Jumat, 23 Desember 2016


Jawa kui etnis, ras, suku, bahasa, sifat, apa ajaran ?

Fenomena Gerdhu kali ini begitu menyejukkan. Sepoi-sepoi angin di desa Karang Sringah karena memasuki musim layangan. Musim yang identik dengan hembusan angin melambai menyapa layang-layang untuk menikmati kebebasan di udara.
“Indahnya pulau Jawa..” Nisito merem melek menikmati hembusan angin di sekitar Gerdhu.
“Iya mbah, tak pikir-pikir Jawa kok sangat mengagumkan, alamnya asri, musimnya hangat, kolam susu kata Koes Plus, ikan udang menghampiri.” Kata Joko
“Justru karena mengagumkan, rakyatnya gampang digobloki.”
“Yo emang sih mbah, kita ndak bisa niru Amerika atau minimal Malaysia nek urusan pintarnya. Tapi kan bukan karena tanahnya.”
“Lho, nek lawan Amerika atau Malaysia ya sik cerdasan mbah-mbahku lah. Sik cerdas mbahmu Juniti. Amerika negara melarat, Malaysia sawangannya  negara tapi bukan negara. Hahaha”
Uraian Kacud semakin membingungkan pikiran Joko. Entah karena ndak umum atau pemikiran Kacud yang usang tentang keadaan luar negeri. Tapi ya Joko memaklumi lha wong para mbahnya ini ndak sekolah dan pengangguran.
“Mbah, Amerika kok melarat. Dari dulu udah tau Amerika itu negara hebat mbah.” Sahut Culing.
“Mlarat, ndak nekat, budheg, curek, sumbing, bisu, suthuk, belek’en.”
“Sampeyan ini ngomongin Amerika ta ngomongin sampeyan sendiri to mbah ?”
Juniti dan Nisito tertawa mendengar omongan Kacud yang memang ngawur sak kenanya cangkemnya. Akhirnya Nisito pun tak tinggal diam.
“Lee, maksudnya mbahmu Kacud, Indonesia itu kaya makanya orangnya gampang terlena dengan menikmati apa saja hasil alamnya sehingga tidak ada pikiran mereka untuk memayu hayuning bhawono, menyiapkan alam untuk anak cucu. Justru potensi kenyantaiannya itu sangat membahayakan, sehingga gampang sekali katutan, kagetan, kagum, dan sebagainya.”
“Lah untuk Amerika, maksud mbahmu Amerika memiliki senjata canggih dan minyak bumi dari mana ?”
“Ya dari tambang mbah.Kan mereka punya alat canggih, ya to..”
“Yang terpenting bukan tambangnya, lee. Tambangnya mereka di negara mana ? dengan cara apa mereka bisa leluasa mengambil tambang itu ? bagaimana kok bisa Amerika menjadi negara yang oleh mereka sendiri mereka sebut negara Adikuasa dan negara kita digolongkan negara berkembang. Itu kan kata mereka. Kata mbah-mbahmu ini bisa beda to, kan pendapat. Kami ya percaya bahwa negaramu Nusantara lebih dari mereka semua jika dilihat dari semuanya, lee. Malaysia coba kalian pelajari sekarang, bagaimana budayanya, siapa yang menguasai ekonominya.”
Mereka begitu asyik menyimak penjelasan Nisito tersebut, sampai-sampai tak sadar bahwa Gerdhu semakin ramai dengan datangnya beberapa cecunguk pemuda lainnya. Ada si Mad Fata, si Arda, si Jemblung, si Kupret, si Amang, dan si Alan. Juniti juga turut mengutarakan pandangannya.
“Nah kayaknya ndak lama lagi Indonesia juga udah gak ada lagi suku dan ras. Kita terlalu sibuk menganggap bahwa asing itu utama. Gedang goreng mungkin kurang menarik dibandingkan fried banana atau choco banana. Kita kagum dengan apapun asal dari asing.”
“Lho kan memang kualitas mbah.” Kata Arda
“Kualitas, Jun. Makanya sekarang penyakitnya juga berkualitas, Kolesterol, Gagal ginjal, Jantung lemah, Paru-paru basah, Raja Singa. Lah penyakitmu ndak berkualitas, boyok’en, mejen, cantengen, gringgingen, anyang-anyangen, paling pol ya mencret.” Kata Kacud sambil menepuk pundak Juniti.
“Ya ndak gitu juga mbah, piye to ya ya.” Sahut Arda dengan sinis, sementara teman-teman yang lain tertawa lepas melihat jawaban pathing mecotot dari mbahnya, Kacud.
“Berarti kita harus mempertahankan suku Jawa ya mbah ?” kata Amang, seorang anggota Gerdhu baru yang paling muda.
“Kalo pengen jowo ya tinggal sodakoh. Kan Jowo.” Sahut Kacud
“Lho, Jowo itu apa to mbah ?”
“Jowo yo ajaran, ajaran Jowo atau biasanya disebut Kejawen.” Sahut Kacud lagi
“Lho lho, mbah Kacud ini gimana to, katanya tadi jowo itu sedekah, sekarang ajaran.” Kata Mad Fata
“Lho piye kowe iki lee, Jowo itu kota di Israel, Java Tel Aviv.”
“Mbuh, mbuh, mbah. Nyerah.”
