Jan-jane Lagu kui duwe agomo opo ora to yo
“Asyem mbah. Yang dinyanyikan
di masjid kok lagunya itu-itu aja. Mbok ya lagu dangdut ta rapper.” Arda menyembujungkan kakinya di Gerdhu bersama Juniti
dan Nisito sambil nyeletuk orang yang sedang asyik pujian di masjid.
“Ngawur, dosa itu Da mosok
masjid dibuat dangdutan. Yo dituthuk
ndasmu sama bedug.” Culing yang keasyikan ngleset di Gerdhu spontan
menimpali omongan Arda yang dirasa mulutnya gak pernah disekolahkan.
Juniti yang gatel karena
omongan kedua pemuda ini akhirnya menyahuti. “Haha, kalian ini kok lucu to
bahas lagu-laguan. Kamu tau lagu ndak ? Tanya mbahmu Nisito yang pernah duet bareng
Michael Jackson, Taylor Swift, Justin Timberlake, Megan Trainor, dan Avril
nyanyi tombo ati.”
“Ah, mbah Jun ini bisa-bisa
ae.”
“Loh beneran ini Ling. Mbahmu
Nisito wis apal ketépal segala jenis
lagu.”
“Ngawur kowé Jun.” Nisito yang asyik menyedot rokok kretek khas Kediri
menyahuti Juniti. “Sekarang gini lo lee, memang lagu itu apa ?” tanya Nisito
“Lagu ya nada mbah.” Sahut
Culing
“Lha kamu ngomong itu apa ndak
sebuah nada ?”
“Lho ya ndak kan ndak merdu.”
“Lho gimana to lee, ndak merdu
itu sifatnya. Tapi kan tetep lagu. Kalo kamu ngomong ndak ada lagunya datar yo gendheng to ya ?”
“Iya juga ya mbah.”
“Lha apa yang tidak lagu
didunia ini? Gusti Kang Moho Tunggal
nyiptain apapun memiliki nada, lee. Daun bergesekan, ranting berjatuhan, angin
yang masuk ke lubang.”
“Wahh mbah To sok puitis.”
“Lha sekarang menurutmu, kalo
di masjid pantesnya lagu apa Ling ?”
“Lho yaa lagu Islami to mbah.”
“Lagu kok Islam. Lagu mosok
punya agama?”
“Ya bukan gitu mbah. Tapi
bernafaskan Islam.”
“Lha, kalo saya sholawatan
dengan nada yang digunakan di Gereja, piye ?
“Lho ngawur mbah ini. Yo ndak
boleh to mbah.”
“Lha kan tujuanku Sholawatan, sing penting nada apa maksudnya ?”
“Yaa maksudnya sih mbah.”
“Nek saya bisa ketemu Kanjeng Nabi pas Sholawatan dengan lagu yang
biasa di Gereja atau Sinagog Yahudi, piye ? Berani nyalahkan to ?”
“Buyar-buyar ! Ganggu wong
ngopi aja !” Kacud muncul tiba-tiba dari belakang Gerdhu membawa se-Morong kopi
pahit dan beberapa rokok yang diliting sendiri dengan mencampurkan tembakau,
jahe, jinten, dan beberapa ramuan lainnya. “Ada apa ini dari tadi kok nyerocos
aee.”
“Jenengan ini ya gitu mbah kok yo moro-moro datang kayak marah tapi tangannya
bawa berkah.” Ucap Arda sambil mengambil alih Morong dari tangan Kacud.
“Lho jangan lihat mulutnya,
tapi kopinya. Haha.”
“Gini lho mbah Cud. Ini tadi
saya usul pujian di masjid itu gawe
lagu dangdut.”
“Wahh bagus itu, malah saya
buat fatwa WAJIB. Haha”
“Lho kok bisa gitu mbah, emang
boleh to mbah.”
“Sing gak boleh itu pas ada khotib naik mimbar terus kamu nyanyi
dangdutan.”
“Nek itu mbasi baca yasin juga ndak boleh mbah kalo pas jumatan.”
“Hahaha, kamu ndak tau, jaman
mbah-mbah seumuranmu, adzan, pujian, dan ngimami ya gawe lagu Slendro Pelog.” Sahut
Juniti. Juniti mencoba membuka keluasan pengalaman anak muda ini dengan
bernostalgia.
“Lho, Slendro Pelog itu apa
mbah ? judul lagu ta ?”
“Itu jenis lagu, Ling. Lagu
yang di Jawa ya lagu Jawa. Kalo menurut orang sing sekolah-sekolah itu ya
Langgam Jawa. Mungkin kamu yo nganggapnya kayak nyinden.”
“Lagu itu hanya
alat atau cara untuk mengungkapkan sesuatu dan tujuan. Kayak jalan ke Jakarta ya terserah kamu lewat mana naik
apa, yang penting tujuanmu Jakarta. Jika ada lagu yang menggunakan
teks arab, bukan berarti lagu Islami karena lagu yang dilantunkan jemaat Gereja
di Mesir juga berbahasa Arab dan iramanya seperti Qasidah. Hayo piye.”
“Makanya liato streaming yutub haigh laigh sepak bola sing komentatore dari Arab. Nadanya
masih enak dan lantang itu daripada
ngajimu. Haha” Kacud menyahuti Nisito sambil mencoba menggaya dengan ngomong
istilah Nginggris.
Juniti yang lebih diam tak mau
ketinggalan memberikan pengajian kepada mereka. “Maka,
karena lagu hanyalah alat sehingga boleh digunakan siapapun juga. Jika
kebetulan teksnya dan penghayatan yang nyanyi
itu penghayatan Islami, berarti bernuansa Islami, tapi
lagunya menggunakan lagu apapun boleh asal tidak menyalahi aturan yang mutlak
dan pada kondisi yang tepat. Aturan yang mutlak tersebut seperti jika melagukan
Al-Qur’an maka tidak boleh menyalahi tajwidnya. Kondisi yang tepat berarti tahu
kapan lagu itu digunakan agar tidak bersinggungan dan menimbulkan keburukan. Dangdutan ya baik, Konser musik jug baik, yang nggak
baik kalo dangdutan ya udo-nya,
goyang bokongnya. Jangankan dangdut,
berjalan aja kalo dengan tujuan menarik orang sehingga si orang merangsang juga
ndak boleh lah kalo menurut mbah lee. Lagu Jawa juga oke ndak syirik, ngaji
dengan langgam Jawa yo asyik. Langgam kui ada berapa To aku kok lupa ?”
“Haha, nggayamu sok lupa Jun.” kata
Nisito. “Lagu di dunia secara global ada tiga jenis notasi
atau langgam. Ada langgam barat yaitu notasi do-re-mi-fa-sol, seperti lagu
Sholawat Nariyah, Indonesia Raya, dan Syi’ir Tanpo Waton semua menggunakan notasi
barat. Notasi
kedua yaitu notasi Jawa dimana terdapat dua jenis, Slendro yang lebih cepat dan
Pelog yang lebih lambat atau minor. Adapun notasi ketiga notasi Mesir atau
daerah sekitar Persia.”
“Ohh mbulet juga yo Mbah
padahal urusan dengan lagu. Kalo gitu sekalian mbah aku mbok ya diajari
lagu-lagu Jawa biar bisa.” Kali ini Arda meminta para mbah-mbahnya menjelentrehkan lagu-lagu Jawa.
“Lagu gundulmu!” ucap Kacud. “Jaman
mbah dulu berdzikir terus ndak nyanyi-nyanyi koyok jaman kamu.” Kacud seolah
tak punya beban ngomong sambil nyedot rokok lintingannya.
“Mbahmu Kacud memang kakean
ilmu lee, jadinya ya gini.” Kata Juniti sambil memiringkan tangannya ke bathuknya. Juniti menjelaskan omongan
Kacud sebelum pemuda tersebut dibuat gendheng
karena putus harapannya. “Memang dulu lagu Jawa bukan sekedar lagu lee, tapi
yaa pitutur, ajaran hidup, pedoman, bahkan sebuah cara pendekatan dengan
Tuhan.”
“Nahh, ayo tak ajarkan beberapa
lagu sedikit sekaligus maknanya sedikit.” Nisito pun mulai menembangkan lagu
disertai gendangan dari Kacud yang memanfaatkan papan di Gerdhu tersebut.
Ilir ilir
Lir ilir.. Lir ilir
Tandure wes sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak senggo kemanten anyar
Cah angon, cah
angon
Penekno
blimbing kuwi
Lunyu-lunyu
penekno
Kanggo mbasuh
dodot iro
Dodot iro dodot iro
Kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono
Kanggo sedo mengko sore
Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak’o, surak iyoo…
Lagu Ilir ilir ini memiliki kajian makna
yang sangat banyak dan bisa digunakan siapapun dan umur berapapun. Bisa
digunakan anak-anak, pemuda, orang tua, pemimpin, suami-istri, bahkan bangsa.
Inilah keunikan kelebihan tembang jawa Lir-ilir tersebut yang ditulis oleh
seorang sunan. Bahkan dalam ranah Nasional,
Lir-Ilir ini disebut sebagai lagu pengingat bahwa ada ancaman besar yang akan
mampu membuat sobeknya kedaulatan negara, maka harus di dondomi (dijahit)
sebelum terlambat.
Cah angon dalam Jawa identik dengan kepemimpinan. Maka yang harus menek
blimbing adalah pemimpin. Jika dalam keluarga berarti yang menek blimbing atau
menjaga keutuhan rumah tangga baik dari segi ekonomi, keimanan, ketentraman
adalah ayah. Dalam ranah sekolah, maka yang harus menek blimbing adalah seorang
guru. Namun lagu ini mengingatkan bahwa menek blimbing itu sangat sulit (lunyu)
untuk membasuh dhodhot (hati).
Dhayohe teka
E Dhayohe teka
E Gelarno Klasa
E Klasane bedhah
E tambalen jadah
E jadahe mambhu
E pakakno Asu
E asune mati
E buwak neng kali
E kaline banjir
E deleh nang pinggir
E pinggire santer
E centhelno pager
E pagere ambruk
E mergo tak tubruk
Lagu ini juga
peninggalan walisanga yang dapat dinyanyikan dengan tempo tinggi sehingga
seperti rapper, bisa dengan nada slow diiringi gamelan Jawa dan lenggak lenggok
sinden.
Lagu Dhayohe
teka (tamunya datang) memiliki banyak kajian filosofis dan moral ketika kita
kedatangan tamu dan menghadapi persoalan hidup (mencari solusi hidup).
Ketika ada
tamu yang datang, maka sudah sepantasnya kita menggelar klasa. Menggelar klasa
atau tikar berarti mempersilahkan masuk dan mendudukkan di tempat yang sudah
sementinya. Baru kemudian ada permasalahan awal, yaitu klasane bedhah (tikar
yang bolong). Ada dua maksud, yang pertama klasane bedhah berarti tidak ada
apa-apa dalam pelungguhan tamu, maka harus disuguhi jadah. Maksud yang kedua,
ketika klasane bedhah (entah tidak ada suguhan, tidak ada jamuan makan, atau
memang klasane yang bedhah) maka tuan rumah harus mencari solusi yang pas.
Namun solusinya kurang pas karena tikar bedhah kok ditambal dengan jadah
(ketan).
Kemudian
permasalahan lainnya pun muncul karena salah memberi solusi awal, Jadahnya
mambhu. Kemudian solusinya malah dipakakne (dikasihkan) asu. Di seluruh dunia
pun tau tidak ada anjing yang doyan ketan apalagi mambu. Akhirnya timbul
masalah baru, asune mati. Sehingga tidak hanya bermasalah dengan tamunya
(manusia), tetapi juga bermasalah dengan hewan. Maka solusinya dibuwang ke
Kali. Otomatis Kalinya jadi banjir karena terhambat bathang’e (bangkai) asu.
Maka timbul permasalahan dengan alam. Seperti itulah jika kita salah solusi
dalam memecahkan masalah. Masalah baru akan muncul lagi.
Joko Pentil
Joko pentil ayo thil
Tela telo ayo lo
Lopes mambu ayo mbu
Mbukak tenong ayo nong
Nongko sabrang ayo brang
Brangkat ngaji ayo ji
Jimat rojo ayo jo
Joko pentil tela telo ayo lo
Lagu ini
sangat unik seperti sebuah lagu sambung kata.Lagu yang jika dinyanyikan sampai
kiamat juga tidak akan ditemukan ujungnya. Nyanyian yang konon dibuat oleh
salah satu walisanga entah kemungkinan sunan Kalijaga. Maka jelas ini bukan
sebuah lagu saja. Pentil disini perlu diperjelas apakah maknanya pentil di
sepeda, atau pentil yang berarti sesuatu yang kecil mungil.
Jika diartikan
mentil, maka secara konteks kultural mentil berarti masih tidak bisa mandiri,
tidak dewasa, dangkal pemikirannya. Maka dari itu jika ada joko yang masih
mentil, dia akan tela telo. Joko memiliki dimensi yang luas, bisa seorang
pemuda, bisa pemimpin yang masih muda usia jabatannya, bisa guru yang baru
mulai masuk dunia pendidikan, tergantung siapa yang menyanyikannya.
Joko pentil
nantinya merupakan tonggak yang akan menentukan nasib ke depannya. Jangan
sampai nasibnya menjadi lopes mambu. Jika sudah terlanjur masuk ke dalam lopes
mampu atau kondisi yang kurang baik, sistem yang buruk, birokrasi yang licik,
maka harus cepat mbukak tenong (bibit baru). Membuka kembali keluasan berpikir,
kedalaman hati, dan kejernihan akal. Agar menjadi nongko sabrang. Kemudian
untuk mendapatkan sebuah jimat rojo, maka harus mendalami ilmu Nongko sabrang
yang dapat diartikan sebuah pengetahuan dari luar daerahnya sebagai bahan
penguatan, bukan bahan percontohan. Atau bisa juga diartikan sebagai ilmunya
yang tidak hanya kedaerahan tetapi mendunia untuk kemudian digunakan di
daerahnya. Tak hanya nongko sabrang tetapi juga diimbangi dengan brangkat
ngaji, pasti sudah paham semua maknanya.
Kedua gabungan
cara tersebut nantinya membawa kepada jimat rojo. Orang jawa pasti sudah
familiar dengan jimat yaitu sebuah perlindungan agar kebal, kebal dari
penderitaan. Tahan banting, bantingan ekonomi dan kehidupan. Sakti, dalam
menghadapi kesulitan dan permasalahan yang ada di sekitarnya. Apalagi bukan
jimat sembarangan, tetapi jimat rojo.
Namun, jika tidak mampu
mendapatkan jimat rojo, yaa jadi Joko pentil yang tela telo. Maka, selamat
mentil wahai para joko pentil.
0 komentar:
Posting Komentar