Jawa kui etnis, ras, suku, bahasa, sifat, apa
ajaran ?
Fenomena Gerdhu kali ini begitu
menyejukkan. Sepoi-sepoi angin di desa Karang Sringah karena memasuki musim
layangan. Musim yang identik dengan hembusan angin melambai menyapa
layang-layang untuk menikmati kebebasan di udara.
“Indahnya pulau Jawa..” Nisito
merem melek menikmati hembusan angin di sekitar Gerdhu.
“Iya mbah, tak pikir-pikir Jawa
kok sangat mengagumkan, alamnya asri, musimnya hangat, kolam susu kata Koes
Plus, ikan udang menghampiri.” Kata Joko
“Justru karena mengagumkan,
rakyatnya gampang digobloki.”
“Yo emang sih mbah, kita ndak
bisa niru Amerika atau minimal Malaysia nek urusan pintarnya. Tapi kan bukan
karena tanahnya.”
“Lho, nek lawan Amerika atau Malaysia ya sik cerdasan mbah-mbahku lah. Sik cerdas mbahmu Juniti. Amerika
negara melarat, Malaysia sawangannya negara tapi bukan negara. Hahaha”
Uraian Kacud semakin
membingungkan pikiran Joko. Entah karena ndak umum atau pemikiran Kacud yang
usang tentang keadaan luar negeri. Tapi ya Joko memaklumi lha wong para mbahnya
ini ndak sekolah dan pengangguran.
“Mbah, Amerika kok melarat.
Dari dulu udah tau Amerika itu negara hebat mbah.” Sahut Culing.
“Mlarat, ndak nekat, budheg, curek, sumbing, bisu, suthuk, belek’en.”
“Sampeyan ini ngomongin Amerika
ta ngomongin sampeyan sendiri to mbah ?”
Juniti dan Nisito tertawa
mendengar omongan Kacud yang memang ngawur sak kenanya cangkemnya. Akhirnya Nisito pun tak tinggal diam.
“Lee, maksudnya mbahmu Kacud,
Indonesia itu kaya makanya orangnya gampang terlena dengan menikmati apa saja
hasil alamnya sehingga tidak ada pikiran mereka untuk memayu hayuning bhawono,
menyiapkan alam untuk anak cucu. Justru potensi kenyantaiannya itu sangat
membahayakan, sehingga gampang sekali katutan,
kagetan, kagum, dan sebagainya.”
“Lah untuk Amerika, maksud
mbahmu Amerika memiliki senjata canggih dan minyak bumi dari mana ?”
“Ya dari tambang mbah.Kan
mereka punya alat canggih, ya to..”
“Yang terpenting bukan
tambangnya, lee. Tambangnya mereka di negara mana ? dengan cara apa mereka bisa
leluasa mengambil tambang itu ? bagaimana kok bisa Amerika menjadi negara yang
oleh mereka sendiri mereka sebut negara Adikuasa dan negara kita digolongkan
negara berkembang. Itu kan kata mereka. Kata mbah-mbahmu ini bisa beda to, kan
pendapat. Kami ya percaya bahwa negaramu Nusantara lebih dari mereka semua jika
dilihat dari semuanya, lee. Malaysia coba kalian pelajari sekarang, bagaimana
budayanya, siapa yang menguasai ekonominya.”
Mereka begitu asyik menyimak
penjelasan Nisito tersebut, sampai-sampai tak sadar bahwa Gerdhu semakin ramai
dengan datangnya beberapa cecunguk pemuda lainnya. Ada si Mad Fata, si Arda, si
Jemblung, si Kupret, si Amang, dan si Alan. Juniti juga turut mengutarakan
pandangannya.
“Nah kayaknya ndak lama lagi
Indonesia juga udah gak ada lagi suku dan ras. Kita terlalu sibuk menganggap
bahwa asing itu utama. Gedang goreng mungkin kurang menarik dibandingkan fried
banana atau choco banana. Kita kagum dengan apapun asal dari asing.”
“Lho kan memang kualitas mbah.”
Kata Arda
“Kualitas, Jun. Makanya
sekarang penyakitnya juga berkualitas, Kolesterol, Gagal ginjal, Jantung lemah,
Paru-paru basah, Raja Singa. Lah penyakitmu ndak berkualitas, boyok’en, mejen, cantengen, gringgingen, anyang-anyangen, paling pol ya mencret.” Kata Kacud sambil menepuk
pundak Juniti.
“Ya ndak gitu juga mbah, piye
to ya ya.” Sahut Arda dengan sinis, sementara teman-teman yang lain tertawa
lepas melihat jawaban pathing mecotot dari mbahnya, Kacud.
“Berarti kita harus mempertahankan
suku Jawa ya mbah ?” kata Amang, seorang anggota Gerdhu baru yang paling muda.
“Kalo pengen jowo ya tinggal sodakoh. Kan Jowo.”
Sahut Kacud
“Lho, Jowo itu apa to mbah ?”
“Jowo yo ajaran, ajaran Jowo
atau biasanya disebut Kejawen.” Sahut Kacud lagi
“Lho lho, mbah Kacud ini gimana
to, katanya tadi jowo itu sedekah, sekarang ajaran.” Kata Mad Fata
“Lho piye kowe iki lee, Jowo itu kota di Israel, Java Tel Aviv.”
“Mbuh, mbuh, mbah. Nyerah.”
“Wahaha, Jowo itu luas lee,
dikatakan sifat ya bisa, bangsa ya bisa, suku ya tentu, kehidupan ya boleh,
kepribadian ya ndak salah, kebudayaan ya masuk akal, bahkan sebuah kerohanian
ya logis.” Nisito mulai membuka mulutnya
“Kalo gitu Jowo itu apa ya ?”
tanya Fata
“Ya kamu itu.”
“Maksudnya, mbah ?”
“Lho ya semuanya itu yang dari
kesemuanya itu terwakili di dalam dirimu.”
“Ah, masih bingung.”
“Seperti kalo kamu anak
sekolahan yang bermain volly, maka kemu bisa disebut pelajar, anak desa, pemain
volly, bahkan penonton volly soalnya kebetulan kamu ternyata ndak main.” Nisito
menjawab panjang lebar. “Tapi siapakah kamu ? bisakah sebutan itu mewakili
keseluruhan dirimu ?”
“Ya ndak bisa, itu kan bagian
dari saya.”
“Nahh, dari Jawa melahirkan
kesemuanya. Itu simpelnya. Tapi banyak misteri Jawa lainnya yang kalo
diomongin, bahaya.”
“Kenapa bahaya mbah ?”
“Karena tidak aman.” Sahut
Kacud
“Haduh, sampean ini mending brukut sarung terus tidur aja
lah mbah.” Kata Arda
“Bangsa Jawa kalo dilogika itu
sangat tua, buktinya daya kepekaan terhadap alam, kecerdasan terhadap situasi
dan kondisi, penghitungan, tingkat keyakinannya sangat tinggi, yang sudah jelas
merupakan hasil dari pencarian selama bertahun-tahun.” Kata Juniti
“Masih mbulet mbah.”
“Kalender, orang menghitung
hari kan harus memiliki penghitungan yang cermat to. Bahkan mbahmu dulu kenal
pasaran dino.”
“Apa itu mbah ?” tanya Alan
“Pasaran dino itu pembagian
hari lee, kalo kamu karena ikut mbahmu dari barat ya harinya dibagi jadi tujuh
to, dari Minggu sampai Sabtu. Mbahmu dulu saking hebatnya, ada pasaran dino
siji, teluan, limoan yang dari Paing sampai Legi, pituan, 30 harian, 40
harian.”
“Hari dibagi itu kan karena ada
momentum ruang dan waktu yang berbeda, nahh ilmu selain Jawa hanya mampu
membagi jadi 30 dan 7. Mbahmu lengkap.” Nisito menambahi
“Mangkanya, dari situ keliatan
kamu itu bangsa paling tua, ndull. Terus dibodohi ikut bangsa yang baru lahir.
Kebo nyusu Gudhel.” Sahut Kacud. “Kalo pas nyeramahi orang sok Ngarab, kalo pas
debat agama sok Ngarab. Kalo ngomong sok Nginggris, pakaian sok Ngamrika.”
“Kira-kira kenapa to mbah kita
kok seolah katutan dengan budaya lain ? kok sekarang hampir semua tentang Jawa
kok kayaknya jelek.” Tanya Jemblung
“Contohnya..”
“Ya kayak di tipi, kalo ngomong
logat Jawa di jelek-jelekkan. Terus tak pikir-pikir banyak kata-kata Jawa yang
dianggap dosa, tapi kalo diucapin dalam bahasa Indo apalagi Arab kayak lebih
sopan. Kayak contohnya kemaluan, setubuh, misuh, dan sebagainya.”
“Wahh,, kritis kamu mBlung.”
Puji Juniti “Memang fenomena seperti itulah yang menimpa kita agar kita lupa
dengan budaya asli kita. Semakin kita lupa, semakin kita mudah dijajah oleh
bangsa lain, akhirnya kekayaan alam kita gampang diambil. Coba kalo semua orang
Jawa seperti pada masa kerajaan seperti Majapahit, Sunda, Galuh, Kalingga,
Sriwijaya, Mataram, wah jangankan dihilangkan budayanya, lha wong orang asing
yang coba berdagang disini aja tidak gampang kok. Penguasa dagang harus rakyat
Jawa dulu, karena urusannya tidak hanya berdagang, tetapi menjaga harga diri,
harta, martabat, kehormatan, dan keberlangsungan masa depan. Karena kalo tanah
Jawa berarti yang mampu mengolah secara baik dan benar ya orang Jawa. Ibarat
rumahmu, yang mampu mengelola ya kamu to, kalo orang lain mencoba mengelola, ya
tujuannya tidak atas dasar kecintaan kepada rumah, tapi memanfaatkan rumah, wong
ndak ikut memiliki.”
“Em, gitu to mbah.” Sahut Amang
“Kalo kamu lupa dengan Jawa,
sing pantes ya kamu masuk Neraka. Haha..” Kacud nyelonong pembicaraan mereka
sambil ndelosor di Gerdhu.
“Lho, kok segitunya mbah ?”
tanya Culing
“Yang nyuruh kowe jadi orang
Jawa siapa ?”
“Ya Tuhan mbah.”
“Lha kalo kita lupain Jawa,
berarti kita ndak mau dengan takdir ketentuan Tuhan, terus pantese masuk apa ?”
“Yaa Neraka ya,, iya yaa.”
Culing manggut-manggut yang diikuti teman-temannya yang lain bagaikan jamaah
tahlil.
“Wah sik mending neraka, nek
ndak diterima Tuhan soale kamu ndak mau neriman, piye kowe di Akhirat ngekost
dimana ? Sapiteng Surga ?”
“Wahh, mbah ini medheni ajaa.”
“Haha..”
0 komentar:
Posting Komentar