“Wahaha, Jowo itu luas lee, dikatakan sifat ya bisa, bangsa ya bisa, suku ya tentu, kehidupan ya boleh, kepribadian ya ndak salah, kebudayaan ya masuk akal, bahkan sebuah kerohanian ya logis.” Nisito mulai membuka mulutnya
“Kalo gitu Jowo itu apa ya ?” tanya Fata
“Ya kamu itu.”
“Maksudnya, mbah ?”
“Lho ya semuanya itu yang dari kesemuanya itu terwakili di dalam dirimu.”
“Ah, masih bingung.”
“Seperti kalo kamu anak sekolahan yang bermain volly, maka kemu bisa disebut pelajar, anak desa, pemain volly, bahkan penonton volly soalnya kebetulan kamu ternyata ndak main.” Nisito menjawab panjang lebar. “Tapi siapakah kamu ? bisakah sebutan itu mewakili keseluruhan dirimu ?”
“Ya ndak bisa, itu kan bagian dari saya.”
“Nahh, dari Jawa melahirkan kesemuanya. Itu simpelnya. Tapi banyak misteri Jawa lainnya yang kalo diomongin, bahaya.”
“Kenapa bahaya mbah ?”
“Karena tidak aman.” Sahut Kacud
“Haduh, sampean ini mending brukut sarung terus tidur aja lah mbah.” Kata Arda
“Bangsa Jawa kalo dilogika itu sangat tua, buktinya daya kepekaan terhadap alam, kecerdasan terhadap situasi dan kondisi, penghitungan, tingkat keyakinannya sangat tinggi, yang sudah jelas merupakan hasil dari pencarian selama bertahun-tahun.” Kata Juniti
“Masih mbulet mbah.”
“Kalender, orang menghitung hari kan harus memiliki penghitungan yang cermat to. Bahkan mbahmu dulu kenal pasaran dino.”
“Apa itu mbah ?” tanya Alan
“Pasaran dino itu pembagian hari lee, kalo kamu karena ikut mbahmu dari barat ya harinya dibagi jadi tujuh to, dari Minggu sampai Sabtu. Mbahmu dulu saking hebatnya, ada pasaran dino siji, teluan, limoan yang dari Paing sampai Legi, pituan, 30 harian, 40 harian.”
“Hari dibagi itu kan karena ada momentum ruang dan waktu yang berbeda, nahh ilmu selain Jawa hanya mampu membagi jadi 30 dan 7. Mbahmu lengkap.” Nisito menambahi
“Mangkanya, dari situ keliatan kamu itu bangsa paling tua, ndull. Terus dibodohi ikut bangsa yang baru lahir. Kebo nyusu Gudhel.” Sahut Kacud. “Kalo pas nyeramahi orang sok Ngarab, kalo pas debat agama sok Ngarab. Kalo ngomong sok Nginggris, pakaian sok Ngamrika.”
“Kira-kira kenapa to mbah kita kok seolah katutan dengan budaya lain ? kok sekarang hampir semua tentang Jawa kok kayaknya jelek.” Tanya Jemblung
“Contohnya..”
“Ya kayak di tipi, kalo ngomong logat Jawa di jelek-jelekkan. Terus tak pikir-pikir banyak kata-kata Jawa yang dianggap dosa, tapi kalo diucapin dalam bahasa Indo apalagi Arab kayak lebih sopan. Kayak contohnya kemaluan, setubuh, misuh, dan sebagainya.”
“Wahh,, kritis kamu mBlung.” Puji Juniti “Memang fenomena seperti itulah yang menimpa kita agar kita lupa dengan budaya asli kita. Semakin kita lupa, semakin kita mudah dijajah oleh bangsa lain, akhirnya kekayaan alam kita gampang diambil. Coba kalo semua orang Jawa seperti pada masa kerajaan seperti Majapahit, Sunda, Galuh, Kalingga, Sriwijaya, Mataram, wah jangankan dihilangkan budayanya, lha wong orang asing yang coba berdagang disini aja tidak gampang kok. Penguasa dagang harus rakyat Jawa dulu, karena urusannya tidak hanya berdagang, tetapi menjaga harga diri, harta, martabat, kehormatan, dan keberlangsungan masa depan. Karena kalo tanah Jawa berarti yang mampu mengolah secara baik dan benar ya orang Jawa. Ibarat rumahmu, yang mampu mengelola ya kamu to, kalo orang lain mencoba mengelola, ya tujuannya tidak atas dasar kecintaan kepada rumah, tapi memanfaatkan rumah, wong ndak ikut memiliki.”
“Em, gitu to mbah.” Sahut Amang
“Kalo kamu lupa dengan Jawa, sing pantes ya kamu masuk Neraka. Haha..” Kacud nyelonong pembicaraan mereka sambil ndelosor di Gerdhu.
“Lho, kok segitunya mbah ?” tanya Culing
“Yang nyuruh kowe jadi orang Jawa siapa ?”
“Ya Tuhan mbah.”
“Lha kalo kita lupain Jawa, berarti kita ndak mau dengan takdir ketentuan Tuhan, terus pantese masuk apa ?”
“Yaa Neraka ya,, iya yaa.” Culing manggut-manggut yang diikuti teman-temannya yang lain bagaikan jamaah tahlil.
“Wah sik mending neraka, nek ndak diterima Tuhan soale kamu ndak mau neriman, piye kowe di Akhirat ngekost dimana ? Sapiteng Surga ?”
“Wahh, mbah ini medheni ajaa.”
“Haha..”

Related Posts:

  • BELAJAR JAWA Jawa kui etnis, ras, suku, bahasa, sifat, apa ajaran ? Fenomena Gerdhu kali ini begitu menyejukkan. Sepoi-sepoi angin di desa Karang Sringah karena memasuki musim layangan. Musim yang identik dengan hembusan angin mel… Read More
  • SIFAT WONG JAWA Kali ini bulan Suro, suasana Gerdhu tiba-tiba menjadi lebih sepi. Para penghuninya pun tiba-tiba ikut-ikutan nyepi seperti orang Hindu ketika melaksanakan upacara nyepi. “Loh mbah, kok mbah Kacud gak keliatan selama ti… Read More
  • LAGU TRADISIONAL LAGU BERAGAMA, BERAGAMA DENGAN LAGU, MELAGUKAN AGAMA Jan-jane Lagu kui duwe agomo opo ora to yo “Asyem mbah. Yang dinyanyikan di masjid kok lagunya itu-itu aja. Mbok ya lagu dangdut ta rapper.” Arda menyembujungkan kakinya di Gerdhu bersama Juniti dan Nisito sambil ny… Read More
  • MENGAJI DOLANAN, DOLANAN KARO NGAJI Sakjane dolanan opo ngaji, opo kok ngaji model dolanan, opo dolanan karo ngaji Mad Fata dan Joko tampak kesal pulang ke Gerdhu tempat pemuda berkumpul di desa Karang Sringah. Disana telah ditunggu oleh tiga penghuni… Read More
  • SLUKU BATHOK *SLUKU-SLUKU BATHOK* ```Sluku-sluku bathok, Bathoké éla-élo Si Rama menyang Solo,Oléh-oléhé payung mutho.Mak jenthit lolo lo bah,Yén mati ora obahYén obah medéni bocah,Yen urip goléko dhuwit"``` *Sluku-sluku bathok:* … Read More

0 komentar:

Posting Komentar

SEWELASAN

AGENDA

  • MENGOLEKSI
  • BERKEGIATAN
  • NAPAK TILAS

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget