Jumat, 23 Desember 2016




Kali ini Gerdhu benar-benar sumpek. Bukan karena Gerdhunya yang menyusut akibat hawa dingin, tetapi semakin banyaknya yang mendadak aktif di Jam’iyah Gerdhuiyah. Memang mayoritas dihuni para pemuda dan beberapa orang tua, yang tak pernah telat yaitu para mbah-mbah yang gak jelas kerjanya, gak mesti makannya, gak karuan dandanannya, dan yang pasti, gak pernah terdeteksi kekayaannya alias mlarat.
Mereka seperti biasa berkumpul bercanda, medhongkrong, main catur, kartu remi jongkongan, sambil sesekali menyeruput kopi. Hal ini justru menguntungkan para mbah mereka yang secara otomatis dapat kopi, jajan, dan rokok gratis. Mereka menikmati gorengan godho gedang dan saplak dicampur parutan kelapa. Tak selang begitu lama mereka dikejutkan dengan suara orang paruh baya dari atas sepeda menyapa mereka. Oh, ternyata wak Lurah yang kebetulan lewat dengan pakaian dinas rapinya menandakan orang sibuk. Otomatis seluruh penghuni Gerdhu menyapa balik sambil geguyonan menawarkan tempat singgah mbok menawa wak Lurah pengen gabung.

