Jumat, 23 Desember 2016


Jan-jane Lagu kui duwe agomo opo ora to yo


“Asyem mbah. Yang dinyanyikan di masjid kok lagunya itu-itu aja. Mbok ya lagu dangdut ta rapper.” Arda menyembujungkan kakinya di Gerdhu bersama Juniti dan Nisito sambil nyeletuk orang yang sedang asyik pujian di masjid.
“Ngawur, dosa itu Da mosok masjid dibuat dangdutan. Yo dituthuk ndasmu sama bedug.” Culing yang keasyikan ngleset di Gerdhu spontan menimpali omongan Arda yang dirasa mulutnya gak pernah disekolahkan.
Juniti yang gatel karena omongan kedua pemuda ini akhirnya menyahuti. “Haha, kalian ini kok lucu to bahas lagu-laguan. Kamu tau lagu ndak ? Tanya mbahmu Nisito yang pernah duet bareng Michael Jackson, Taylor Swift, Justin Timberlake, Megan Trainor, dan Avril nyanyi tombo ati.”
“Ah, mbah Jun ini bisa-bisa ae.”

“Loh beneran ini Ling. Mbahmu Nisito wis apal ketépal segala jenis lagu.”
“Ngawur kowé Jun.” Nisito yang asyik menyedot rokok kretek khas Kediri menyahuti Juniti. “Sekarang gini lo lee, memang lagu itu apa ?” tanya Nisito
“Lagu ya nada mbah.” Sahut Culing
“Lha kamu ngomong itu apa ndak sebuah nada ?”
“Lho ya ndak kan ndak merdu.”
“Lho gimana to lee, ndak merdu itu sifatnya. Tapi kan tetep lagu. Kalo kamu ngomong ndak ada lagunya datar yo gendheng to ya ?”
“Iya juga ya mbah.”
“Lha apa yang tidak lagu didunia ini? Gusti Kang Moho Tunggal nyiptain apapun memiliki nada, lee. Daun bergesekan, ranting berjatuhan, angin yang masuk ke lubang.”
“Wahh mbah To sok puitis.”
“Lha sekarang menurutmu, kalo di masjid pantesnya lagu apa Ling ?”
“Lho yaa lagu Islami to mbah.”
“Lagu kok Islam. Lagu mosok punya agama?”
“Ya bukan gitu mbah. Tapi bernafaskan Islam.”
“Lha, kalo saya sholawatan dengan nada yang digunakan di Gereja, piye ?
“Lho ngawur mbah ini. Yo ndak boleh to mbah.”
“Lha kan tujuanku Sholawatan, sing penting nada apa maksudnya ?”
“Yaa maksudnya sih mbah.”
Nek saya bisa ketemu Kanjeng Nabi pas Sholawatan dengan lagu yang biasa di Gereja atau Sinagog Yahudi, piye ? Berani nyalahkan to ?”
“Buyar-buyar ! Ganggu wong ngopi aja !” Kacud muncul tiba-tiba dari belakang Gerdhu membawa se-Morong kopi pahit dan beberapa rokok yang diliting sendiri dengan mencampurkan tembakau, jahe, jinten, dan beberapa ramuan lainnya. “Ada apa ini dari tadi kok nyerocos aee.”
Jenengan ini ya gitu mbah kok yo moro-moro datang kayak marah tapi tangannya bawa berkah.” Ucap Arda sambil mengambil alih Morong dari tangan Kacud.
“Lho jangan lihat mulutnya, tapi kopinya. Haha.”
“Gini lho mbah Cud. Ini tadi saya usul pujian di masjid itu gawe lagu dangdut.”
“Wahh bagus itu, malah saya buat fatwa WAJIB. Haha”
“Lho kok bisa gitu mbah, emang boleh to mbah.”
Sing gak boleh itu pas ada khotib naik mimbar terus kamu nyanyi dangdutan.”
“Nek itu mbasi baca yasin juga ndak boleh mbah kalo pas jumatan.”
“Hahaha, kamu ndak tau, jaman mbah-mbah seumuranmu, adzan, pujian, dan ngimami ya gawe lagu Slendro Pelog.” Sahut Juniti. Juniti mencoba membuka keluasan pengalaman anak muda ini dengan bernostalgia.
“Lho, Slendro Pelog itu apa mbah ? judul lagu ta ?”
“Itu jenis lagu, Ling. Lagu yang di Jawa ya lagu Jawa. Kalo menurut orang sing sekolah-sekolah itu ya Langgam Jawa. Mungkin kamu yo nganggapnya kayak nyinden.”
“Lagu itu hanya alat atau cara untuk mengungkapkan sesuatu dan tujuan. Kayak jalan ke Jakarta ya terserah kamu lewat mana naik apa, yang penting tujuanmu Jakarta. Jika ada lagu yang menggunakan teks arab, bukan berarti lagu Islami karena lagu yang dilantunkan jemaat Gereja di Mesir juga berbahasa Arab dan iramanya seperti Qasidah. Hayo piye.”
“Makanya liato streaming yutub haigh laigh sepak bola sing komentatore dari Arab. Nadanya masih enak dan lantang  itu daripada ngajimu. Haha” Kacud menyahuti Nisito sambil mencoba menggaya dengan ngomong istilah Nginggris.
Juniti yang lebih diam tak mau ketinggalan memberikan pengajian kepada mereka. “Maka, karena lagu hanyalah alat sehingga boleh digunakan siapapun juga. Jika kebetulan teksnya dan penghayatan yang nyanyi itu penghayatan Islami, berarti bernuansa Islami, tapi lagunya menggunakan lagu apapun boleh asal tidak menyalahi aturan yang mutlak dan pada kondisi yang tepat. Aturan yang mutlak tersebut seperti jika melagukan Al-Qur’an maka tidak boleh menyalahi tajwidnya. Kondisi yang tepat berarti tahu kapan lagu itu digunakan agar tidak bersinggungan dan menimbulkan keburukan. Dangdutan ya baik, Konser musik jug baik, yang nggak baik kalo dangdutan ya udo-nya, goyang bokongnya. Jangankan dangdut, berjalan aja kalo dengan tujuan menarik orang sehingga si orang merangsang juga ndak boleh lah kalo menurut mbah lee. Lagu Jawa juga oke ndak syirik, ngaji dengan langgam Jawa yo asyik. Langgam kui ada berapa To aku kok lupa ?”
“Haha, nggayamu sok lupa Jun.” kata Nisito. “Lagu di dunia secara global ada tiga jenis notasi atau langgam. Ada langgam barat yaitu notasi do-re-mi-fa-sol, seperti lagu Sholawat Nariyah, Indonesia Raya, dan Syi’ir Tanpo Waton semua menggunakan notasi barat. Notasi kedua yaitu notasi Jawa dimana terdapat dua jenis, Slendro yang lebih cepat dan Pelog yang lebih lambat atau minor. Adapun notasi ketiga notasi Mesir atau daerah sekitar Persia.
“Ohh mbulet juga yo Mbah padahal urusan dengan lagu. Kalo gitu sekalian mbah aku mbok ya diajari lagu-lagu Jawa biar bisa.” Kali ini Arda meminta para mbah-mbahnya menjelentrehkan lagu-lagu Jawa.
“Lagu gundulmu!” ucap Kacud. “Jaman mbah dulu berdzikir terus ndak nyanyi-nyanyi koyok jaman kamu.” Kacud seolah tak punya beban ngomong sambil nyedot rokok lintingannya.
“Mbahmu Kacud memang kakean ilmu lee, jadinya ya gini.” Kata Juniti sambil memiringkan tangannya ke bathuknya. Juniti menjelaskan omongan Kacud sebelum pemuda tersebut dibuat gendheng karena putus harapannya. “Memang dulu lagu Jawa bukan sekedar lagu lee, tapi yaa pitutur, ajaran hidup, pedoman, bahkan sebuah cara pendekatan dengan Tuhan.”
“Nahh, ayo tak ajarkan beberapa lagu sedikit sekaligus maknanya sedikit.” Nisito pun mulai menembangkan lagu disertai gendangan dari Kacud yang memanfaatkan papan di Gerdhu tersebut.
Ilir ilir
Lir ilir.. Lir ilir
Tandure wes sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak senggo kemanten anyar
Cah angon, cah angon
Penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo mbasuh dodot iro
Dodot iro dodot iro
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono
Kanggo sedo mengko sore
   Mumpung padhang rembulane
   Mumpung jembar kalangane
   Yo surak’o, surak iyoo…

Lagu Ilir ilir ini memiliki kajian makna yang sangat banyak dan bisa digunakan siapapun dan umur berapapun. Bisa digunakan anak-anak, pemuda, orang tua, pemimpin, suami-istri, bahkan bangsa. Inilah keunikan kelebihan tembang jawa Lir-ilir tersebut yang ditulis oleh seorang sunan. Bahkan dalam ranah Nasional, Lir-Ilir ini disebut sebagai lagu pengingat bahwa ada ancaman besar yang akan mampu membuat sobeknya kedaulatan negara, maka harus di dondomi (dijahit) sebelum terlambat.
Cah angon dalam Jawa identik dengan kepemimpinan. Maka yang harus menek blimbing adalah pemimpin. Jika dalam keluarga berarti yang menek blimbing atau menjaga keutuhan rumah tangga baik dari segi ekonomi, keimanan, ketentraman adalah ayah. Dalam ranah sekolah, maka yang harus menek blimbing adalah seorang guru. Namun lagu ini mengingatkan bahwa menek blimbing itu sangat sulit (lunyu) untuk membasuh dhodhot (hati).


Dhayohe teka
E Dhayohe teka
E Gelarno Klasa
E Klasane bedhah
E tambalen jadah
E jadahe mambhu
E pakakno Asu
E asune mati
E buwak neng kali
E kaline banjir
E deleh nang pinggir
E pinggire santer
E centhelno pager
E pagere ambruk
E mergo tak tubruk
      Lagu ini juga peninggalan walisanga yang dapat dinyanyikan dengan tempo tinggi sehingga seperti rapper, bisa dengan nada slow diiringi gamelan Jawa dan lenggak lenggok sinden.
      Lagu Dhayohe teka (tamunya datang) memiliki banyak kajian filosofis dan moral ketika kita kedatangan tamu dan menghadapi persoalan hidup (mencari solusi hidup).
      Ketika ada tamu yang datang, maka sudah sepantasnya kita menggelar klasa. Menggelar klasa atau tikar berarti mempersilahkan masuk dan mendudukkan di tempat yang sudah sementinya. Baru kemudian ada permasalahan awal, yaitu klasane bedhah (tikar yang bolong). Ada dua maksud, yang pertama klasane bedhah berarti tidak ada apa-apa dalam pelungguhan tamu, maka harus disuguhi jadah. Maksud yang kedua, ketika klasane bedhah (entah tidak ada suguhan, tidak ada jamuan makan, atau memang klasane yang bedhah) maka tuan rumah harus mencari solusi yang pas. Namun solusinya kurang pas karena tikar bedhah kok ditambal dengan jadah (ketan).
      Kemudian permasalahan lainnya pun muncul karena salah memberi solusi awal, Jadahnya mambhu. Kemudian solusinya malah dipakakne (dikasihkan) asu. Di seluruh dunia pun tau tidak ada anjing yang doyan ketan apalagi mambu. Akhirnya timbul masalah baru, asune mati. Sehingga tidak hanya bermasalah dengan tamunya (manusia), tetapi juga bermasalah dengan hewan. Maka solusinya dibuwang ke Kali. Otomatis Kalinya jadi banjir karena terhambat bathang’e (bangkai) asu. Maka timbul permasalahan dengan alam. Seperti itulah jika kita salah solusi dalam memecahkan masalah. Masalah baru akan muncul lagi.
Joko Pentil
Joko pentil ayo thil
Tela telo ayo lo
Lopes mambu ayo mbu
Mbukak tenong ayo nong
Nongko sabrang ayo brang
Brangkat ngaji ayo ji
Jimat rojo ayo jo
Joko pentil tela telo ayo lo
      Lagu ini sangat unik seperti sebuah lagu sambung kata.Lagu yang jika dinyanyikan sampai kiamat juga tidak akan ditemukan ujungnya. Nyanyian yang konon dibuat oleh salah satu walisanga entah kemungkinan sunan Kalijaga. Maka jelas ini bukan sebuah lagu saja. Pentil disini perlu diperjelas apakah maknanya pentil di sepeda, atau pentil yang berarti sesuatu yang kecil mungil.
      Jika diartikan mentil, maka secara konteks kultural mentil berarti masih tidak bisa mandiri, tidak dewasa, dangkal pemikirannya. Maka dari itu jika ada joko yang masih mentil, dia akan tela telo. Joko memiliki dimensi yang luas, bisa seorang pemuda, bisa pemimpin yang masih muda usia jabatannya, bisa guru yang baru mulai masuk dunia pendidikan, tergantung siapa yang menyanyikannya.
      Joko pentil nantinya merupakan tonggak yang akan menentukan nasib ke depannya. Jangan sampai nasibnya menjadi lopes mambu. Jika sudah terlanjur masuk ke dalam lopes mampu atau kondisi yang kurang baik, sistem yang buruk, birokrasi yang licik, maka harus cepat mbukak tenong (bibit baru). Membuka kembali keluasan berpikir, kedalaman hati, dan kejernihan akal. Agar menjadi nongko sabrang. Kemudian untuk mendapatkan sebuah jimat rojo, maka harus mendalami ilmu Nongko sabrang yang dapat diartikan sebuah pengetahuan dari luar daerahnya sebagai bahan penguatan, bukan bahan percontohan. Atau bisa juga diartikan sebagai ilmunya yang tidak hanya kedaerahan tetapi mendunia untuk kemudian digunakan di daerahnya. Tak hanya nongko sabrang tetapi juga diimbangi dengan brangkat ngaji, pasti sudah paham semua maknanya.
      Kedua gabungan cara tersebut nantinya membawa kepada jimat rojo. Orang jawa pasti sudah familiar dengan jimat yaitu sebuah perlindungan agar kebal, kebal dari penderitaan. Tahan banting, bantingan ekonomi dan kehidupan. Sakti, dalam menghadapi kesulitan dan permasalahan yang ada di sekitarnya. Apalagi bukan jimat sembarangan, tetapi jimat rojo.

Namun, jika tidak mampu mendapatkan jimat rojo, yaa jadi Joko pentil yang tela telo. Maka, selamat mentil wahai para joko pentil.

0 komentar:

Posting Komentar

SEWELASAN

AGENDA

  • MENGOLEKSI
  • BERKEGIATAN
  • NAPAK TILAS

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget