Selat Malaka dan Bajak Laut Sriwijaya
Selain sekitar Laut Sulu di sekitar Selat Makassar, lokasi operasi bajak laut lainnya adalah Selat Malaka. Perairan ini sudah ramai sejak ribuan rahun silam. Kapal-kapal dagang dari India dan Cina sering melintasi jalur laut tersebut untuk perdagangan. Kapal-kapal kaya muatan itu biasanya menjadi sasaran bajak laut. Tak hanya ratusan tahun silam, menurut data survey Biro Maritim Internasional tahun 2000, sejak satu dekade sebelumnya, kawasan Selat Malaka adalah yang paling rawan gangguan bajak laut.
Tanah Singapura dulunya disebut Tumasik. Sekitar tahun 1390an, ini pernah dikuasai oleh Parameswara, tokoh Palembang yang punya istri putri Majapahit. Karena dia menolak tunduk pada Majapahit dia terusir dari Palembang yang dikuasai Majapahit. Selanjutnya dia sampai ke Tumasik dan menyingkirkan raja Tumasik. Hingga dia pun jadi raja. Parameswara lalu sebagai Raja Bajak Laut.
Di zaman sebelum Parameswara, bajak laut di sekitar Selat Malaka sudah hal biasa. Selain Tumasik, Riau pun bisa jadi daerah sarang bajak laut. Menurut Sejarawan Slamet Muljana, dalam bukunya Sriwijaya (2006) daerah Riau yang agak sepi dari pelayaran niaga menjadi sarang bajak laut yang beroperasi di Selat Malaka.
Lapian juga mencatat, Fa-Hsien yang sedang dalam perjalanan pulang dari India (413-414), menyebut perairan di Asia Tenggara dipenuhi oleh bajak laut. Menurut Jiadan (785-805), pangkalan bajak laut berada di sebelah barat-laut Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya dianggap sebagai kerajaan yang memanfaatkan bajak laut untuk menjaga kepentingan dagangnya. Hubungan bajak laut dengan raja-raja lokal biasanya akrab. Bajak laut bisa disulap jadi Angkatan Laut sebuah kerajaan jika ada bagi hasil yang saling menguntungkan antara raja dan kepala bajak laut.
Menurut Gangguan bajak laut dari Cina, Sriwijaya dan Tumasik membuat sebagian pedagang dari Asia Barat lebih memilih melewati pesisir barat Sumatera untuk menuju Jawa. Di pesisir barat Sumatera, setidaknya ada beberapa pelabuhan seperti Barus, Padang atau Pariaman.
Menurut AB Lapian, sejak awal abad XIX, pengaruh bajak laut di Indonesia makin berkurang. Para bajak laut banyak diburu oleh pemerintah kolonial. Bajak laut digolongkan sebagai kriminal. Dalam sejarahnya, Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) yang merupakan Tentara Kolonial Hindia Belanda pun pernah dapat tugas menghalau para bajak laut.
Di tahun 1835, KNIL pernah dikirim ke Belitung untuk melawan bajak laut. Selain itu, setidaknya KNIL pernah dikirim ke Kepulauan Sangir (1863), Manado (1865), Pantai Timur Sumatera East (1885) dan Batu Barah (1886). Meski begitu, bajak laut sejatinya masih ada di kawasan Asia Tenggara di masa-masa sesudahnya. Banyak pulau-pulau kosong yang tak terjangkau oleh pemerintah kolonial, sehingga pulau-pulau itu sangat bagus untuk menjadi sarang bajak laut.
0 komentar:
Posting Komentar