“Wak lurah kita sibuk bener ya, hebat kok padahal sik baru habis dhuhur.” Joko membuka pembicaraan, kebetulan ada topik baru melintas di kepalanya.
“Sibuk kok hebat,,” sahut Kacud
“Ya kan beliau rajin mbah, jam segini sudah berdinas lho. Apalagi kemarin saya liat beliau ikut warga kerja bakti.”
“Lha wong dia dibayar kok, ya harus rajin. Piye to ya.”
“Makanya hebat mbah, tidak peduli waktu, kan sekarang minggu.”
“Pemimpin kok berwaktu, yo kapanpun.”
“Itu biasa Ko, yang hebat itu ya wak Lurah desa sebelah, tegas banget lho pas ketahuan pegawai kelurahannya telat.” Culing turut menyumbang suara
“Kalo menurutku sih, hebatan wak Lurah di kampungnya budhe. Dulu kata budhe ngurus surat ke kelurahan itu mbayar baru bisa cepet, terus ya ribet. Sekarang yang nyuruh mbayar disuruh ganti balik uangnya 3 kali lipat.” Kata Jemblung
“Sebentar, lee. Kok semua dianggap hebat to ya. Hebat yang mananya ?” Juniti turut menyahuti
“Ya hebat lah mbah, wak Lurah bisa tegas dan mempermudah rakyatnya.” Jawab Jemblung
“Lho, apanya yang hebat ? Kan wajar pemimpin begitu. Mosok pemimpin ndak tegas ? Jirih ? Nangisan ? Ya ndak pemimpin itu namanya. Sekarang kalo pemimpin itu hebat, berarti ada pemimpin yang wajar-wajar saja, ada pemimpin yang ndak hebat to ?”
“Maksudnya mbah ?”
“Kalo kamu mengkriteriakan wak Lurah ada yang hebat, berarti ada wak lurah yang ndak hebat to ? terus ada wa Lurah yang wajar atau normal-normal saja to ?”
“Iya mbah.”
“Coba kamu sebut kira-kira wak Lurah yang ndak hebat itu gimana ?”
“Yang hobinya maling uang rakyat.” Kata Arda
“Yang ndak sesuai dengan janjinya.” Sahut Culing
“Yang merugikan warganya.” Jawab Jemblung.
“Oke, sekarang kalian sebut jenis wak Lurah yang normal atau wajar menjalankan tugasnya sebagai wak Lurah.” Sahut Nisito
Suasana Gerdhu mendadak sunyi, semua anak-anak itu tiba-tiba ngelu mikir jawabannya.
“Mbidhek to, haha.” Sindir Kacud. “Ayo sebutin wak Lurah yang normal itu gimana ?”
“Ya yang menjalankan tugasnya, mbah.” Mad Fataa memecah kebuntuan jawaban
“Seperti ?” tanya Nisito
“Ya yang tidak maling, menjalankan janji atau program kerjanya, yang mementingkan urusan tugasnya untuk kelurahan.”
“Lha mirip dengan jawaban kalian tadi to, berarti ndak jadi hebat ?”
“Iya ya mbah.” Kata Mad Fataa keheranan. “Tapi kenapa kok ketika ada wak Lurah blusukan, nemui warganya, tegas memarahi pegawainya yang nakal, semua orang kelihatannya kagum mbah ?”
“Haha, itu semua karena sifat bangsa Jawa itu tiga lee, Kagetan, Gumunan, dan Dumeh. Makanya mbah-mbah kalian dulu mengatakan ojo Kagetan, ojo Gumunan, ojo Dumeh.”
“Gumunan itu apa mbah ?”
“Gampang kagum, ketika ada sesuatu yang belum pernah dilihat, langsung kagum. Hal itulah yang akhirnya menjadikan kita gampang ditipu lee. Kita kagum dengan bangsa Barat yang bisa membuat sesuatu yang hebat, padahal jauh sebelumnya mbah kita sudah mampu membuatnya. Kita kagum dengan pendidikan Barat, dengan tradisi asing, dan sebagainya.”
“Iya juga sih mbah, saya sendiri ngerasa begitu. Ada pemimpin di negara tetangga yang membongkar korupsi saja saya kagum. Ada pemimpin negara bagian yang buatin rumah ibadah bagi warganya saya juga kagum. Padahal kalo dipikir-pikir kan wajar yaa mbah.” Joko mencoba memuntahkan segala pikirannya kepada para penghuni Gerdhu.
“Buatin rumah ibadah apaan Ko ? Mbok kira proyek pemerintah mbangun panti, gereja, sinagog, pura, mesjid, perpustakaan, taman, itu uangnya dhe’e ? Wong yang dibuat mbangun itu duitnya warganya kok. Haha. Dia tanda tangan aja mbok anggep mbangun, yang bangun ya tukang.” kata Kacud
“Oh iya ya mbah, lupa saya. Haha.”
“Malah ada lho di negara tetangga manfaatin uang warga dengan niat ada udang dibalik batu, ngeluasin jalan raya di desa-desa dengan tujuan suatu saat desa itu dibeli tanahnya, dibangun pabrik disitu, warga jadi satpam, ndak punya tanah, rumah tergusur, jalan rayanya sebagai akses transportasi pabrik.” Sahut Nisito
“Kok kejam banget gitu ya mbah ? Apa warganya ndak ngamuk ? terus demo pepe[1] di tengah lapangan kayak jaman Majapahit ?” tanya Arda
“Wah pengetahuan sejarahmu kok luas tenan, lee. Sipp.” Puji Juniti
“Haha, pemuda sekarang beda dengan mbahnya kemarin Jun.” Kata Nisito. “Gini lee, warga di negara tetangga itu ndak marah, lha wong pemimpinnya ngomong jalannya diluaskan agar warga lebih nyaman pas bepergian, agak lucu lee padahal sebelum jalannya diluaskan yo lancar saja. Malah dengan jalan yang ndak begitu luas, warga itu ndak kebut-kebutan, andhap asor, gampang bertutur sapa. Lha warga negara tetangga itu terlalu lembut hatinya, ndak gampang curigaan, terus masih terwarisi budaya feodal dimana yang mimpin negara itu ya pemimpinnya yang harus dihormati atau di “Raja” kan. Itulah yang kadang dimanfaatkan lee. Warga negara tetangga tersebut gampang gumun atau kagum. Ketika ada suatu isu, gampang kagetan terus katutan kayak anak bebek. Mungkin warga negara tersebut terlalu menerapkan filsafat mbahmu dulu, Suro Diro Joyoningrat, Lebur Dhening Pangestuti.”
“Apa itu mbah ? kok puanjang kalimate ?” tanya Amang
“Intinya itu kepercayaan diri bahwa segala keberanian, kekuatan, dan kejayaan duniawi akan hancur dengan kasih sayang. Pengertiannya sangat luas, secara umum orang Jawa harus mengutamakan sifat welasnya. Kalo dalam Islam, sifat Kasih Sayang adalah sifat utama Tuhan to. Makanya kita ngucap bismillah. Dalam ajaran Nabi, kasih sayang itu sifat yang diajarkan Kanjeng Nabi Isa. Dalam Injil disebutkan, Jika dipukul pipi kanan, berikan pipi kirimu. Ya artinya tetap kasih sayang meskipun dilukai.”
“Wah, ya ndak kuat mbah, kabyuk ae dhapur’e. Haha” kata Arda
“Ya semua pitutur mbahmu kudu dipelajari dan digunakan ketika memang pas kondisinya. Ketika kita menghadapi masalah dan bisa menyelesaikan, ya gunakan sifat Kanjeng Nabi Muhammad lee, jika dipukul kalian boleh balas, tapi lebih mulya jika mau memaafkan. Ketika masalah itu mustahil kita mampu mengatasi, maka itu digunakan, melawan dengan kasih sayang dengan harapan Tuhan terlibat mengatasi masalah dan berkenan memberi kesadaran. Jangan dilawan dengan kekuatan, kliru dobel.”
“Nek kata mbahmu dulu, Kawula mung saderma, mobah mosik kersaning Hyang sukmo.” Kata Kacud sambil menuding-nudingkan jarinya niru Semar.
“Nggaya mbah Kacud ini. Apa lagi itu mbah ?”
“Intinya kita lakukan sebisa dan semampu kita ndak usah berlebihan, selanjutnya biar Tuhan yang bekerja. Dalam hal apapun, baik bekerja, sekolah, dan berjuang. Ketika kita di dhalimi, ya kita berjuang dengan kemampuan kita. Mereka akan Ngunduh Wohing Pakerti.” Kata Nisito
“Oh, nek itu saya tau mbah. Itu artinya mirip Sopo Nandur Bakal Ngunduh, siapa jahat akan mendapat balasannya, yang baik juga akan dapat baik, ya kan mbah ?” ujar Amang
“Haha, ya iya lee. Nek ndak ikut nandur tapi ngunduh ya Codhot namanya.” Jawab Kacud. “Berarti para maling di kantor pemerintahan adalah ??”
“Codhoooooot....”  
Suara penghuni Gerdhu yang merespon Kacud sangat serempak mirip paduan suara orchestra. Seluruh penghuni Gerdhu tertawa terpingkal-pingkal mendengar plesetan Kacud. Suasana Gerdhu sudah mulai adhem diikuti gerakan sang surya yang akan segera surup.
“Makanya lee, kalian harus jaga negara kalian ini, jangan sampai seperti itu. Kudu Eling lan Waspodo. Eling kepada Gusti Allah dan waspada terhadap segala fenomena. Jangan kagetan dengan segala isu yang kalian dengar, kudu dipelajari, dicermati, didalami. Meskipun isu itu berasal dari Syekh, Habib, Sayyid, Syarif, Wong Topo, wong Gendheng, guru, ustad, tetep kudu dipikir matang-matang.” Pungkas Juniti
“Enggeh mbah, saya jadi teringat di desa kecamatan seberang pulau itu gampang kagetan mbah. Hanya gara-gara isu ada yang ganggu kegiatan ibadah suatu agama, mereka langsung marah, terus ya ustadnya itu ngawur pakek berkata harus Jihad. Medheni mbah. Lha dipikir-pikir siapa Ustad itu kok merintah Jihad. Tapi karena sifat dasar warganya yang nganggap kalo ustad ngomong mesthi benar, ya ikutan semua.” Beber Arda
“Lho jangan suudhon lee, anggep aja ustad itu sudah ngrasa pantas mewakili Tuhan membimbing manusia. Jadi Tuhan yang asli ndak usah ikut-ikutan. Makanya dia berfatwa. Haha..” kata Kacud
“Haha. Kalo kita angen-angen, kita diajari Tuhan ketika lahir kita sendirian dan mati juga sendiri, lha kok hidup katut orang. Wong kita nganut Kanjeng Nabi aja bukan karena kita nganut beliau, tapi kecintaan kita kepada Kanjeng Nabi yang perjuangannya dalam menyebar nilai keislaman dan menata akhlak tak dapat tergambarkan. Dalam urusan ketauhidan, Kanjeng Nabi dan kita ya nganut Gusti Allah Yang Maha Tunggal, Yang ngutus beliau.”
“Iya juga ya mbah, kita ndak bisa tau hal-hal yang mustahil akal manusia tau kalo bukan karena Kanjeng Nabi diutus kesini. Kita meneladaninya, mencontohnya, dengan tujuan yang sama yaitu Gusti Allah.” Sahut Culing
“Iyaa, makanya kita kudu niru perjuangan beliau. Setidaknya kita memberi manfaat kepada orang lain, jangan melakukan Moh Limo. Kata mbahmu dulu, Urip iku Urup tur Urap. Ada yang bisa jelasin ndak ?”
“Saya sih pernah dengar mbah.” Kata Joko. “Kalo ndak salah hidup itu harus bermanfaat, urup kan berarti menyala, menerangi kegelapan yang berarti tingkah kita ya setidaknya tidak menjerumuskan kepada keburukan. Ibarat Islam mungkin kita disebut muslim kalo kelakuan kita pas baik, kalo pas nyolong ya ndak muslim. Maka agar urup, kita harus berusaha berkelakuan muslim terus.Kalo urap ndak tau, hehe.”
“Urap ya gado-gado. Berarti berwarna-warni. Hidupmu mosok kok terang tok ndak ada gelapnya ? yaa bunar.” Jawab Kacud
“Oalah, paham mbah saya. Urap berarti hidup itu beraneka macam gejalanya, tidak bisa hanya satu gejala.” Kata Mad Fataa
“Betul lee, dalam hidup kita senantiasa menjumpai banyak gejala, walau beda tapi semua bisa saling berhubungan dengan situasi dan kondisi yang tidak hanya bener tapi pener. Ketika ada masalah psikologi, tidak mesti kita harus menyelesaikan dengan ilmu psikologi. Ibarat alam kan bermacam-macam tapi kalo disatukan ya bisa, Siapa yang nyangka rujak dikasih es aja jadi es rujak. Kopi dikasih es ya jadi es kopi, tapi ya enak to kalo pas komposisinya. Makanya cukup melihat alam kita sudah bisa peka terhadap segala warna kehidupan. Alam iku sejatine guru.” Tungkas Juniti
 “Nah, agar kita bisa peka dan selalu urup serta urap, kita kudu ingat Sangkan Paraning Dumadi atau asal dan tujuan segala ciptaan. Dari mana kita berasal dan apa tujuan kita, ketika melihat hewan ya sama, darimana hewan berasal dan apa tujuannya diciptakan.” Kata Nisito
“Wah, ingat hal itu ya sangat berat mbah, apalagi jaman sekarang semua dimanfaatkan dengan niat keuntungan diri sendiri.” Sahut Arda
“Ya semua ada prosesnya, lee. Yang penting jangan ada niatan seperti mereka. Kalian kudu inget wejangan penting dalam hidup, yaitu Memayu Hayuning Pribadhi, Memayu Hayuning Keluarga, Memayu Hayuning Bhawono. Dan tujuan kita hidup tidak lain adalah Manunggaling Kawula lan Gusti.”
“Waduh, tolong dijelasin mbah, yang Kemayu tadi loo.” Ucap Jemblung
“Ooo bocah kucluk, bukan Kemayu tapi Memayu lee. Wah kupingmu perlu dirukyah ini.” Kata Kacud
“Hehe, yaa itu lah mbah, salah dikit mosok ndak paham.”
“Memayu Hayuning Pribadi berarti memperindah segala kelakuan, sifat, karakter, jalan hidup, dan watak diri sendiri. Adapun Memayu Hayuning Pribadi berarti menjaga keharmonisan, kesakinahan, keberkahan, dan kesetiaan dalam keluarga. Kan dalam agama diajarin bahwa tugas kita yaitu menjaga keluarga dari neraka Tuhan. Kalo Memayu Hayuning Bhawono berarti dimanapun kita berada, dalam kondisi apapun, kita berusaha menjaga, melestarikan, melindungi, memperindah keberlangsungan kehidupan di alam raya. Kan kita khalifah di bumi tempat kita ditakdirkan lahir. Kalo kita lahir di Jawa ya kita menjadi khalifah di Jawa sehingga harus menjamin kehidupan, budaya, adat istiadat, sejarah, dan keindahan alam Jawa.” Ujar Nisito
“Dalam istilah Islam, Memayu Hayuning Bhawono itu bahasa Arabnya Rahmatan Lil Alamin.” Tambah Juniti
Para pemuda tersebut terlihat sangat serius mendengarkan para mbahnya yang ditanggap di Gerdhu. Namun, Juniti menangkap ada gelagat yang berbeda dari Culing yang seolah ingin protes.
“Apa ada yang mau diomongin Ling, kok kayak orang bingung ?” tanya Juniti
“Emm, yang Manunggaling Kawula Gusti lo mbah, bukannya itu aliran sesat ?”
“Hah ?”
Kacud tersentak keheranan, kemudian tertawa ngakak seolah lepas kendali. Juniti dan Nisito pun tak mampu menahan tawanya diikuti oleh semua penghuni Gerdhu. Culing pun tertawa tipis dengan raut muka kebingungan campur malu.
“Kamu itu banyak lihat kartun ya, atau sinetron Ling ?” ujar Kacud. “Lha tujuan Islam turun ya agar kamu dapat Manunggaling Kawula Lan Gusti.”
“Lho kok tujuan Islam ?” Culing semakin bingung
“Manunggal itu bahasa arabnya ya Tauhid lee, lha kamu belajar Islam kan agar Tauhid. Menyatu dengan Tuhan. Makanya kamu harus tau asal kamu, Ling. Ilaihi Roji’un atau kembali ke Tuhan. Jangan hanya diucapkan terus nggaya disebarkan ke orang-orang. Yang penting itu sampaikan walau satu ayat, menyampaikan itu maksudnya ya lakonono. Ilmu Kelakonan Kanthi Laku. Kamu akan tahu ilmunya jika menerapkan ilmu itu.” Kata Juniti
“Dalam ranah Ketauhidan, Manunggaling Kawula Lan Gusti berarti Menyatunya kita dengan Tuhan. Artinya tidak ada siapapun dan jarak antara kita dengan Tuhan. Dalam ranah pemerintahan berarti menyatunya rakyat dengan pemimpinnya dimana jika salah satunya disakiti, maka Allah marah. Dalam ranah keluarga berarti menyatunya anggota keluarga dengan kepala keluarga. Jika ada anggota keluarga disakiti, Allah ndak rela.”
“Wahh ngelu endhas saya mbah.” Ucap Joko
“Lha ndak paham to ?”
“Bukan mbah, kok mbah-mbah kita dulu begitu lengkap dan mendalam pemikirannya. Saya jadi bingung. Padahal di buku pelajaran saya itu, mbah-mbah dulu menganut Animisme dan Dinamisme. Tapi dari Universitas Gerdhu ini kok rasanya sangat ndak mungkin penyembah batu memiliki filsafat hidup sebegitu kompleksnya. Kalo ndak saking dekatnya dengan Tuhan ya ndak mungkin punya ucapan sesuci itu mbah.”
“Bahkan kita yang dikenalkan dengan Allah oleh Kanjeng Nabi aja sulit untuk memiliki kesucian ucapan itu.” Tambah Culing
“Haha, Universitas Gerdhu. Kamu tuh tak kirain uteknya ndak pas, tapi kok cerdas.” Sahut Kacud
“Universitas kan belajar keseluruhan pengetahuan dan ilmu tanpa batasan waktu dan ruang mbah. Kita ini kan ya bahas apapun, jadi ya Universitas Gerdhu fakultas mbah jurusan Jawa.”
“Berarti yang di kampus itu apa ?”



[1] Demo yang dilakukan warga pada masa Majapahit dengan cara berjemur ditengah lapangan sampai didengar oleh Raja di Istana.

0 komentar:

Posting Komentar

SEWELASAN

AGENDA

  • MENGOLEKSI
  • BERKEGIATAN
  • NAPAK TILAS

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget