Sabtu, 31 Desember 2016


Penelusuran ekspedisi sejarah Benjeng sebagai wilayah Majapahitan memang tidak sekedar sebuah dongeng. Ekspedisi kami menuju sebuah wilayah yang konon berdasarkan penuturan warga setempat terdapat sebuah bangunan kuna yang terpendam. Daerah tersebut berada di luar dusun Munggusoyi Benjeng. Tepatnya sekitar 100 meter dari perkampungan dan sekarang terletak di area persawahan.
Ketika tiba disana, kami disambut oleh salah seorang warga yang memang merawat tempat tersebut yang oleh warga disebut sebagai Njedhing. Setelah mendengar beberapa cerita dari warga itu, kami memohon izin untuk melakukan penggalian situs (bahasa kerennya itu ekskavasi) dan penelitian. Ternyta tak hanya difasilitasi tempat, kami juga diberi alat untuk membantu penelitian.
Langsung saja kami membersihkan tempat yang terletak di tengah sawah dengan luas sekitar 5x3 meter. Tempat tersebut memang diberi cungkup dan terlihat ada beberapa masyarakat yang mengunjunginya karena terdapat bekas kembang di area cungkup tersebut. Pada tahap pembersihan, di area tersebut memang sudah banyak terdapat bata kuna yang menumpuk berserakan. Kemudian kami mencoba menggali lebih dalam dan memang tidak ditemukan bata utuh alias semuanya sudah patah.
Berdasarkan penuturan mantan kepala dusun, dahulu tempat ini bekas bangunan yang besar. Pada sekitar tahun 1970an ketika ada pembangunan masjid dusun, maka warga kemudian membawa bata-bata di wilayah itu sebagai bangunan masjid. Kemungkinan besar karena ukuran bata di Njedhing yang besar dan lebar, maka warga kemudian memotongnya menjadi dua. Maka tidak heran jika yang ditemukan semua merupakan bekas dari pengambilan dahulu dan semua terpotong.
Ciri khas bata tersebut terlihat lebih besar dengan perbandingan yang kami lihat di daerah Kemlagi. Penelusuran candi di Kemlagi yang digali oleh BPCB memperlihatkan sebuah bata yang lebih tipis dibandingkan dengan bata di daerah Munggusoyi.


Berdasarkan keterangan Bapak Hariri dari BPCB bagian Arkeologi, bata yang lebih kecil mengindikasikan bahwa bangunan candi tersebut berasal pada masa awal Majapahit (1400an M), sedangkan bata yang lebih besar mengindikasikan pada masa Majapahit akhir. Jika dilihat dari model dan cap yang ada di cetakan bata, bata di Munggusoyi dengan yang ada di Kemlagi terlihat sama. Karena di Munggusoyi lebih besar dan tebal, maka diidentifikasi bahwa bangunan tersebut berasal dari masa Majapahit akhir.
Untuk kepastian bangunan tersebut apakah sebuah candi atau gapura, memang harus perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Namun, dilihat dari geografi wilayah pada tahun awal kemerdekaan, daerah Njedhing tersebut sangat memenuhi syarat sebagai wilayah yang dikatakan candi. Letak dari Njedhing bersebelahan dengan sebuah kali kecil dan dahulu berdasarkan sumber Kretek Desa bernama Kali Tjandi.
Berdasarkan cerita warga yang memiliki sawah di sekitar Njedhing, dibawah area sawah mereka merupakan sebuah tumpukan bata yang berjajar rapi dan masih utuh. Hal itulah yang menyebabkan mereka tidak membajak sawah begitu dalam setelah panen karena kuatir bercampur dengan bata di bawahnya. Adapun luasnya hampir seluas sawah yang diatasnya sehingga sekitar setengah hektar.
Penghuni dari Njedhing menurut beberapa wong pinter, merupakan sosok perempuan yang cantik. Pernah ada cerita ketika ada preman sawah yang ahli beladiri menginap di daerah Njedhing, beliau ingin memecah bata di daerah Njedhing. Secara umum, sudah jelas memecah bata bertumpuk-tumpuk adalah hal yang mudah bagi yang ahli beladiri. Namun, setelah berusaha mencoba, tak satupun bata berhasil dipatahkan. Tak hanya gagal memecah bata, beliau juga diimpeni oleh danyang Njedhing sehingga pulang dan tak meneruskan pekerjaannya.
Konon berdasarkan cerita yang merawat Njedhing, ketika ada warga hendak bepergian ataupun mengadakan selamatan, maka sebaiknya juga pamit kepada Mbah Njedhing. Seperti kebanyakan di desa lain, ketika mengadakan selamatan maka sebaiknya pamit kepada danyang desa. Jika dikaitkan dengan kesopanan, maka memang seharusnya sebelum kita mengadakan acara, kita jangan sampai lupa kepada para leluhur wilayah yang telah berjasa lebih dulu dalam kesejahteraan desa. Dalam islam dikenal dengan berwasilah atau tawasul yaitu dengan mengingat para leluhur yang berjasa dalam kehidupan. Sampai sekarang, ketika akan bepergian semisal akan berziarah ke Wali, maka terlebih dahulu sowan ke Njedhing sebagai perwujudan tata krama yang luhur bagi masyarakat Jawa.
Proses penggalian kami hanya sampai sebatas penelitian terhadap bata yang ditemukan, tidak sampai menggali lebih jauh karena selain memakan waktu, tenaga, biaya, juga tidak ikut punya tanah. Masak sawah orang di jag-jag (dirusak) kan kasian mereka makan apa. Setidaknya upaya dokumentasi lebih dahulu dilakukan.


0 komentar:

Posting Komentar

SEWELASAN

AGENDA

  • MENGOLEKSI
  • BERKEGIATAN
  • NAPAK TILAS

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget