Dalam Bahasa jawa yaitu nggolek ajine urip.
Lain halnya dengan mengkaji yaitu mencari atau membahas sebuah masalah, hokum,
aturan atau kalo anak pondok mungkin nyebutnya
Fiqih.”
“Tapi sekarang ini semua istilah
tersebut diubah dan di wulak-walik sehingga orang sering menyamakan pengkajian
sebagai pengajian dan yang aslinya mengaji dianggap hanya sebagai permainan
atau tidak penting. Serba bingung anak-anak sekarang, makanya saya ndak heran
kalo kalian gak tau bedanya ngaji sama kajian.” Nisito menyahut Juniti yang
mulai mengajak kedua pemuda tersebut ngopi, ngopeni pikirane.
Joko dan Mad Fata mendengarkan kedua
simbahnya tersebut. Juniti memberi waktu sejenak agar kedua anak muda didepannya
itu memproses pitutur yang diberikan dan mengolahnya sehingga di pikiran mereka
timbul pemahaman yang mendasar. “Nahh, menemukan ajinya hidup berarti menemukan
karakter, tujuan hidup, melatih moral, tata krama, serta dimensi Tuhan melalui
berbagai cara baik berupa pitutur seperti di lingkungan pesantren atau surau,
maupun dikemas dalam bentuk sastra, pujian, tembang, dan permainan.”
“Berarti sekarang kalian ngaji, di
Gerdhu, oleh dosen lulusan wong angon
dan penonton ludruk. Hua hua hua.” Kacud kembali mengeluarkan kata-kata yang
seolah angger mecotot dari mulutnya
sembari menyeruput kopi yang dipesan dari warung sebelah Gerdhu.
“Biarkan mbahmu Kacud ini memang cocotnya ndak pernah dijemur atau di dugang
dulu.” Juniti mencoba meluaskan dada mereka biar bisa memaklumi simbah mereka
yang tidak pernah sekolah.
“Hushh,, melanggar HAM itu Jun. Nanti
kamu dipenjara karena ndugang siswanya, kan mental anak sekarang sik balita gak tau muda.” Kacud tertawa nyinyir dengan
rokok kreteknya menyebut menyelimuti ruang kosong Gerdhu.
“Wes kembali ke topik tadi Mbah. Ini
kopiku sudah adhem nungguin.” Joko menimpali menerobos kedua Simbahnya yang
membuka topik baru. “Berarti mbah Kacud itu ndak dolanan ya, tapi ngaji juga to
mbah ?”
“Salah satu ngaji itu ya dolanan itu
lee, makanya mbahmu Kacud itu ndak sekedar main saja, tapi ngaji dari dolanan
atau permainan warisan bapak buyut tersebut. Permainan tradisional warisan
leluhur sangat jauh berbeda dengan berbagai permainan jaman sekarang. Tidak
bisa dapat dikatakan kalau permainan sekarang merupakan perkembangan modern
dari permainan jaman dulu. Jelas sangat berbeda baik dari segi jenisnya,
manfaatnya, mudaratnya, apalagi maknanya.” Nisito menjelaskan dengan senyum tipisnya
melihat kedua anak muda yang mulai memahami dasar ilmunya.
“Kalo gitu yo saya ndak usah ikut
pengajian rutin lagi. Mending maen online saja di hape niru mbah Kacud. Betul
ndak Ko.”
“Ngene lo lee, kudu kita bedakan mana
permainan yang maknanya untuk mencari Aji, mana yang ndak. Bagaimana mungkin
game semisal online disamakan dengan game seperti gobak sodor,nekeran,
dan sebagainya. Jenis permainan tradisional memiliki banyak keragaman dan makna
yang mendalam. Bahkan nilainya pun jauh daripada game sekarang.” Nisito mencoba
menjelaskan dolanan yang dimaksud oleh rekanannya, Kacud.
Kacud tiba-tiba meremas pipi si Mad dan
memelototi matanya, “Lha aku mbok padakné
sama Pokemon ? Asu tenan, Nggatéli !” Joko dan Nisito tak tahan
meluapkan tertawaannya melihat kelakuan Kacud. Mad Fata yang kaget ketika
wajahnya langsung duel dengan wajahnya Kacud yang mengkerut dengan matanya yang
berkantung-kantung akibat keseringan mereka melék’an
dan main gaplé menyahut, “Hehehe, maap-maap mbah, saya gak mikirin sampék kesitu.
Berarti perbedaannya sangat banyak antara permainan dulu dengan sekarang yo
mbah. Subjeknya dulu manusia yang main, sekarang subjeknya permainan itu
sendiri yang mempermainkan kami.”
Juniti tersenyum seraya tetap mengemut
rokok linwe (nglinting dewe) dari kulit jagung ketika mendengar penjelasan Mad
Fata dan kelakuan Kacud yang sok dramatis, “Untuk memahami lebih lanjut, ayo
kita belajar memetakan dan mengklasifikasikan apa saja jenis dolanan jaman dulu
yang diwariskan langsung kepada anak cucu. Dahulu itu permainan memang jadi
objek agar manusia yang merupakan subjek bisa mengambil nilai dan ilmu dari dolanan
itu lee, sekarang berbeda.”
“Jaman mbahmu dolanan itu bisa buat ngincer perawan desa, kuat-kuatan, kendhel-kendhelan, wah sing gak bisa dolanan
ya jadi sasaran. Diisin-isin. Diplorot kathoknya, sekarang diplorot kathoknya pelecehan seksual, masuk
penjara. Siapa juga sing merangsang liat bokong njamuren.” Kacud menyelonong masuk pembicaraan.
“Sekarang sudah ada hape mbah, tinggal sms dibales udah seneng pol polan.” Joko
membela jamannya, padahal pas dipikir-pikir ya memang salah juga.
“Jangan
langsung diemplok lee cangkemnya mbahmu Kacud. Kudu dipahami maksudnya,
maknanya, diperluas akal pemikirannya. Maksudnya mbahmu itu dolanan jaman
dahulu diajari bagaimana jadi anak yang tangguh mentalnya, kuat daya
pertahanannya, luas cara berpikirnya, serta saling menghormati dan menghargai.
Lha kalo gak saling menghormati jelas yang kalah main ndak terima terus
tawuran.” Juniti mencoba memperluas pandangan kedua anak muda tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar