Kali ini Gerdhu benar-benar
sumpek. Bukan karena Gerdhunya yang menyusut akibat hawa dingin, tetapi semakin
banyaknya yang mendadak aktif di Jam’iyah Gerdhuiyah. Memang mayoritas dihuni
para pemuda dan beberapa orang tua, yang tak pernah telat yaitu para mbah-mbah
yang gak jelas kerjanya, gak mesti makannya, gak karuan dandanannya, dan yang
pasti, gak pernah terdeteksi kekayaannya alias mlarat.
Mereka seperti biasa berkumpul
bercanda, medhongkrong, main catur,
kartu remi jongkongan, sambil sesekali menyeruput kopi. Hal ini justru
menguntungkan para mbah mereka yang secara otomatis dapat kopi, jajan, dan
rokok gratis. Mereka menikmati gorengan godho gedang dan saplak dicampur
parutan kelapa. Tak selang begitu lama mereka dikejutkan dengan suara orang
paruh baya dari atas sepeda menyapa mereka. Oh, ternyata wak Lurah yang
kebetulan lewat dengan pakaian dinas rapinya menandakan orang sibuk. Otomatis
seluruh penghuni Gerdhu menyapa balik sambil geguyonan menawarkan tempat
singgah mbok menawa wak Lurah pengen gabung.
“Wak lurah kita sibuk bener ya,
hebat kok padahal sik baru habis dhuhur.” Joko membuka pembicaraan, kebetulan
ada topik baru melintas di kepalanya.
“Sibuk kok hebat,,” sahut Kacud
“Ya kan beliau rajin mbah, jam
segini sudah berdinas lho. Apalagi kemarin saya liat beliau ikut warga kerja
bakti.”
“Lha wong dia dibayar kok, ya
harus rajin. Piye to ya.”
“Makanya hebat mbah, tidak
peduli waktu, kan sekarang minggu.”
“Pemimpin kok berwaktu, yo
kapanpun.”
“Itu biasa Ko, yang hebat itu
ya wak Lurah desa sebelah, tegas banget lho pas ketahuan pegawai kelurahannya
telat.” Culing turut menyumbang suara
“Kalo menurutku sih, hebatan
wak Lurah di kampungnya budhe. Dulu kata budhe ngurus surat ke kelurahan itu
mbayar baru bisa cepet, terus ya ribet. Sekarang yang nyuruh mbayar disuruh
ganti balik uangnya 3 kali lipat.” Kata Jemblung
“Sebentar, lee. Kok semua
dianggap hebat to ya. Hebat yang mananya ?” Juniti turut menyahuti
“Ya hebat lah mbah, wak Lurah
bisa tegas dan mempermudah rakyatnya.” Jawab Jemblung
“Lho, apanya yang hebat ? Kan
wajar pemimpin begitu. Mosok pemimpin ndak tegas ? Jirih ? Nangisan ? Ya
ndak pemimpin itu namanya. Sekarang kalo pemimpin itu hebat, berarti ada
pemimpin yang wajar-wajar saja, ada pemimpin yang ndak hebat to ?”
“Maksudnya mbah ?”
“Kalo kamu mengkriteriakan wak
Lurah ada yang hebat, berarti ada wak lurah yang ndak hebat to ? terus ada wa
Lurah yang wajar atau normal-normal saja to ?”
“Iya mbah.”
“Coba kamu sebut kira-kira wak
Lurah yang ndak hebat itu gimana ?”
“Yang hobinya maling uang rakyat.”
Kata Arda
“Yang ndak sesuai dengan
janjinya.” Sahut Culing
“Yang merugikan warganya.”
Jawab Jemblung.
“Oke, sekarang kalian sebut
jenis wak Lurah yang normal atau wajar menjalankan tugasnya sebagai wak Lurah.”
Sahut Nisito
Suasana Gerdhu mendadak sunyi,
semua anak-anak itu tiba-tiba ngelu mikir jawabannya.
“Mbidhek to, haha.” Sindir
Kacud. “Ayo sebutin wak Lurah yang normal itu gimana ?”
“Ya yang menjalankan tugasnya,
mbah.” Mad Fataa memecah kebuntuan jawaban
“Seperti ?” tanya Nisito
“Ya yang tidak maling,
menjalankan janji atau program kerjanya, yang mementingkan urusan tugasnya
untuk kelurahan.”
“Lha mirip dengan jawaban
kalian tadi to, berarti ndak jadi hebat ?”
“Iya ya mbah.” Kata Mad Fataa
keheranan. “Tapi kenapa kok ketika ada wak Lurah blusukan, nemui warganya,
tegas memarahi pegawainya yang nakal, semua orang kelihatannya kagum mbah ?”
“Haha, itu semua karena sifat
bangsa Jawa itu tiga lee, Kagetan, Gumunan, dan Dumeh. Makanya mbah-mbah kalian
dulu mengatakan ojo Kagetan, ojo Gumunan, ojo Dumeh.”
“Gumunan itu apa mbah ?”
“Gampang kagum, ketika ada
sesuatu yang belum pernah dilihat, langsung kagum. Hal itulah yang akhirnya
menjadikan kita gampang ditipu lee. Kita kagum dengan bangsa Barat yang bisa
membuat sesuatu yang hebat, padahal jauh sebelumnya mbah kita sudah mampu
membuatnya. Kita kagum dengan pendidikan Barat, dengan tradisi asing, dan
sebagainya.”
“Iya juga sih mbah, saya
sendiri ngerasa begitu. Ada pemimpin di negara tetangga yang membongkar korupsi
saja saya kagum. Ada pemimpin negara bagian yang buatin rumah ibadah bagi
warganya saya juga kagum. Padahal kalo dipikir-pikir kan wajar yaa mbah.” Joko
mencoba memuntahkan segala pikirannya kepada para penghuni Gerdhu.
“Buatin rumah ibadah apaan Ko ?
Mbok kira proyek pemerintah mbangun panti, gereja, sinagog, pura, mesjid,
perpustakaan, taman, itu uangnya dhe’e ? Wong yang dibuat mbangun itu duitnya
warganya kok. Haha. Dia tanda tangan aja mbok anggep mbangun, yang bangun ya
tukang.” kata Kacud
“Oh iya ya mbah, lupa saya.
Haha.”
“Malah ada lho di negara
tetangga manfaatin uang warga dengan niat ada udang dibalik batu, ngeluasin
jalan raya di desa-desa dengan tujuan suatu saat desa itu dibeli tanahnya,
dibangun pabrik disitu, warga jadi satpam, ndak punya tanah, rumah tergusur,
jalan rayanya sebagai akses transportasi pabrik.” Sahut Nisito
“Kok kejam banget gitu ya mbah
? Apa warganya ndak ngamuk ? terus demo pepe[1]
di tengah lapangan kayak jaman Majapahit ?” tanya Arda
“Wah pengetahuan sejarahmu kok
luas tenan, lee. Sipp.” Puji Juniti
“Haha, pemuda sekarang beda
dengan mbahnya kemarin Jun.” Kata Nisito. “Gini lee, warga di negara tetangga
itu ndak marah, lha wong pemimpinnya ngomong jalannya diluaskan agar warga
lebih nyaman pas bepergian, agak lucu lee padahal sebelum jalannya diluaskan yo
lancar saja. Malah dengan jalan yang ndak begitu luas, warga itu ndak
kebut-kebutan, andhap asor, gampang
bertutur sapa. Lha warga negara tetangga itu terlalu lembut hatinya, ndak
gampang curigaan, terus masih terwarisi budaya feodal dimana yang mimpin negara
itu ya pemimpinnya yang harus dihormati atau di “Raja” kan. Itulah yang kadang
dimanfaatkan lee. Warga negara tetangga tersebut gampang gumun atau kagum.
Ketika ada suatu isu, gampang kagetan terus katutan kayak anak bebek. Mungkin
warga negara tersebut terlalu menerapkan filsafat mbahmu dulu, Suro
Diro Joyoningrat, Lebur Dhening Pangestuti.”
“Apa itu mbah ? kok puanjang
kalimate ?” tanya Amang
“Intinya itu kepercayaan diri
bahwa segala keberanian, kekuatan, dan kejayaan duniawi akan hancur dengan
kasih sayang. Pengertiannya sangat luas, secara umum orang Jawa harus
mengutamakan sifat welasnya. Kalo dalam Islam, sifat Kasih Sayang adalah sifat
utama Tuhan to. Makanya kita ngucap bismillah. Dalam ajaran Nabi, kasih sayang itu
sifat yang diajarkan Kanjeng Nabi Isa. Dalam Injil disebutkan, Jika dipukul
pipi kanan, berikan pipi kirimu. Ya artinya tetap kasih sayang meskipun
dilukai.”
“Wah, ya ndak kuat mbah, kabyuk
ae dhapur’e. Haha” kata Arda
“Ya semua pitutur mbahmu kudu
dipelajari dan digunakan ketika memang pas kondisinya. Ketika kita menghadapi
masalah dan bisa menyelesaikan, ya gunakan sifat Kanjeng Nabi Muhammad lee,
jika dipukul kalian boleh balas, tapi lebih mulya jika mau memaafkan. Ketika
masalah itu mustahil kita mampu mengatasi, maka itu digunakan, melawan dengan
kasih sayang dengan harapan Tuhan terlibat mengatasi masalah dan berkenan
memberi kesadaran. Jangan dilawan dengan kekuatan, kliru dobel.”
“Nek kata mbahmu dulu, Kawula
mung saderma, mobah mosik kersaning Hyang sukmo.” Kata Kacud sambil
menuding-nudingkan jarinya niru Semar.
“Nggaya mbah Kacud ini. Apa
lagi itu mbah ?”
“Intinya kita lakukan sebisa dan
semampu kita ndak usah berlebihan, selanjutnya biar Tuhan yang bekerja. Dalam
hal apapun, baik bekerja, sekolah, dan berjuang. Ketika kita di dhalimi, ya
kita berjuang dengan kemampuan kita. Mereka akan Ngunduh Wohing Pakerti.”
Kata Nisito
“Oh, nek itu saya tau mbah. Itu
artinya mirip Sopo Nandur Bakal Ngunduh, siapa jahat akan mendapat
balasannya, yang baik juga akan dapat baik, ya kan mbah ?” ujar Amang
“Haha, ya iya lee. Nek ndak
ikut nandur tapi ngunduh ya Codhot namanya.” Jawab Kacud. “Berarti para maling
di kantor pemerintahan adalah ??”
“Codhoooooot....”
Suara penghuni Gerdhu yang
merespon Kacud sangat serempak mirip paduan suara orchestra. Seluruh penghuni
Gerdhu tertawa terpingkal-pingkal mendengar plesetan Kacud. Suasana Gerdhu sudah
mulai adhem diikuti gerakan sang surya yang akan segera surup.
“Makanya lee, kalian harus jaga
negara kalian ini, jangan sampai seperti itu. Kudu Eling lan Waspodo. Eling
kepada Gusti Allah dan waspada terhadap segala fenomena. Jangan kagetan dengan segala
isu yang kalian dengar, kudu dipelajari, dicermati, didalami. Meskipun isu itu
berasal dari Syekh, Habib, Sayyid, Syarif, Wong Topo, wong Gendheng, guru,
ustad, tetep kudu dipikir matang-matang.” Pungkas Juniti
“Enggeh mbah, saya jadi
teringat di desa kecamatan seberang pulau itu gampang kagetan mbah. Hanya
gara-gara isu ada yang ganggu kegiatan ibadah suatu agama, mereka langsung
marah, terus ya ustadnya itu ngawur pakek berkata harus Jihad. Medheni mbah.
Lha dipikir-pikir siapa Ustad itu kok merintah Jihad. Tapi karena sifat dasar
warganya yang nganggap kalo ustad ngomong mesthi benar, ya ikutan semua.” Beber
Arda
“Lho jangan suudhon lee, anggep
aja ustad itu sudah ngrasa pantas mewakili Tuhan membimbing manusia. Jadi Tuhan
yang asli ndak usah ikut-ikutan. Makanya dia berfatwa. Haha..” kata Kacud
“Haha. Kalo kita angen-angen, kita
diajari Tuhan ketika lahir kita sendirian dan mati juga sendiri, lha kok hidup
katut orang. Wong kita nganut Kanjeng Nabi aja bukan karena kita nganut beliau,
tapi kecintaan kita kepada Kanjeng Nabi yang perjuangannya dalam menyebar nilai
keislaman dan menata akhlak tak dapat tergambarkan. Dalam urusan ketauhidan,
Kanjeng Nabi dan kita ya nganut Gusti Allah Yang Maha Tunggal, Yang ngutus
beliau.”
“Iya juga ya mbah, kita ndak
bisa tau hal-hal yang mustahil akal manusia tau kalo bukan karena Kanjeng Nabi
diutus kesini. Kita meneladaninya, mencontohnya, dengan tujuan yang sama yaitu
Gusti Allah.” Sahut Culing
“Iyaa, makanya kita kudu niru
perjuangan beliau. Setidaknya kita memberi manfaat kepada orang lain, jangan
melakukan Moh Limo. Kata mbahmu dulu, Urip iku Urup tur Urap. Ada yang
bisa jelasin ndak ?”
“Saya sih pernah dengar mbah.”
Kata Joko. “Kalo ndak salah hidup itu harus bermanfaat, urup kan berarti
menyala, menerangi kegelapan yang berarti tingkah kita ya setidaknya tidak
menjerumuskan kepada keburukan. Ibarat Islam mungkin kita disebut muslim kalo
kelakuan kita pas baik, kalo pas nyolong ya ndak muslim. Maka agar urup, kita
harus berusaha berkelakuan muslim terus.Kalo urap ndak tau, hehe.”
“Urap ya gado-gado. Berarti
berwarna-warni. Hidupmu mosok kok terang tok ndak ada gelapnya ? yaa bunar.” Jawab Kacud
“Oalah, paham mbah saya. Urap
berarti hidup itu beraneka macam gejalanya, tidak bisa hanya satu gejala.” Kata
Mad Fataa
“Betul lee, dalam hidup kita
senantiasa menjumpai banyak gejala, walau beda tapi semua bisa saling
berhubungan dengan situasi dan kondisi yang tidak hanya bener tapi pener. Ketika
ada masalah psikologi, tidak mesti kita harus menyelesaikan dengan ilmu
psikologi. Ibarat alam kan bermacam-macam tapi kalo disatukan ya bisa, Siapa
yang nyangka rujak dikasih es aja jadi es rujak. Kopi dikasih es ya jadi es
kopi, tapi ya enak to kalo pas komposisinya. Makanya cukup melihat alam kita
sudah bisa peka terhadap segala warna kehidupan. Alam iku sejatine guru.”
Tungkas Juniti
“Nah, agar kita bisa peka dan selalu urup
serta urap, kita kudu ingat Sangkan Paraning Dumadi atau asal
dan tujuan segala ciptaan. Dari mana kita berasal dan apa tujuan kita, ketika
melihat hewan ya sama, darimana hewan berasal dan apa tujuannya diciptakan.”
Kata Nisito
“Wah, ingat hal itu ya sangat
berat mbah, apalagi jaman sekarang semua dimanfaatkan dengan niat keuntungan
diri sendiri.” Sahut Arda
“Ya semua ada prosesnya, lee.
Yang penting jangan ada niatan seperti mereka. Kalian kudu inget wejangan
penting dalam hidup, yaitu Memayu Hayuning Pribadhi, Memayu Hayuning
Keluarga, Memayu Hayuning Bhawono. Dan tujuan kita hidup tidak lain
adalah Manunggaling Kawula lan Gusti.”
“Waduh, tolong dijelasin mbah,
yang Kemayu tadi loo.” Ucap Jemblung
“Ooo bocah kucluk, bukan Kemayu
tapi Memayu lee. Wah kupingmu perlu dirukyah ini.” Kata Kacud
“Hehe, yaa itu lah mbah, salah
dikit mosok ndak paham.”
“Memayu Hayuning Pribadi
berarti memperindah segala kelakuan, sifat, karakter, jalan hidup, dan watak
diri sendiri. Adapun Memayu Hayuning Pribadi berarti menjaga keharmonisan,
kesakinahan, keberkahan, dan kesetiaan dalam keluarga. Kan dalam agama diajarin
bahwa tugas kita yaitu menjaga keluarga dari neraka Tuhan. Kalo Memayu Hayuning
Bhawono berarti dimanapun kita berada, dalam kondisi apapun, kita berusaha
menjaga, melestarikan, melindungi, memperindah keberlangsungan kehidupan di
alam raya. Kan kita khalifah di bumi tempat kita ditakdirkan lahir. Kalo kita
lahir di Jawa ya kita menjadi khalifah di Jawa sehingga harus menjamin
kehidupan, budaya, adat istiadat, sejarah, dan keindahan alam Jawa.” Ujar
Nisito
“Dalam istilah Islam, Memayu
Hayuning Bhawono itu bahasa Arabnya Rahmatan Lil Alamin.” Tambah Juniti
Para pemuda tersebut terlihat
sangat serius mendengarkan para mbahnya yang ditanggap di Gerdhu. Namun, Juniti
menangkap ada gelagat yang berbeda dari Culing yang seolah ingin protes.
“Apa ada yang mau diomongin
Ling, kok kayak orang bingung ?” tanya Juniti
“Emm, yang Manunggaling Kawula
Gusti lo mbah, bukannya itu aliran sesat ?”
“Hah ?”
Kacud tersentak keheranan,
kemudian tertawa ngakak seolah lepas kendali. Juniti dan Nisito pun tak mampu
menahan tawanya diikuti oleh semua penghuni Gerdhu. Culing pun tertawa tipis
dengan raut muka kebingungan campur malu.
“Kamu itu banyak lihat kartun
ya, atau sinetron Ling ?” ujar Kacud. “Lha tujuan Islam turun ya agar kamu
dapat Manunggaling Kawula Lan Gusti.”
“Lho kok tujuan Islam ?” Culing
semakin bingung
“Manunggal itu bahasa arabnya
ya Tauhid lee, lha kamu belajar Islam kan agar Tauhid. Menyatu dengan Tuhan.
Makanya kamu harus tau asal kamu, Ling. Ilaihi Roji’un atau kembali ke Tuhan.
Jangan hanya diucapkan terus nggaya disebarkan ke orang-orang. Yang penting itu
sampaikan walau satu ayat, menyampaikan itu maksudnya ya lakonono. Ilmu
Kelakonan Kanthi Laku. Kamu akan tahu ilmunya jika menerapkan ilmu itu.”
Kata Juniti
“Dalam ranah Ketauhidan,
Manunggaling Kawula Lan Gusti berarti Menyatunya kita dengan Tuhan. Artinya
tidak ada siapapun dan jarak antara kita dengan Tuhan. Dalam ranah pemerintahan
berarti menyatunya rakyat dengan pemimpinnya dimana jika salah satunya
disakiti, maka Allah marah. Dalam ranah keluarga berarti menyatunya anggota
keluarga dengan kepala keluarga. Jika ada anggota keluarga disakiti, Allah ndak
rela.”
“Wahh ngelu endhas saya mbah.”
Ucap Joko
“Lha ndak paham to ?”
“Bukan mbah, kok mbah-mbah kita
dulu begitu lengkap dan mendalam pemikirannya. Saya jadi bingung. Padahal di
buku pelajaran saya itu, mbah-mbah dulu menganut Animisme dan Dinamisme. Tapi
dari Universitas Gerdhu ini kok rasanya sangat ndak mungkin penyembah batu
memiliki filsafat hidup sebegitu kompleksnya. Kalo ndak saking dekatnya dengan
Tuhan ya ndak mungkin punya ucapan sesuci itu mbah.”
“Bahkan kita yang dikenalkan
dengan Allah oleh Kanjeng Nabi aja sulit untuk memiliki kesucian ucapan itu.”
Tambah Culing
“Haha, Universitas Gerdhu. Kamu
tuh tak kirain uteknya ndak pas, tapi kok cerdas.” Sahut Kacud
“Universitas kan belajar
keseluruhan pengetahuan dan ilmu tanpa batasan waktu dan ruang mbah. Kita ini
kan ya bahas apapun, jadi ya Universitas Gerdhu fakultas mbah jurusan Jawa.”
“Berarti yang di kampus itu apa ?”
[1]
Demo yang dilakukan warga pada masa Majapahit dengan cara
berjemur ditengah lapangan sampai didengar oleh Raja di Istana.
0 komentar:
Posting Komentar