Jumat, 23 Desember 2016


Sakjane dolanan opo ngaji, opo kok ngaji model dolanan, opo dolanan karo ngaji


Mad Fata dan Joko tampak kesal pulang ke Gerdhu tempat pemuda berkumpul di desa Karang Sringah. Disana telah ditunggu oleh tiga penghuni tetap Gerdhu yang sudah mengkeret dari ujung atas sampai bawahnya. Ketiga penghuni Gerdhu tersebut memang setia menjaga eksistensi Gerdhu di lingkaran gedung elit, lha wong memang ndak ada lagi yang dikerjakan.
“Kenapa Ko, dari pengajian gak sumringah malah pucet gak karuan kayak sarung nglumbruk.” Kacud menyindir nyinyir disertai suara ketawanya yang sedikit tapi nyelekit yang ditujukan kepada kedua pemuda berusia masih tergolong degan yang baru sampai di Gerdhu tersebut.

Joko menghela nafas seperti Sapi yang melenguh. “Bosen mbah, mosok kok ngaji itu bahasannya membosankan. Surga ada bidadari, sedekah biar kaya, puasa biar sakti, ahh padahal tiap hari tak lakukan, gak kaya-kaya, apalagi sakti. Jangankan bidadari, ngejar tetangga sebelah aja gagal total !”
Kacud tertawa ngakak mendengar kepolosan Joko. Sementara si Mad Fata menganggukkan kepalanya tanda senasib dengan Joko. Juniti dan Nisito yang berada di samping Kacud juga tak kuasa menahan tawa.
“Lah kalian sendiri pekok, wong pedagang pasar disuruh jadi penceramah. Tiruen mbahmu Juniti dan Nisito ngajinya ke wong angon dan ludruk. Nek saya, gak usah ngaji, mending dolanan neker, sempok’an. Ha ha ha”
Mad Fata sedikit tersinggung seolah uraian si Joko tidak ditanggapi dengan serius. “Mbah, kalo ludruk itu tontonan bukan pengajian ! Apalagi dolanan, itu hal yang musproh!”
Kacud semakin terpingkal mendengar pembelaan Mad Fata. Sampai-sampai Gerdhu tempat mereka berkumpul tersebut bergetar seperti ditimpa gempa yang menantikan meletusnya lahar dari saluran kencing Kacud saking nemennya tertawa.
Ha ha ha. Cukup Cud, kasian anak cucumu ini, mereka masih menemui sedikit pengalaman. Kalo kamu tertawai terus nanti mundhak stress.Kata Juniti seraya menepuk pundak Kacud agar si mbah yang pringisan ini menghentikan tawanya. “Mengaji atau ngaji yaitu menemukan ajinya hidup lee. Dalam Bahasa jawa yaitu nggolek ajine urip. Lain halnya dengan mengkaji yaitu mencari atau membahas sebuah masalah, hokum, aturan atau kalo anak pondok mungkin nyebutnya Fiqih.”
“Tapi sekarang ini semua istilah tersebut diubah dan di wulak-walik sehingga orang sering menyamakan pengkajian sebagai pengajian dan yang aslinya mengaji dianggap hanya sebagai permainan atau tidak penting. Serba bingung anak-anak sekarang, makanya saya ndak heran kalo kalian gak tau bedanya ngaji sama kajian.” Nisito menyahut Juniti yang mulai mengajak kedua pemuda tersebut ngopi, ngopeni pikirane.
Joko dan Mad Fata mendengarkan kedua simbahnya tersebut. Juniti memberi waktu sejenak agar kedua anak muda didepannya itu memproses pitutur yang diberikan dan mengolahnya sehingga di pikiran mereka timbul pemahaman yang mendasar. “Nahh, menemukan ajinya hidup berarti menemukan karakter, tujuan hidup, melatih moral, tata krama, serta dimensi Tuhan melalui berbagai cara baik berupa pitutur seperti di lingkungan pesantren atau surau, maupun dikemas dalam bentuk sastra, pujian, tembang, dan permainan.”
“Berarti sekarang kalian ngaji, di Gerdhu, oleh dosen lulusan wong angon dan penonton ludruk. Hua hua hua.” Kacud kembali mengeluarkan kata-kata yang seolah angger mecotot dari mulutnya sembari menyeruput kopi yang dipesan dari warung sebelah Gerdhu.
“Biarkan mbahmu Kacud ini memang cocotnya ndak pernah dijemur atau di dugang dulu.” Juniti mencoba meluaskan dada mereka biar bisa memaklumi simbah mereka yang tidak pernah sekolah.
