Oleh : Maslikan Arif
Berawal dari kegiatan ekspedisi sejarah yang dilakukan bersama dengan rekan kelompok diskusi sejarah, maka rasa penasaran kami tertuju pada adanya desas desus keberadaan Lingga Yoni di sebuah dusun. Sepulang sekolah, maklum masih SMA, kami berangkat naik kuda besi menuju lokasi yang sebelumnya telah berpamitan dengan aparat desa setempat.
Kampung tersebut bernama Lumpang yang konon dahulu bernama Klagen. Berdasarkan salah satu keterangan warga, kampung tersebut berubah nama menjadi Lumpang karena adanya Lumpang yang tersebar dan dihormati sampai sekarang.
Lumpang yang paling besar diletakkan disamping masjid dusun, tepatnya di sebelah selatan masjid yang diberi cungkup mengindikasikan bahwa Lumpang tersebut memang dihormati. Setelah kami kunjungi, ternyata yang dimaksud dengan Lumpang besar adalah sebuah Yoni tanpa Lingga. Ukurannya lumayan besar dengan tingginya sekitar 40 cm dengan lebar atas sekitar 48 cm.
Adapun Lingganya telah hilang dan tidak ditemukan. Hal itu juga didukung oleh penuturan mbah Ratmo yang merawat Lumpang bahwa ketika ditemukan memang sudah tidak ada penutup lubangnya. Lebih jauh lagi secara mistis, dikatakan bahwa yang dimasjid hanya perempuannya, lanangannya sudah tidak ada. Sosok perempuan itu cantik dan tidak mengganggu. Memang secara ilmu sejarah atau arkeologi, Yoni merupakan simbol kewanitaan (alat kelamin wanita) dan Lingga merupakan alat kelamin pria. Maka tidak salah jika secara ghaib yang terlihat hanyalah sosok wanitanya.
Keberadaan Yoni di kampung Lumpang mengindikasikan bahwa dusun Lumpang dahulu bukanlah dusun yang biasa. Keberadaan Yoni bisa dikaitkan sebagai simbol bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang subur dan menopang perekonomian kerajaan, bisa juga sebagai sesembahan pengganti candi, dan bisa juga sebagai tetenger (penanda) bahwa daerah tersebut bebas pajak (daerah Shima). Meskipun tidak ditemukan prasasti, hal itu cukup membuktikan bahwa dahulu daerah tersebut cukup penting.
Adapun berasal dari zaman apa Yoni tersebut masih belum dapat dipastikan karena memang sangat sulit. Apalagi di bagian depan Yoni arcanya sudah aus dan tidak bisa diidentifikasi. Yoni tersebut memiliki hiasan bunga padma yang mengelilinginya dan terbuat dari batuan andesit. Batuan andesit yang berasal dari daerah gunung dipilih karena sebuah bangunan suci harus berasal dari bahan yang diambil di tempat yang dikeramatkan.
Kemungkinan besar daerah Lumpang dahulu merupakan sebuah kampung Kuna masa Majapahit. Adapun lokasi kampung Kuna tersebut persisnya tidak di wilayah dusun sekarang, namun lebih agak ke selatan. Kurang lebih sekitar 300 meter dari pedesaan dengan jalanan galengan sawah yang cukup untuk dua motor saja. Penunjukkan lokasi tersebut diperkuat banyaknya temuan di sebelah selatan kampung yang sekarang menjadi area persawahan dan kandang ayam.
Penelusuran di sekitar sawah membuahkan hasil yang banyak dengan temuan berupa gerabah, pecahan keramik, genteng, serta yang lebih penting juga adanya lumpang kentheng. Lumpang Kentheng yang masih utuh ditemukan lengkap, yaitu ada simbol wanita dan laki-lakinya. Ada pula temuan Lumpang Kentheng didekat bibir sungai namun terpendam dalam. Menurut mbah Ratmo, memang sengaja dipendam karena sosok yang bersemayam di dalam Lumpang sering mengganggu. Menurut beliau juga, yang dipendam tersebut tidak ada lanangannya (simbol laki-lakinya). Semua tersebar merata di area sawah yang berada sekitar 50 meter dari Kali Lamong.
Daerah Sedapur Klagen memang identik dengan banjir jika musim penghujan. Namun menurut warga, di wilayah persawahan yang diindikasikan sebagai kampung kuna ini tidak terkena dampak banjir. Jadi, ketik ada banjir dari Kali Lamong, yang terkena adalah kampungnya sekarang, sedangkan area persawahan tidak terkena.
Jika dilihat dari geografi wilayah, maka daerah yang diindikasikan sebagai kampung Kuna ini sangat strategis baik sebagai jalur perekonomian lintas sungai maupun jalur lalu lintas. Hal itu karena letaknya yang tidak jauh dari sungai serta berada di tikungan (belokan) sungai sehingga sangat memungkinkan sebagai wilayah perdagangan atau pasar jaman dahulu. Seperti diketahui bahwa pada jaman Majapahit, sungai merupakan jalur perekonomian yang vital bagi kerajaan.
Meskipun tidak dikeramatkan layaknya pada masa Majapahit, warga Lumpang tetap berusaha untuk menghormati dan merawat Yoni dan Lumpang kentheng dengan baik. Tidak ada tradisi ataupun selamatan untuk Yoni tersebut.
Sabtu, 31 Desember 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar