Pengertian Bajak Laut
Kehidupan orang laut masih pada
tingkat kehidupan ekonomi yang awal, yaitu mengumpulkan makanan. Bagi mereka
alam merupakan sumber makanan untuk setiap orang yang mau berusaha guna
kelngasungan hidup dirinya maupun keluarganya. Dan dalam yang lebih agresif,
mereka terkadang melakukan perburuan terhadap barang orang lain yang berada di
lautan asalkan itu bukan milik sesama anggota masyarakatnya. Menurut mereka
bahwa semua yang berada di luar komunitas boleh dijadikan sebagai objek
perburuan baik itu berupa tanaman, hewan, maupun manusia. Orang-orang yang
hidup pada tingkat ekonomi yang lebih baik menyebut tindakan perburuan seperti
ini yang terjadi di laut adalah perompakan atau pembajakan dan pelakunya pun
disebut sebagai Bajak laut.
Bajak laut didefinisikan sebagai
orang yang melakukan kekerasan di laut yang dilakukan untuk kepentingan pribadi
atau kelompok, namun tidak ada wewenang dari pemerintah untuk melakukan
tindakan tersebut sehingga tindakan ini di anggap melanggar hukum dan sebagai
orang kriminal. Masyarakaat eropa mengenal bajak laut dengan istiah Pirata.
Namun menurut Tarling penggunaan pengertian Pirata untuk fenomena yang
berbentuk kekerasan di perairan Asia Tenggara sesungguhnya tidak tepat. Dengan
kata lain, bahwa kata pirata tidak dapat diidentikkan dengan bajak laut. Selain
itu kebudayaan barat juga tidak dapat memisahkan secara tegas pengertian antara
‘pirata’ dan ‘kosario’. Kosarioa juga adalah orang yang melakukan tindakan
kekerasan di laut, namun ia mendapatkan wewenang dari pemerintah untuk
melakukan tindakan tersebut. Namun dalam kenyataannya antara ‘pirata’ dan
‘korsario’ tidak dapat dibedakan secara tegas. Hal ini di sebabkan karena izin
atau dukungan dari pemerintah kepada kapal untuk melakukan tindakan kekerasan
sering kali tidak jelas, sehingga dalam hal ini sulit di tentukan
tindakan mana yang merupakan kategori korsario (yang bermotif politik) dan mana
yag harus dicap sebagai pirata (yang bersifat pidana). Fenomena bahari ini
telah ada sejak zaman Yunani dan Romawi bahkan sebelumnya kasus bajak laut ini
telah ada di Laut Tengah.
Di Indonesia selain kata ‘perompak’
dan ‘bajak laut’, orang Indonesia juga mengenal istilah ‘lanun’/ ‘perompak
lanun’. Kata ini berasal dari nama Ilanun atau Iranun, yaitu nama salah satu
suku bangsa Filipina Selatan. Untuk pengertian bajak laut ini ada pula
bahasa-bahasa derah di bagian Timur Nusantara yang juga menggunakan nama-nama
suku bangsa di Filipina Selatan, yakni ‘Lanong’, ‘Balangingi’ dan
‘Mangindanao’. Selain itu ada pula nama ‘Tobelo’, ‘Belo’ atau ‘pabelo’
yangmerupakan suku bangsa asal Halmahera Utara.
Fenomena
bajak laut adalah lanjutan dari tingkat ekonomi yang paling awal yaitu berburu.
Berburu pada masyarakat bahari berupa panangkapan ikan, namun jika dilihat
lebih lanjut, perburuan ini juga bisa berarti penagkapan segaa sesuatu yang ada
di laut yang luas, sebab wilayah laus dianggap sebagai tempat berusaha yang
bebas. Sehingga dalam hal ini mengenai milik atau kepunyaan orang lain tidak
berlaku, akibatnya semua orang yang berusaha merasa bebas untuk mengambilnya demi
memenuhi keperluan hidupnya. Dan bagi masyarakat yang peradabannya lebih maju
menyebut tindakan ini sebagai perompakan yang dilakukan bajak laut. Dalam hal
ini pula dapat terlihat pranata ‘tawan karang’ yang di anut berbagai mayarakat
pantai, menurut mereka segala sesuatu yang terdampar dari laut senagai ‘ikan’
yang menjadi milik mereka bagi siapa saja yang berhasil mengkapnya, atau
dalam beberapa hal menjadi milik penguasa di wilayah yang bersangkutan.
Ada
motivasi lain dari tindakan tersebut yang dilihat dalam konteks psiko-sosial.
Jiwa avonturir pada beberapa kelompok masyarakat yang cenderung mencari jalan
keluar dengan melakukan berbagai kegiatan seperti berburu, berlayar dan bahkan
berperang. Selainitu ada juga dorongan dari kaum wanita, bertualang dan menjadi
bajak laut dianggap memiliki prestise tersendiri yang merupakan symbol
kenjantanannya. Selai itu ada pula motif balas dendam yang menyebabkan
masyarakat bahari menjadi bajak laut, dan dalam banyak kasus motif balas dendam
memainkan peran penting. Bahkan sering kali sukar ditentukan pihak mana yang
mulai membajak dan pihak mana yang melakukan serangan balasan.
Sejarah
Bajak Laut di Asia Tenggara
Berita tertua pelayaran di Asia Tenggara tentang Bajak
laut diberitakan oleh Faxian. Pada waktu itu ada beberap tempat yang ditakuti
pelaut China yakni Sha Huagong dan Ma-lo-nu. Berita Jiadan menyebutkan tempat
bajak laut itu yakni kerajaan Gegesengzhi. Disamping itu Ibnu Batutah menulis
bahwa ketika kapalnya tiba di Qaqullah, sejumlah perahu sedang bersiap
melakukan pembajakan di laut. Intinya, sejarah Bajak Laut di Asia Tenggara
pusat terjadinya perompakan bajak laut tak lain berada di sekitar daerah selat
Malaka sekitar abad ke-5 sampai 15.
Peristiwa yang berasal dari sumber Portugis sekitar
tahun 1544, berita itu disebut pula peranan orang Bajau sebagai bajak laut yang
berpangkalan di pulau kecil dekat pantai barat Semenanjung Sulawesi Selatan.
Tetapi wilayah operasinya luas sekali karena mereka suka keliling. Mereka
membajak sambal menangkap orang untuk dijual sebagai budak, dan mereka
berkumpul di tempat bernama Jumaia.
Abad
XVII-XVIII : Bajak Laut Papua
Jumaia merupakan pusat pasar hasil
bajak laut orang Bajau. Kebanyakan berita masa ini hanya menyebutkan perompak
Bajau. Penelitian tentang Bajak Laut Papua terungkap pada abad ke XVII menurut
sumber Belanda. Penelitian tentang bajak Laut Papua kebanyakan berasal dari
Raja Ampat. Kepulauan Raja Ampat berhubungan erat dengan Biak dikarenakan
mitologi disana.
Banyak cerita bahwa pelaut Biak
menguasai perairan Maluku, hal ini didasarkan kenyataan bahwa pada abad ke XVII
kawasan ini dilanda serangan bajak laut yang berasal dari sebelah timur. Bahkan
bagi orang di Pulau Kisar, kata Papua adalah sinonim dari Bajak Laut. Berita
VOC menyebutkan bahwa pulau Papouwa terbagi dalam tiga kerajaan yaitu Weige,
Mishol ende Weigamo. Banyak berita menyebutkan bahwa ketiga kerajaan ini sering
menyerang di pantai Seram.
Kegiatan pembajakan pelaut Papua
sangat mengganggu pelayanan di Maluku, penghuni pantai yang jauh dari pantauan
VOC ditangkap dan dijual sebagai budak kembali kepada VOC. Menjelang akhir abad
ke XVIII, kegiatan bajak laut Papua muncul dalam dimensi baru yaitu sebagai
prajurit atau tenaga perang pembantu kerajaan Nuku.
Abad
XVIII-XIX : Bajak Laut Tobelo
Sesudah Nuku meninggal, kegiatan
bajak Laut tidak lagi menyebut Papua, melainkan bajak laut Tobelo. Tobelo
terdiri dari banyak suku bangsa yang menurut Bahasa Bima, Makassar, dan
Mongondow kata Tobelo disamakan dengan “bajak laut”. Awal dari keberadaan bajak
Laut Tobelo tidak diketahui. Terdapat pendapat bahwa keberadaan Tobelo ini tak
lepas dari kerajaan Ternate yang mengindikasikan bahwa Tobela adalah armada
laut Ternate. Namun yang pasti bahwa pada tahun XVIII dapat dikatakan
keberadaan bajak laut Tobelo tersebut.
Bajak Laut masa ini sebenarnya bukan
memilii arti bajak laut sesungguhnya, tetapi lebih ke perlawanan terhadap
musuh-musuh di laut seperti Tidore dan VOC. Jadi dapat dikatakan bajak Laut
Tobelo tak lebih dari sebuah armada perang bangsa lain untuk menyerang bangsa
lain. Hal ini berubah pada abad ke XIX dimana pelaut Tobelo berubah menjadi
ganas dan melakukan penyerangan seperti ke kampong Bawean dan menjadikan mereka
sebagai budak.
Kegiatan bajak Laut Tobelo muncul
dalam laporan Belanda abad XIX. Pengejaran terhadap mereka menggunakan kapal
uap menyebabkan banyak yang tertangkap. Kemudian banyak yang dikembalikan
kepada keluarganya atau tempat tinggalnya.
Lanun,
Mangindano, Balangingi
Ketiga kelompok ini berada di
wilayah laut Sulawesi dan menjadi bajak laut yang sangat ditakuti di seluruh
perairan Asia Tenggara. Orang Lanun berasal dari tengah pulau Mindanao yang
berpindah ke wilayah pesisir akibat seleksi alam. Namun pada abad ke XVIII
orang Lanun telah menyebar dengan kekuatan nahkoda, pandai besi, dan lain-lain.
Mereka menetap di daerah Sulu dan menjalin hubungan patron-klien dengan
pemimpin Sulu. Mereka dikenal bermata pencaharian sebagai perompak sekitar 5000
orangnya. Mereka memiliki kapal dengan senjata api untuk membajak. Banyak sekali
korbannya diantaranya orang Inggris, Belanda.
Orang Mangindano merupakan orang yang
menghuni Mindanao. Orang Mangindano telah berkonfrontasi dengan kekuatan laut
dan Spanyol pada XVI. Masyarakat Mangindano terbagi menjadi dua yaitu yang
hidup di muara sungai dan di hulu sungai. Sebenarnya sama saj bagaimana proses
perompakan yang dilakukan orang Mangindano yaitu menjual hasil tangkapannya.
Yang unik adalah orang Mangindano menganggap perompakan yang dilakukan adalah
sebuah peperangan.
Balangingi berada di sekitar Pulau
Samales kepulauan Sulu. Orang Balangingi muncul pertama kali pada tahun 1830an.
Orang Balangingi berasal dari berasal dari berbagai macam suku bangsa.
Balangingi seperti sebuah pangkalan besar perompakan laut atau sebuah komunitas
laut yang terdiri dari banyak bangsa. Kelompok Balangingi perlahan menggantikan
orang Lanun dan menyebar dimana-mana.
Waktu Pelayaran
dan Wilayah Pemberontakan
Pada waktu itu pelayaran ditentukan sistem angin setempat. Daerah
ini mengalami dua musim yaitu dari April sampa September yang mana angin dating
dari timur laut, dan oktober sampai maret ketika angin barat daya menguasai
iklim setempat. Berdasar kenyataan ini, maka kepulauan Filipina dua kalli dalam
setahun didatangi bajak llaut dari selatan, yaitu pada bulan maret dan oktober.
Perkampungan pantai Selat Luzon, pulau-pulau Visaya dan pantai
UUtara Midanau menjjadi sasaran utama. Agarserangan ke utara dipermudah,
mengingat factor angin, orang-orang Lanun membangun pangkalan di pulau-pulau
dekat uzon, terutama di Mindoro. Pangkalan-pangkalan ini sangatterkenalm pada
abad XVII, dan merupakan batu loncatan bagi Lanun untuk mengadakan seangan ke
utara. Ketakutan masyarakat terhadap serangan ini menyebabkan daerah pantai
banyak yang kosong dan ditinggalkan penduduk.
Di tempat lain di Kepulauan Visaya kaum Friar (buder) memperkuat pertahanan kampong dengan membangun
temboktebal, khususya di sekitar gereja sehingga rakyat dapat berlindung
bilamana bajak laut dating menyerang. Tembok ini sebenarnya merupakan kubu
pertahanan karena dipersenjatai dengan meriam.
Bgi penduduk Kalimantan, angin timur laut juga sangat berbahaya
pada abad XVII dan XIX sebab dengan angin ini perompak Lanun berlayar ke
kawasan ini.angin timur laut seringdigunakan bajak laut sehingga di Pantai
Serawak angin ini dinamakan Angin Lanun, the
pirate wind. Kedatangan Lanun di
perairan Riau pada abad XVII menurut Tuhfat
al-Nasis dalah sebagai akibat tindakan Belanda di sini untuk menguasai
perdagangan timah yang paada waktu itu sudaah berada di tangan Bugis. Setelah
Belandadikalahkan keekuatan Lanun di perairan Riau dan pantai timur Sumatera
dengan didirikan pangkalan di daerah Rateh.. menurut laporan Belanda orang Lnun
di Rath mampu mengerahkan seribu tenaga laki-laki bersenjata. Ada 10 hingga 20
kapal dengan awak 50 sampai 80 orang yang dipesenjatai satu meriam besar dan
dua buah meriam kecil. Dari pangkalan ini mereka merompak di perairan di
sekitarnya.
Eskader perompak yang lain berangkat dari kepulauan Sulu dan
Mindanao Selatan melalui Selat Makasar dengan menggunakan angin timur-laut
juga. Kerajaan-kerajaan di Kalimantaan Timur seperti Berau dan Bullungan
dilaporkan bekerjasama atau dipaksa bekerja sama dengan Lanun dan Mangindano
ini, karena kekuatan para perompak ini lebih besar dari kekuatan kerajaan itu
sendiri. Selain itu perompak ini juga memiliki pangkalan penting di Tolitoli,
Sulawesi Utara.
Di bagian selatan dari Selat Makasar, mereka mendirikan pangkalan
di PulauLaut (wilayah Kalimantan Selatan). Menurut laporan Pangeran Said Hassan
Alhabsy (1830), orang Lanun di Pulau Laut bekerjasama dengan pemimpin di
Bangkalan (Kalimantan Selatan) yang disebut Haaji Jawa, berasal dari Kalimantan
dan Orang Bajau serta orang Tobelo dari
Halmahera. Pangkalan di Pulau Laut ini juga merupakan tempat bertolak untuk
menjajah Laut Flores dan Laut Jawa.pada 1828 penduduk kepulauan Kangean,
sekitar 300 orang diangkut ke Pulau Laut untuk dijadikan budak. Selain itu
Perairan Laut Flores dan Maluku merupakan pusat dari perompak Mangindano,
Balangingi, dan Tobelo yang mengadakan penyerangan bersama.
Setelah meninjau tempat kegiatan Lanun, Mangindano, dan Balangingi,
dapat ditarik kesimpulan bahwa wilayah operasi perompak ini meliputi seluruh
daerah maritim Asia Tenggara terutama pada abad XVIII. Pada waktu ini baik
Spanyol maupun Belanda kekuatan maritimnya sedang merosot karena lebih
memperhatikan perluasan wilayah darat dan ditambah masalah dalam negerinya
sendiri. Hanya kekuatan maritim Inggrislah yang kemudian lambat laun tumbuh
menjadi kekuatan yang dominan di Asia
Tenggara pada awal abad XIX.
Dominasi para bajak laut terus berjaya sampai adanya konsolidasi
kekuatan kolonial di Asia Tenggara, maka secara beransur-angsur berita tentang
perompak mulai berkurang. Kegiatan mereka semakin dipersempit dengan
dihancurkannya pangkalan luar mereka seperti Rateh dan Tolitoli oleh kolonial,
terutama perairan sekitar pusat kolonial diamankan dari gangguan perompak.
Sehinggapada pertengahan abad XIX, baik sekitar Manila maupun Batavia dan
Singapura serangan bajak laut telah berkurang.
Namun demikian, pelaut dari Filipina Selatan tidak mundur begitu
saja. Mereka berusaha menghimpun kembali kekuatan yang sudah terpecah akibat
penumpasan dari angkatan laut kolonial. Di Kepulauan Sulu mucul pusat baru
seperti Tawitawi dan di pantai Kalimantan Timur. Mereka mendirikan pangkalan di
Tungku sehingga perairan sebelah timur Nusantara yang kurang dijaga, masih
sering diganggu oleh orang Mangindano dan Balangingi. Tungku kemudian
dihancurkan Inggris pada 1879.
Struktur dan
Organisasi
Pelayaran yang begitu luas dengan banyak orang, terlebih mereka
terdiri dari berbagai suku tentu saja hal ini harus didukung dengan kemampuan
organisasi yang maju dan disiplin yang cukup tinggi. Berdasarkan laporan
pemerintah Belanda dan Spanyol, ada berbagai macam jenis ekspedisi perompak. Pertama, merupakan ekspedisi yang
merupakan balas dendam terhadap serangan yang pernah dilancarkan pemerintah
kolonial. Ekspedisi ini terlihat pada seranagn ‘Moro’ pada abad XVI dan XVII
oleh Sultan di Filipina terhadap Spanyol. Dalam kepustakaan barat serangan ini
dikategorikan ‘bajak laut’, namun melihat motivasinya serangan ini merupakan
perang. Serangan serupa juga pernah dilakukan Raja Muda Manguindanao pada
1770-an di perairan Maluku sebagai balasan terhadap Belanda.
Kedua, ekspedisi yang pada dasarnya berupa perdagangan. Ada kalanya
ekspedisi demikian tidak segan-segan melakukan perampasan di laut apabila tidak
berhasil memperoleh barang yang diperlukan secara wajar. Ekspedisi dagang
semacam ini bisa juga dibiayai para Sultan dan para datu lainnya. Dalam hal ini
pihak yang membiayai perlengkapan mendapat sebagian dari laba. Jenis ketiga merupakan usaha para datu sendiri
tanpa bantuan dari Sultan. Namun apabila ekspedisi berhasil, maka datu
mempersembahkan sebagian dari hasilnya sebagai upeti pada Sultan. Ketiga jenis
ekspedisi ini Sultan memperoleh hasil, namun tingkat keterlibatannya
berbeda-beda.
Sebagaimana telah diketengahkan, masyarakat yang mendiami Mindanao
Selatan dan Kepulauan Sulu terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Selain
orang Tausug yang menduduki posisi dominan, ada orang Lanun, Mangindano, Samal
Laut, Bajau dan suku pedalaman lainnya. Masing-masing hidup dalam kelompok
sendiri dibawah pimpinannya yang pada tingkat lebih tinggi berada dalam
hubungan patron-klien dengan seorang datu, yang umumnya adalah orang Tausug.
Jikapun ada datu Lanun dan datu Mangindano, biasanya itu karena ikatan
perkawinan dengan seorang Tusug.
Jadi yang penting bagi seorang datu adalah memelihara hubungan baik
ke atas maupun ke bawah. Ke atas denagn sultan dan Rumah Baca, sedangkan ke bawah dengan para pemimpin yang masih
terikat adat kesukuan tradisional. Seorang panglima sebagai kepala ekspedisi
harus cukup berwibawa untuk memimipin armada besar. Ia harus mampu memelihara
hubungan baik dengan para nahkoda yang memimpin sebuah perahu dengan anak
buahnya. Pada tingkat perahu, nahkoda merupakan pemimpin tertinggi.
Menurut undang-undang pelayaran Melayu,
nahkoda sewaktu berlayar disamakan kedudukannya sebagai ‘raja’ yang berwenag
penuh atas kapalnya. Namun mereka tidak sewenang-wenang, sebagaimana seorang
raja yang mendengarkan nasihat hulubalang, maka seorang nahkoda harus
membicarakan masalahnya dengan pembantunya selama berlayar. Keputusan melalui
mufakat mewarnai kepemimpinan pada tingkat raja, datu samapai nahkoda di
perahu.
Nahkoda dibantu oleh ‘mualim’ salah satunya ditunjuk sebagai
‘mualim angin’ yang bertanggung jawab atas layar dan tali temali perahu. Ia
dianggap memiliki keahlian mengenai angin di suatu kawasan tertentu. Juru mudi
bertanggungjawab atas kemudi dan tempatnya di bagian buritan. Kemudian ada
beberapa ‘tukang’ seperti tukang layar yang berada dibawah mualim angin, tukang
batu yang mengawasi di haluan agar kapal tidak kandas oleh batu serta bertugas
menurunkan jangkar. Dalam kapal besar terdapat pula tukang kanan dan tukang
kiri yang bertugas mengawasi lambung kapal.
Pada tingkat terbawah ada ‘anak buah’ perahu yang merupakan tenaga
kerja kasar. Mereka harus mendayung perahu ketika layar tak bisa digunakan,
membersihkan perahu, mengngkat barang dan sebagainya. Mereka ini terbagi lagi dalam dua tingkat, yaitu orang merdeka dan
budak. Budak juga dibedakan menjadi budak berhutang dan budak biasa. Dan dalam
setiap ekspedisi bagian yang diterima setiap anggota telah disepakati
sebelumnya, besar kecilnya disesuaikan dengan tingkat kedudukan masing-masing.
Persenjataan mereka sudah modern pada waktu itu. Segala senjata api
dimilikinya kecuali meriam besar. Bedil dan meriam buatan eropa dibeli di
Singapuara yang merupakan pasar bebas pada waktu itu. Diamping itu, senjata api
juga mereka dapatkan dari rampasan dan tukar menukar dengan raja setempat, biasanya
ditukar dengan budak. Senjata tajam yang digunakan ada yang pendek seperti
parang dan golok, dan yang berbentuk panjang seperti pedang dan kelewang. Ada
pula sabit yang di Filipina disebut kampilan,
serta mandau yang merupakan pedang khas dari Kalimantan.
Untuk senjata runcing yang dilempar terdapat lembing dan tempuling, semacam tobak bercabang. Sementara keris merupakan
senjata pribadi yang merupakan pusaka dan digunakan ketika terdesak. Perisai
untuk penagkis serangan ditemukan dalam berbagai bentuk; utar-utar berbentuk bundar, selukung
berbentuk besar dan panjang, jebang juga
berbentuk panjak dan dibuat dari kayu berlapiskan kulit. Selain keteranga
mengenai senjata, hasil penagkapan bajak laut oleh kolonial seperti di Nusa
Dolong, juga ditemukan persediaan makanan dalam jumlah besar. Bahan makanan
pokok mereka berupa beras, jagung, dan sagu.
Umumnya dalam sebuah perahu terdiri dari kelompok yang homogen dari
satu keluarga besar. Namun dalam masyarakat Sulu yang mengenal bermacam-macam
suku bangsa, terdapat hierarki yang didasarkan atas jenis suku bangsa. Lapisan
paling atas adalah orang Tusaung, kemudian orang Lanun dan Mangindano,
dibawahnya adalah suku bangsa Samal, dan paling bawah adalah suku bangsa Bajau.
Sebagaimana dikatakan Datu Mama, kedudukan datu tidak boleh disamakan dengan
‘rayat’ (orang laut). Menurut Datu Mama, ‘Rayat’ menyerang nelayan dan pedagang
kecil, sedangkan ia sendiri menyerang perahu besar saja. Perahu ‘Rayat’
menyerang kalau melihat lawan yang lemah, sedangkan seorang bajak laut sejati
seperti Datu Mama menyerang “untuk
membuktikan keberanian dan kepahlawanannya”. Jadi dalam masyarakat perompak ini
terdapat perbedaan mengenai tinggi rendahnya masing-masing kelompok.
Perahu yang digunakan dalam kegiatan bajak laut bermacam-macam
bentuknya. Pertama yaitu penjajap, penjajap
berbentuk panjang dengan haluan dan buritan yang lancip, serta dibuat seringan
mungkin agar dapat bergerak dengan cepat. Penjajap biasanya terbuka dengan
sedikit bagian tertutup di burutan untu tempat nahkoda dan amunisi. Di bagian
depan terdapat dua meriam besar serta dua lela pada lambung kiri dan kanan.
Berikutnya merupakan perahu Lanong yang merupakan kapal besar yang dibuat di
Mindanao dan Kalimantan Timur. Struktur kapal Lanong hampir sama dengan panjajap,
baik meriam, lela, maupun layarnya. Namun ukuran Lanong lebih besar sekitar 70
kaki, dan funsinga lebih untuk mengangkut orang atau barang ketimbang untuk
bertempur. Bentuk perahu yang terakhir adalah kakap, perahu ini berbentuk kecil yang ringan dan mempunyai satu
tiang saja. Papan dan balok perahu ini tidak dipaku, melainkan dilekatkan
dengan pasak kayu dan diperkuat dengan ikatan rotan. Perahu paling besar
berukuran 20 kaki dan merupakan perahu pengintai yang selalu berlayar bersama
perahu-perahu besar seperti panjajap dan lanong.
Korban Bajak
Laut
Kebanyakan keterangan tentang keadaan dan kegiatan bajak laut
diperoleh dari kesaksian para mantan budak yang melarikan diri atau dibebaskan
ketika pangkalan diserang oleh kolonial. Keterangan dari para budak dapat
dibagi dalam dua jenis. Pertama
adalah informasi dari hasil pemeriksaan oleh petugas kolonoal terhadap para
mantan budak. Keterangan ini sangat
ditentukan oleh pertanyaan yang diajukan dalam pemeriksaan tersebut. Jenis keteranagan Kedua berasal dari laporan tertulis oleh bekas budak itu sendiri.
Jenis sumber ini lebih banyak berisi pengalaman penderitaan dari para budak.
kedua jenis sumber ini punya keterbatasan karena diberi oleh pihak yang
menderita. Jadi meski keterangan dari dalam namun diberikan oleh orang luar.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas pemerintah Hindia-Belanda
kepada para mantan budak menunjukan sebuah sampel yang terdiri dari 30 orang
bekas budak yang diperiksa di Manado pada 1845-1848. pada sampel itu menunjukan
bahwa 12 orang dari Sulawesi Utara, tujuh dari Sulawesi selatan dan Tenggara,
lima dari Filipina, empat dari Maluku Tengah, satu dari Benggai, dan satu dari
pontianak. Semuanya menjadi budak di Kepulauan Sulu. Sebelum menjadi budak
kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani dan yang lainnya sebagai
pedagang, nelayan, penambang, dan pembuat garam. Sementara itu pekerjaan mereka
sebagai budak adalah 17 orang sebagai petani dan yang lain tersebar sebagai
nelayan, pedagang, membuat garam, dan pembantu rumah tangga.
Umumnya mereka diculik ketika sedang berlayar dalam perjalanan
untuk berdagang atau sedang menagkap ikan. Dalam buku karaya A.B Lapian ini
diberikan beberapa kasus penculikan oleh para bajak laut dan mereka kemudian
dijual dan dijadikan budak, namun setelah beberapa tahun mereka melarikan diri
seperti ke Manado.alsan mereka untuk lari karena diperlakukan degan kejam.
Namun dari beberapa kasus tersebut, dalam buku ini ditarik kesimpulan bahwa
budak yang lebih muda dan relatif belum lama jatuh ke tangan bajak laut yang
mengambil prakarsa untuk lari.
Pada umumnya, keterangan mereka tentang perlakuan selama berada
dalam status budak adalah sama. Semuanya disiksa dan disuruh kerja paksa oleh
pemiliknya. Akan tetapi kesaksian ini hanya dari mereka yang melarikan diri
saja. Tidak ada kesaksian dari mereka yang tetap berada dalam kedudukan sebagai
budak. perlu disadari bahwa dibandingkan dengan yang berhasil melarikan diri,
ada jumlah yang lebih besar yang terus bekerja sebagai budak. Malah ketika ada
kesempatan untuk membebaskan diriseperti sewaktu Belanda menyerang Sulu pada
1848 beberapa budak diantaranya memilih untuk tetap tinggal di Sulu. Alasan
yang diberikan adalah karena mereka telah memiliki keluarga dengan orang
setempat sehingga tidak mau meninggalkan tempat tersebut. Hal ini menunjukan
bahwa keadaan para budak tidak selalu seburuk yang digambarkan.
Bisa dimaklumi bahwa ketika mereka baru saja jatuh ke tangan bajak
laut keadaanya sangat buruk. Umumnya nereka diikat pada tangan dan kakinya, dan
pada malam harinya lehernyapun diikat. Bila sedang berlyar mereka ditempatkan
di bawah perahu supaya tidak kelihatan, dan jika membangkang mereka dihukum
dengan kekerasan. Bahkan ketika memberi makan, makanan mereka dilemparkan
seperti memberi makan hewan. Namun setelah tiba di Sulu atau Mindanao keadaanya
membaik, terutama setelah dijual ke beberapa orang setempat. Kebutuhan akan
tenaga mereka membuat mereka diperlakuakan denga baik agar tetap sehat dan
tetap dapat bekerja dengan baik. Adanya kepercayaan membuat mereka dapat
bergerak dengan bebas dalam pekerjaanya
seperti ketika berkebun dan berdagang.
Berita tentang pranata perbudakan di kawasan ini menggambarkan
bahwa perbudakan tidaklah sekejam dibandingkan yang dikenal di dunia barat,
khususnya seperti di Amerika Serikat. Maka ada kecenderungan untuk
membandingkan perbudakan barat dan tmur, yang pertama bersifat kejam dan yang
kedua bersifat lebih manusiawi. Namun, citra ini kurang didukung sumber sejarah
pada masa itu. Dalam hubungan ini, teori watson yang membedakan sistem
perbudakan yang ‘terbuka’ dan ‘tertutup’ lebih bermakna bila diterapkan di
sini.
Dengan sistem tertutup perbudakan dalam masyarakat tradisional yang
mempertahankan budaknya dengan mempertegas kedudukan budak itu dalam masyarakat
bersangkutan. Meski budak mrerupakan suatu milik yang dapat dipindah tangankan,
namun kenyataanya keadaan mereka agak statis, transaksi jual-beli jarang
terjadi. Sebaliknya dalam sistem terbuka transaksi jual-beli lebih sering
terjadi. Keadaan ini dijumpai pada daerah pesisir yang membutuhkan suplai budak
dari luar terus-menerus. Dengan ini dimungkinkan mobilitas vertikal bagi para
budak yang ditentukan berdasar waktu seberapa lama budak itu dipekerjakan. Tetapi dalam sistem terbuka ini ada
kesempatan untuk dimerdekakan, terlebih jika terjalin hubungan yang akrab
dengan tuannya. Sebaliknya dalam sistem tertutup kedudukan budak lebih mapan,
malah dalam tradisi tertentu menganut bahwa golongan tertentu ditakdirkan untuk
tetap menjalankan fungsi yang dituntut masyaraka setempat.
Keadaan masyarakat di kawasan Laut Sulawesi lebih mendekati sistem
terbuka, sebagaimana diberitakan sumber sejarah. Adanya ekspedisi lintas laut
memungkinkan masyarakat Sulu dan Mangindano memperoleh budak yang tunak,
sehingga bandar Sulu terkenal sebagai pusat perdagangan budak pada waktu itu.
Keterangan yang didapat menunjukan keadaan budak disini diperlakukan denga
baik, dan mobilitas keatas dimungkinkan dengan adanya suplai budak yang tetap.
Banyak budak yang mendapat kepercayaan dalam bekerja bahkan ada budang yang
mendapatkan status merdeka, terlebih jika mereka beragama Islam, yaitu agama
suku bangsa Tausug yang domonan di kawasan itu.
Namun demikian selagi ia masih berstatus sebagi budak, kedudukannya
jelas pada tingkat sosial yang paling rendah, walaupun nasibnya baik bersama
tuan yang baik hati. Menurut undang-undang yang berlaku di Maguindanao pada waktu itu, seorang budak
disamakan dengan orang tidak waras atau anak yang belum akhil balig. Misalnya
dalam kesaksian dan bahkan dalam hukuman yang harus diterima mereka. jika
mereka membunuh orang merdeka atau budak lain maka mereka harus dihukum. Namun
jika orang merdeka membunuh budak maka orang merdeka itu tidak boleh dihukum.
Dari keterangan budak yang pernah jatuh ketangan orang Lanun,
Mangindano, dan Balangingi dapat dilihat bahwa selain adanya mobilitas keatas, ada pula gerak mobilitas
horisontal secara geografis. Berbagai suku bangsa dari berbagai penjuru Asia
Tenggara berkumpul di kawasan ini. Ditinjau dari sudut kependudukan kegiatan
bajak laut merupakan faktor penting dalam perpindahan penduduk dan persentuhan
kebudayaan dari berbagai suku bangsa. Menurut perhitungan Warren, dalam waktu
satu abad (1770-1870) kira-kira 200.000 sampai 300.000 oerang telah diangkut ke
Kepulauan Sulu sebagai budak. angka mereka yang melarikan diri tidak diketahui,
namun sebagian besar dari jumlah itu diperkirakan tetap berada di kawasan ini
dan akhirnya telah berbaur dengan penduduk setempat.
Beberapa Kesimpulan
Bajak laut merupkan gejala universal yang terjadi sejak masa awal
sampai pada masa mutakhir ini. Gejala ini muncul dikawasan perairan pada waktu
adanya suatu vakum (kekosongan kekuasaan ). Keadaan demikian pernah ditemukan
di kawaan Laut Tengah pada masa peradaban Yunani dan Romawi kuno, di laut
Karibia pada abad XVI dan XVII, di perairan Mandagaskar dan Afrika Timur pada
abad XVIII, serta di perairan lain termasuk Asia Tenggara. Masalah bajak laut
baru muncul ketika ada bentuk kekuasaan dan pemerintahan lain yang mulai
menampilkan diri dengan tujuan menegakkan kekuasaannya sendiri dan akhirnya
menumpas kekuasaan liar itu dari kawasan yang bersangkutan.
Kesaksian tertua tentang adanya kegiatan bajak laut di Asia
Tenggara berasal dari sumber Cina. Cina menyebut bajak laut kekuatan tandingan
yang mengganggu pelayaran diperairan. Dengan kata lain, kekutan bahari melawan
kekuatan setempat yang telah mengadakan hubungan resmi dengan Cina itulah yang
dinamakan bajak laut.
Setelah kapal Eropa Barat mulai mengunjungi perairan Asia
Tenggara, yang di cap bajak laut adalah
kekuasaan liar yang berada diluar jaringan Internasional, yaitu para pelaut
pribumi dan juga pelaut-pelaut dari Eropa. Akan tetapi dari pandangan Pribumi
kapal Belanda pun tentu dilihat penduduk sebagai bajak laut walaupun sumber
Belanda tidak menyebutnya.
Dikalangan pribumi fenomena bajak laut bukan merupakan sesuatu yang
asing, dalam kepustakaan diadakan
pembedaan antara perlawanan suatu kekuatan maritime yang bermusuhan (dalam
keadaaan perang) dan tindakan perompakan oleh bajak laut. Misalnya kekuatan
laut Ma’duelleng dari Wajo di selat Sulawesi, Mangindano dan Lanun.
Dengan memasuki abad XIX suasana menjali lain. Kekuatan asing yang
datang dari barat semakin mantap menegakkan kekuasaannya. Maka pada abad ini
kekuatan Raja Laut makin lama makin beralih ketangan kekutan Barat. Dalam
perkembangannya, maka kekuatan pribumi makin lama makin jatuh kedalam kekuasaan
kolonial Barat. Sedangkan yang masih mempunyai kekuatan bahari makin lama makin
tergeser kedalam status bajak laut. Satu demi satu Kerajaan pribumi masuk dalam
orbit salah sau kekutan colonial pelayaran dan perdagangan lintas laut hanya
diperbolehkan dengan seizing pemerintah colonial. Yang bisa lolos dari
pengawasan colonial disebut penyelundup sedangkan tiap tindakan kekerasan
dilaut, kecuali yang dilakukan oleh kekuatan colonial dianggap sebagai tindakan
bajak laut.
Ketegasan perumusan siapa yang sepantasnya disebut bajak laut dan
yang bukan dalam dunia Internasional mulai tumbuh pada abad ke 19. Pada waktu
itu mulai diakui hokum Internasional bajak laut, yaitu perorangan atau kelompok
yang mengadakan tindakan kekerasan dilaut tanpa diberi wewenang oleh suatu
pemerintahan yang sah dalam keadaan bukan perang.
0 komentar:
Posting Komentar