“Hushh,, melanggar HAM itu Jun. Nanti kamu dipenjara karena ndugang siswanya, kan mental anak sekarang sik balita gak tau muda.” Kacud tertawa nyinyir dengan rokok kreteknya menyebut menyelimuti ruang kosong Gerdhu.
“Wes kembali ke topik tadi Mbah. Ini kopiku sudah adhem nungguin.” Joko menimpali menerobos kedua Simbahnya yang membuka topik baru. “Berarti mbah Kacud itu ndak dolanan ya, tapi ngaji juga to mbah ?”
“Salah satu ngaji itu ya dolanan itu lee, makanya mbahmu Kacud itu ndak sekedar main saja, tapi ngaji dari dolanan atau permainan warisan bapak buyut tersebut. Permainan tradisional warisan leluhur sangat jauh berbeda dengan berbagai permainan jaman sekarang. Tidak bisa dapat dikatakan kalau permainan sekarang merupakan perkembangan modern dari permainan jaman dulu. Jelas sangat berbeda baik dari segi jenisnya, manfaatnya, mudaratnya, apalagi maknanya.” Nisito menjelaskan dengan senyum tipisnya melihat kedua anak muda yang mulai memahami dasar ilmunya.
“Kalo gitu yo saya ndak usah ikut pengajian rutin lagi. Mending maen online saja di hape niru mbah Kacud. Betul ndak Ko.”
“Ngene lo lee, kudu kita bedakan mana permainan yang maknanya untuk mencari Aji, mana yang ndak. Bagaimana mungkin game semisal online disamakan dengan game seperti gobak sodor,nekeran, dan sebagainya. Jenis permainan tradisional memiliki banyak keragaman dan makna yang mendalam. Bahkan nilainya pun jauh daripada game sekarang.” Nisito mencoba menjelaskan dolanan yang dimaksud oleh rekanannya, Kacud.
Kacud tiba-tiba meremas pipi si Mad dan memelototi matanya, “Lha aku mbok padakné sama Pokemon ? Asu tenan, Nggatéli !” Joko dan Nisito tak tahan meluapkan tertawaannya melihat kelakuan Kacud. Mad Fata yang kaget ketika wajahnya langsung duel dengan wajahnya Kacud yang mengkerut dengan matanya yang berkantung-kantung akibat keseringan mereka melék’an dan main gaplé menyahut, “Hehehe, maap-maap mbah, saya gak mikirin sampék kesitu. Berarti perbedaannya sangat banyak antara permainan dulu dengan sekarang yo mbah. Subjeknya dulu manusia yang main, sekarang subjeknya permainan itu sendiri yang mempermainkan kami.”
Juniti tersenyum seraya tetap mengemut rokok linwe (nglinting dewe) dari kulit jagung ketika mendengar penjelasan Mad Fata dan kelakuan Kacud yang sok dramatis, “Untuk memahami lebih lanjut, ayo kita belajar memetakan dan mengklasifikasikan apa saja jenis dolanan jaman dulu yang diwariskan langsung kepada anak cucu. Dahulu itu permainan memang jadi objek agar manusia yang merupakan subjek bisa mengambil nilai dan ilmu dari dolanan itu lee, sekarang berbeda.”
“Jaman mbahmu dolanan itu bisa buat ngincer perawan desa, kuat-kuatan, kendhel-kendhelan, wah sing gak bisa dolanan ya jadi sasaran. Diisin-isin. Diplorot kathoknya, sekarang diplorot kathoknya pelecehan seksual, masuk penjara. Siapa juga sing merangsang liat bokong njamuren.” Kacud menyelonong masuk pembicaraan. “Sekarang sudah ada hape mbah, tinggal sms dibales udah seneng pol polan.” Joko membela jamannya, padahal pas dipikir-pikir ya memang salah juga.

 “Jangan langsung diemplok lee cangkemnya mbahmu Kacud. Kudu dipahami maksudnya, maknanya, diperluas akal pemikirannya. Maksudnya mbahmu itu dolanan jaman dahulu diajari bagaimana jadi anak yang tangguh mentalnya, kuat daya pertahanannya, luas cara berpikirnya, serta saling menghormati dan menghargai. Lha kalo gak saling menghormati jelas yang kalah main ndak terima terus tawuran.” Juniti mencoba memperluas pandangan kedua anak muda tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar

SEWELASAN

AGENDA

  • MENGOLEKSI
  • BERKEGIATAN
  • NAPAK TILAS

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget