Selasa, 27 Desember 2016

Pengertian Bajak Laut
            Kehidupan orang laut masih pada tingkat kehidupan ekonomi yang awal, yaitu mengumpulkan makanan. Bagi mereka alam merupakan sumber makanan untuk setiap orang yang mau berusaha guna kelngasungan hidup dirinya maupun keluarganya. Dan dalam yang lebih agresif, mereka terkadang melakukan perburuan terhadap barang orang lain yang berada di lautan asalkan itu bukan milik sesama anggota masyarakatnya. Menurut mereka bahwa semua yang berada di luar komunitas boleh dijadikan sebagai objek perburuan baik itu berupa tanaman, hewan, maupun manusia. Orang-orang yang hidup pada tingkat ekonomi yang lebih baik menyebut tindakan perburuan seperti ini yang terjadi di laut adalah perompakan atau pembajakan dan pelakunya pun disebut sebagai Bajak laut.
            Bajak laut didefinisikan sebagai orang yang melakukan kekerasan di laut yang dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, namun tidak ada wewenang dari pemerintah untuk melakukan tindakan tersebut sehingga tindakan ini di anggap melanggar hukum dan sebagai orang kriminal. Masyarakaat eropa mengenal bajak laut dengan istiah Pirata. Namun menurut Tarling penggunaan pengertian Pirata untuk fenomena yang berbentuk kekerasan di perairan Asia Tenggara sesungguhnya tidak tepat. Dengan kata lain, bahwa kata pirata tidak dapat diidentikkan dengan bajak laut. Selain itu kebudayaan barat juga tidak dapat memisahkan secara tegas pengertian antara ‘pirata’ dan ‘kosario’. Kosarioa juga adalah orang yang melakukan tindakan kekerasan di laut, namun ia mendapatkan wewenang dari pemerintah untuk melakukan tindakan tersebut. Namun dalam kenyataannya antara ‘pirata’ dan ‘korsario’ tidak dapat dibedakan secara tegas. Hal ini di sebabkan karena izin atau dukungan dari pemerintah kepada kapal untuk melakukan tindakan kekerasan sering kali  tidak jelas, sehingga dalam hal ini sulit di tentukan tindakan mana yang merupakan kategori korsario (yang bermotif politik) dan mana yag harus dicap sebagai pirata (yang bersifat pidana). Fenomena bahari ini telah ada sejak zaman Yunani dan Romawi bahkan sebelumnya kasus bajak laut ini telah ada di Laut Tengah.
            Di Indonesia selain kata ‘perompak’ dan ‘bajak laut’, orang Indonesia juga mengenal istilah ‘lanun’/ ‘perompak lanun’. Kata ini berasal dari nama Ilanun atau Iranun, yaitu nama salah satu suku bangsa Filipina Selatan. Untuk pengertian bajak laut ini ada pula bahasa-bahasa derah di bagian Timur Nusantara yang juga menggunakan nama-nama suku bangsa di Filipina Selatan, yakni ‘Lanong’, ‘Balangingi’ dan ‘Mangindanao’. Selain itu ada pula nama ‘Tobelo’, ‘Belo’ atau ‘pabelo’ yangmerupakan suku bangsa asal Halmahera Utara.
            Fenomena bajak laut adalah lanjutan dari tingkat ekonomi yang paling awal yaitu berburu. Berburu pada masyarakat bahari berupa panangkapan ikan, namun jika dilihat lebih lanjut, perburuan ini juga bisa berarti penagkapan segaa sesuatu yang ada di laut yang luas, sebab wilayah laus dianggap sebagai tempat berusaha yang bebas. Sehingga dalam hal ini mengenai milik atau kepunyaan orang lain tidak berlaku, akibatnya semua orang yang berusaha merasa bebas untuk mengambilnya demi memenuhi keperluan hidupnya. Dan bagi masyarakat yang peradabannya lebih maju menyebut tindakan ini sebagai perompakan yang dilakukan bajak laut. Dalam hal ini pula dapat terlihat pranata ‘tawan karang’ yang di anut berbagai mayarakat pantai, menurut mereka segala sesuatu yang terdampar dari laut senagai ‘ikan’ yang menjadi milik  mereka bagi siapa saja yang berhasil mengkapnya, atau dalam beberapa hal menjadi milik penguasa di wilayah yang bersangkutan.
            Ada motivasi lain dari tindakan tersebut yang dilihat dalam konteks psiko-sosial. Jiwa avonturir pada beberapa kelompok masyarakat yang cenderung mencari jalan keluar dengan melakukan berbagai kegiatan seperti berburu, berlayar dan bahkan berperang. Selainitu ada juga dorongan dari kaum wanita, bertualang dan menjadi bajak laut dianggap memiliki prestise tersendiri yang merupakan symbol kenjantanannya. Selai itu ada pula motif balas dendam yang menyebabkan masyarakat bahari menjadi bajak laut, dan dalam banyak kasus motif balas dendam memainkan peran penting. Bahkan sering kali sukar ditentukan pihak mana yang mulai membajak dan pihak mana yang melakukan serangan balasan.
Sejarah Bajak Laut di Asia Tenggara
Berita tertua pelayaran di Asia Tenggara tentang Bajak laut diberitakan oleh Faxian. Pada waktu itu ada beberap tempat yang ditakuti pelaut China yakni Sha Huagong dan Ma-lo-nu. Berita Jiadan menyebutkan tempat bajak laut itu yakni kerajaan Gegesengzhi. Disamping itu Ibnu Batutah menulis bahwa ketika kapalnya tiba di Qaqullah, sejumlah perahu sedang bersiap melakukan pembajakan di laut. Intinya, sejarah Bajak Laut di Asia Tenggara pusat terjadinya perompakan bajak laut tak lain berada di sekitar daerah selat Malaka sekitar abad ke-5 sampai 15.
Peristiwa yang berasal dari sumber Portugis sekitar tahun 1544, berita itu disebut pula peranan orang Bajau sebagai bajak laut yang berpangkalan di pulau kecil dekat pantai barat Semenanjung Sulawesi Selatan. Tetapi wilayah operasinya luas sekali karena mereka suka keliling. Mereka membajak sambal menangkap orang untuk dijual sebagai budak, dan mereka berkumpul di tempat bernama Jumaia.
Abad XVII-XVIII : Bajak Laut Papua
            Jumaia merupakan pusat pasar hasil bajak laut orang Bajau. Kebanyakan berita masa ini hanya menyebutkan perompak Bajau. Penelitian tentang Bajak Laut Papua terungkap pada abad ke XVII menurut sumber Belanda. Penelitian tentang bajak Laut Papua kebanyakan berasal dari Raja Ampat. Kepulauan Raja Ampat berhubungan erat dengan Biak dikarenakan mitologi disana.
            Banyak cerita bahwa pelaut Biak menguasai perairan Maluku, hal ini didasarkan kenyataan bahwa pada abad ke XVII kawasan ini dilanda serangan bajak laut yang berasal dari sebelah timur. Bahkan bagi orang di Pulau Kisar, kata Papua adalah sinonim dari Bajak Laut. Berita VOC menyebutkan bahwa pulau Papouwa terbagi dalam tiga kerajaan yaitu Weige, Mishol ende Weigamo. Banyak berita menyebutkan bahwa ketiga kerajaan ini sering menyerang di pantai Seram.
            Kegiatan pembajakan pelaut Papua sangat mengganggu pelayanan di Maluku, penghuni pantai yang jauh dari pantauan VOC ditangkap dan dijual sebagai budak kembali kepada VOC. Menjelang akhir abad ke XVIII, kegiatan bajak laut Papua muncul dalam dimensi baru yaitu sebagai prajurit atau tenaga perang pembantu kerajaan Nuku.
Abad XVIII-XIX : Bajak Laut Tobelo
            Sesudah Nuku meninggal, kegiatan bajak Laut tidak lagi menyebut Papua, melainkan bajak laut Tobelo. Tobelo terdiri dari banyak suku bangsa yang menurut Bahasa Bima, Makassar, dan Mongondow kata Tobelo disamakan dengan “bajak laut”. Awal dari keberadaan bajak Laut Tobelo tidak diketahui. Terdapat pendapat bahwa keberadaan Tobelo ini tak lepas dari kerajaan Ternate yang mengindikasikan bahwa Tobela adalah armada laut Ternate. Namun yang pasti bahwa pada tahun XVIII dapat dikatakan keberadaan bajak laut Tobelo tersebut.
            Bajak Laut masa ini sebenarnya bukan memilii arti bajak laut sesungguhnya, tetapi lebih ke perlawanan terhadap musuh-musuh di laut seperti Tidore dan VOC. Jadi dapat dikatakan bajak Laut Tobelo tak lebih dari sebuah armada perang bangsa lain untuk menyerang bangsa lain. Hal ini berubah pada abad ke XIX dimana pelaut Tobelo berubah menjadi ganas dan melakukan penyerangan seperti ke kampong Bawean dan menjadikan mereka sebagai budak.
            Kegiatan bajak Laut Tobelo muncul dalam laporan Belanda abad XIX. Pengejaran terhadap mereka menggunakan kapal uap menyebabkan banyak yang tertangkap. Kemudian banyak yang dikembalikan kepada keluarganya atau tempat tinggalnya.
Lanun, Mangindano, Balangingi
            Ketiga kelompok ini berada di wilayah laut Sulawesi dan menjadi bajak laut yang sangat ditakuti di seluruh perairan Asia Tenggara. Orang Lanun berasal dari tengah pulau Mindanao yang berpindah ke wilayah pesisir akibat seleksi alam. Namun pada abad ke XVIII orang Lanun telah menyebar dengan kekuatan nahkoda, pandai besi, dan lain-lain. Mereka menetap di daerah Sulu dan menjalin hubungan patron-klien dengan pemimpin Sulu. Mereka dikenal bermata pencaharian sebagai perompak sekitar 5000 orangnya. Mereka memiliki kapal dengan senjata api untuk membajak. Banyak sekali korbannya diantaranya orang Inggris, Belanda.
            Orang Mangindano merupakan orang yang menghuni Mindanao. Orang Mangindano telah berkonfrontasi dengan kekuatan laut dan Spanyol pada XVI. Masyarakat Mangindano terbagi menjadi dua yaitu yang hidup di muara sungai dan di hulu sungai. Sebenarnya sama saj bagaimana proses perompakan yang dilakukan orang Mangindano yaitu menjual hasil tangkapannya. Yang unik adalah orang Mangindano menganggap perompakan yang dilakukan adalah sebuah peperangan.
            Balangingi berada di sekitar Pulau Samales kepulauan Sulu. Orang Balangingi muncul pertama kali pada tahun 1830an. Orang Balangingi berasal dari berasal dari berbagai macam suku bangsa. Balangingi seperti sebuah pangkalan besar perompakan laut atau sebuah komunitas laut yang terdiri dari banyak bangsa. Kelompok Balangingi perlahan menggantikan orang Lanun dan menyebar dimana-mana.
Waktu Pelayaran dan Wilayah Pemberontakan
Pada waktu itu pelayaran ditentukan sistem angin setempat. Daerah ini mengalami dua musim yaitu dari April sampa September yang mana angin dating dari timur laut, dan oktober sampai maret ketika angin barat daya menguasai iklim setempat. Berdasar kenyataan ini, maka kepulauan Filipina dua kalli dalam setahun didatangi bajak llaut dari selatan, yaitu pada bulan maret dan oktober.
Perkampungan pantai Selat Luzon, pulau-pulau Visaya dan pantai UUtara Midanau menjjadi sasaran utama. Agarserangan ke utara dipermudah, mengingat factor angin, orang-orang Lanun membangun pangkalan di pulau-pulau dekat uzon, terutama di Mindoro. Pangkalan-pangkalan ini sangatterkenalm pada abad XVII, dan merupakan batu loncatan bagi Lanun untuk mengadakan seangan ke utara. Ketakutan masyarakat terhadap serangan ini menyebabkan daerah pantai banyak yang kosong dan ditinggalkan penduduk.
Di tempat lain di Kepulauan Visaya kaum Friar (buder) memperkuat pertahanan kampong dengan membangun temboktebal, khususya di sekitar gereja sehingga rakyat dapat berlindung bilamana bajak laut dating menyerang. Tembok ini sebenarnya merupakan kubu pertahanan karena dipersenjatai dengan meriam.
Bgi penduduk Kalimantan, angin timur laut juga sangat berbahaya pada abad XVII dan XIX sebab dengan angin ini perompak Lanun berlayar ke kawasan ini.angin timur laut seringdigunakan bajak laut sehingga di Pantai Serawak angin ini dinamakan Angin Lanun, the pirate wind.  Kedatangan Lanun di perairan Riau pada abad XVII menurut Tuhfat al-Nasis dalah sebagai akibat tindakan Belanda di sini untuk menguasai perdagangan timah yang paada waktu itu sudaah berada di tangan Bugis. Setelah Belandadikalahkan keekuatan Lanun di perairan Riau dan pantai timur Sumatera dengan didirikan pangkalan di daerah Rateh.. menurut laporan Belanda orang Lnun di Rath mampu mengerahkan seribu tenaga laki-laki bersenjata. Ada 10 hingga 20 kapal dengan awak 50 sampai 80 orang yang dipesenjatai satu meriam besar dan dua buah meriam kecil. Dari pangkalan ini mereka merompak di perairan di sekitarnya.
Eskader perompak yang lain berangkat dari kepulauan Sulu dan Mindanao Selatan melalui Selat Makasar dengan menggunakan angin timur-laut juga. Kerajaan-kerajaan di Kalimantaan Timur seperti Berau dan Bullungan dilaporkan bekerjasama atau dipaksa bekerja sama dengan Lanun dan Mangindano ini, karena kekuatan para perompak ini lebih besar dari kekuatan kerajaan itu sendiri. Selain itu perompak ini juga memiliki pangkalan penting di Tolitoli, Sulawesi Utara.
Di bagian selatan dari Selat Makasar, mereka mendirikan pangkalan di PulauLaut (wilayah Kalimantan Selatan). Menurut laporan Pangeran Said Hassan Alhabsy (1830), orang Lanun di Pulau Laut bekerjasama dengan pemimpin di Bangkalan (Kalimantan Selatan) yang disebut Haaji Jawa, berasal dari Kalimantan dan Orang Bajau serta  orang Tobelo dari Halmahera. Pangkalan di Pulau Laut ini juga merupakan tempat bertolak untuk menjajah Laut Flores dan Laut Jawa.pada 1828 penduduk kepulauan Kangean, sekitar 300 orang diangkut ke Pulau Laut untuk dijadikan budak. Selain itu Perairan Laut Flores dan Maluku merupakan pusat dari perompak Mangindano, Balangingi, dan Tobelo yang mengadakan penyerangan bersama.
Setelah meninjau tempat kegiatan Lanun, Mangindano, dan Balangingi, dapat ditarik kesimpulan bahwa wilayah operasi perompak ini meliputi seluruh daerah maritim Asia Tenggara terutama pada abad XVIII. Pada waktu ini baik Spanyol maupun Belanda kekuatan maritimnya sedang merosot karena lebih memperhatikan perluasan wilayah darat dan ditambah masalah dalam negerinya sendiri. Hanya kekuatan maritim Inggrislah yang kemudian lambat laun tumbuh menjadi kekuatan  yang dominan di Asia Tenggara pada awal abad XIX.
Dominasi para bajak laut terus berjaya sampai adanya konsolidasi kekuatan kolonial di Asia Tenggara, maka secara beransur-angsur berita tentang perompak mulai berkurang. Kegiatan mereka semakin dipersempit dengan dihancurkannya pangkalan luar mereka seperti Rateh dan Tolitoli oleh kolonial, terutama perairan sekitar pusat kolonial diamankan dari gangguan perompak. Sehinggapada pertengahan abad XIX, baik sekitar Manila maupun Batavia dan Singapura serangan bajak laut telah berkurang.
Namun demikian, pelaut dari Filipina Selatan tidak mundur begitu saja. Mereka berusaha menghimpun kembali kekuatan yang sudah terpecah akibat penumpasan dari angkatan laut kolonial. Di Kepulauan Sulu mucul pusat baru seperti Tawitawi dan di pantai Kalimantan Timur. Mereka mendirikan pangkalan di Tungku sehingga perairan sebelah timur Nusantara yang kurang dijaga, masih sering diganggu oleh orang Mangindano dan Balangingi. Tungku kemudian dihancurkan Inggris pada 1879.

Struktur dan Organisasi
Pelayaran yang begitu luas dengan banyak orang, terlebih mereka terdiri dari berbagai suku tentu saja hal ini harus didukung dengan kemampuan organisasi yang maju dan disiplin yang cukup tinggi. Berdasarkan laporan pemerintah Belanda dan Spanyol, ada berbagai macam jenis ekspedisi perompak. Pertama, merupakan ekspedisi yang merupakan balas dendam terhadap serangan yang pernah dilancarkan pemerintah kolonial. Ekspedisi ini terlihat pada seranagn ‘Moro’ pada abad XVI dan XVII oleh Sultan di Filipina terhadap Spanyol. Dalam kepustakaan barat serangan ini dikategorikan ‘bajak laut’, namun melihat motivasinya serangan ini merupakan perang. Serangan serupa juga pernah dilakukan Raja Muda Manguindanao pada 1770-an di perairan Maluku sebagai balasan terhadap Belanda.
Kedua, ekspedisi yang pada dasarnya berupa perdagangan. Ada kalanya ekspedisi demikian tidak segan-segan melakukan perampasan di laut apabila tidak berhasil memperoleh barang yang diperlukan secara wajar. Ekspedisi dagang semacam ini bisa juga dibiayai para Sultan dan para datu lainnya. Dalam hal ini pihak yang membiayai perlengkapan mendapat sebagian dari laba. Jenis ketiga merupakan usaha para datu sendiri tanpa bantuan dari Sultan. Namun apabila ekspedisi berhasil, maka datu mempersembahkan sebagian dari hasilnya sebagai upeti pada Sultan. Ketiga jenis ekspedisi ini Sultan memperoleh hasil, namun tingkat keterlibatannya berbeda-beda.
Sebagaimana telah diketengahkan, masyarakat yang mendiami Mindanao Selatan dan Kepulauan Sulu terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Selain orang Tausug yang menduduki posisi dominan, ada orang Lanun, Mangindano, Samal Laut, Bajau dan suku pedalaman lainnya. Masing-masing hidup dalam kelompok sendiri dibawah pimpinannya yang pada tingkat lebih tinggi berada dalam hubungan patron-klien dengan seorang datu, yang umumnya adalah orang Tausug. Jikapun ada datu Lanun dan datu Mangindano, biasanya itu karena ikatan perkawinan dengan seorang Tusug.
Jadi yang penting bagi seorang datu adalah memelihara hubungan baik ke atas maupun ke bawah. Ke atas denagn sultan dan Rumah Baca, sedangkan ke bawah dengan para pemimpin yang masih terikat adat kesukuan tradisional. Seorang panglima sebagai kepala ekspedisi harus cukup berwibawa untuk memimipin armada besar. Ia harus mampu memelihara hubungan baik dengan para nahkoda yang memimpin sebuah perahu dengan anak buahnya. Pada tingkat perahu, nahkoda merupakan pemimpin tertinggi. Menurut  undang-undang pelayaran Melayu, nahkoda sewaktu berlayar disamakan kedudukannya sebagai ‘raja’ yang berwenag penuh atas kapalnya. Namun mereka tidak sewenang-wenang, sebagaimana seorang raja yang mendengarkan nasihat hulubalang, maka seorang nahkoda harus membicarakan masalahnya dengan pembantunya selama berlayar. Keputusan melalui mufakat mewarnai kepemimpinan pada tingkat raja, datu samapai nahkoda di perahu.
Nahkoda dibantu oleh ‘mualim’ salah satunya ditunjuk sebagai ‘mualim angin’ yang bertanggung jawab atas layar dan tali temali perahu. Ia dianggap memiliki keahlian mengenai angin di suatu kawasan tertentu. Juru mudi bertanggungjawab atas kemudi dan tempatnya di bagian buritan. Kemudian ada beberapa ‘tukang’ seperti tukang layar yang berada dibawah mualim angin, tukang batu yang mengawasi di haluan agar kapal tidak kandas oleh batu serta bertugas menurunkan jangkar. Dalam kapal besar terdapat pula tukang kanan dan tukang kiri yang bertugas mengawasi lambung kapal.
Pada tingkat terbawah ada ‘anak buah’ perahu yang merupakan tenaga kerja kasar. Mereka harus mendayung perahu ketika layar tak bisa digunakan, membersihkan perahu, mengngkat barang dan sebagainya. Mereka  ini terbagi lagi  dalam dua tingkat, yaitu orang merdeka dan budak. Budak juga dibedakan menjadi budak berhutang dan budak biasa. Dan dalam setiap ekspedisi bagian yang diterima setiap anggota telah disepakati sebelumnya, besar kecilnya disesuaikan dengan tingkat kedudukan masing-masing.
Persenjataan mereka sudah modern pada waktu itu. Segala senjata api dimilikinya kecuali meriam besar. Bedil dan meriam buatan eropa dibeli di Singapuara yang merupakan pasar bebas pada waktu itu. Diamping itu, senjata api juga mereka dapatkan dari rampasan dan tukar menukar dengan raja setempat, biasanya ditukar dengan budak. Senjata tajam yang digunakan ada yang pendek seperti parang dan golok, dan yang berbentuk panjang seperti pedang dan kelewang. Ada pula sabit yang di Filipina disebut kampilan, serta mandau  yang merupakan pedang khas dari Kalimantan. Untuk senjata runcing yang dilempar terdapat lembing dan tempuling, semacam tobak bercabang. Sementara keris merupakan senjata pribadi yang merupakan pusaka dan digunakan ketika terdesak. Perisai untuk penagkis serangan ditemukan dalam berbagai bentuk; utar-utar berbentuk bundar, selukung berbentuk besar dan panjang, jebang juga berbentuk panjak dan dibuat dari kayu berlapiskan kulit. Selain keteranga mengenai senjata, hasil penagkapan bajak laut oleh kolonial seperti di Nusa Dolong, juga ditemukan persediaan makanan dalam jumlah besar. Bahan makanan pokok mereka berupa beras, jagung, dan sagu.
Umumnya dalam sebuah perahu terdiri dari kelompok yang homogen dari satu keluarga besar. Namun dalam masyarakat Sulu yang mengenal bermacam-macam suku bangsa, terdapat hierarki yang didasarkan atas jenis suku bangsa. Lapisan paling atas adalah orang Tusaung, kemudian orang Lanun dan Mangindano, dibawahnya adalah suku bangsa Samal, dan paling bawah adalah suku bangsa Bajau. Sebagaimana dikatakan Datu Mama, kedudukan datu tidak boleh disamakan dengan ‘rayat’ (orang laut). Menurut Datu Mama, ‘Rayat’ menyerang nelayan dan pedagang kecil, sedangkan ia sendiri menyerang perahu besar saja. Perahu ‘Rayat’ menyerang kalau melihat lawan yang lemah, sedangkan seorang bajak laut sejati seperti Datu Mama menyerang  “untuk membuktikan keberanian dan kepahlawanannya”. Jadi dalam masyarakat perompak ini terdapat perbedaan mengenai tinggi rendahnya masing-masing kelompok.
Perahu yang digunakan dalam kegiatan bajak laut bermacam-macam bentuknya. Pertama yaitu penjajap, penjajap berbentuk panjang dengan haluan dan buritan yang lancip, serta dibuat seringan mungkin agar dapat bergerak dengan cepat. Penjajap biasanya terbuka dengan sedikit bagian tertutup di burutan untu tempat nahkoda dan amunisi. Di bagian depan terdapat dua meriam besar serta dua lela pada lambung kiri dan kanan. Berikutnya merupakan perahu Lanong yang merupakan kapal besar yang dibuat di Mindanao dan Kalimantan Timur. Struktur kapal Lanong hampir sama dengan panjajap, baik meriam, lela, maupun layarnya. Namun ukuran Lanong lebih besar sekitar 70 kaki, dan funsinga lebih untuk mengangkut orang atau barang ketimbang untuk bertempur. Bentuk perahu yang terakhir adalah kakap, perahu ini berbentuk kecil yang ringan dan mempunyai satu tiang saja. Papan dan balok perahu ini tidak dipaku, melainkan dilekatkan dengan pasak kayu dan diperkuat dengan ikatan rotan. Perahu paling besar berukuran 20 kaki dan merupakan perahu pengintai yang selalu berlayar bersama perahu-perahu besar seperti panjajap dan lanong.

Korban Bajak Laut
Kebanyakan keterangan tentang keadaan dan kegiatan bajak laut diperoleh dari kesaksian para mantan budak yang melarikan diri atau dibebaskan ketika pangkalan diserang oleh kolonial. Keterangan dari para budak dapat dibagi dalam dua jenis. Pertama adalah informasi dari hasil pemeriksaan oleh petugas kolonoal terhadap para mantan budak.  Keterangan ini sangat ditentukan oleh pertanyaan yang diajukan dalam pemeriksaan tersebut.  Jenis keteranagan Kedua berasal dari laporan tertulis oleh bekas budak itu sendiri. Jenis sumber ini lebih banyak berisi pengalaman penderitaan dari para budak. kedua jenis sumber ini punya keterbatasan karena diberi oleh pihak yang menderita. Jadi meski keterangan dari dalam namun diberikan oleh orang luar.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas pemerintah Hindia-Belanda kepada para mantan budak menunjukan sebuah sampel yang terdiri dari 30 orang bekas budak yang diperiksa di Manado pada 1845-1848. pada sampel itu menunjukan bahwa 12 orang dari Sulawesi Utara, tujuh dari Sulawesi selatan dan Tenggara, lima dari Filipina, empat dari Maluku Tengah, satu dari Benggai, dan satu dari pontianak. Semuanya menjadi budak di Kepulauan Sulu. Sebelum menjadi budak kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani dan yang lainnya sebagai pedagang, nelayan, penambang, dan pembuat garam. Sementara itu pekerjaan mereka sebagai budak adalah 17 orang sebagai petani dan yang lain tersebar sebagai nelayan, pedagang, membuat garam, dan pembantu rumah tangga.
Umumnya mereka diculik ketika sedang berlayar dalam perjalanan untuk berdagang atau sedang menagkap ikan. Dalam buku karaya A.B Lapian ini diberikan beberapa kasus penculikan oleh para bajak laut dan mereka kemudian dijual dan dijadikan budak, namun setelah beberapa tahun mereka melarikan diri seperti ke Manado.alsan mereka untuk lari karena diperlakukan degan kejam. Namun dari beberapa kasus tersebut, dalam buku ini ditarik kesimpulan bahwa budak yang lebih muda dan relatif belum lama jatuh ke tangan bajak laut yang mengambil prakarsa untuk lari.
Pada umumnya, keterangan mereka tentang perlakuan selama berada dalam status budak adalah sama. Semuanya disiksa dan disuruh kerja paksa oleh pemiliknya. Akan tetapi kesaksian ini hanya dari mereka yang melarikan diri saja. Tidak ada kesaksian dari mereka yang tetap berada dalam kedudukan sebagai budak. perlu disadari bahwa dibandingkan dengan yang berhasil melarikan diri, ada jumlah yang lebih besar yang terus bekerja sebagai budak. Malah ketika ada kesempatan untuk membebaskan diriseperti sewaktu Belanda menyerang Sulu pada 1848 beberapa budak diantaranya memilih untuk tetap tinggal di Sulu. Alasan yang diberikan adalah karena mereka telah memiliki keluarga dengan orang setempat sehingga tidak mau meninggalkan tempat tersebut. Hal ini menunjukan bahwa keadaan para budak tidak selalu seburuk yang digambarkan.
Bisa dimaklumi bahwa ketika mereka baru saja jatuh ke tangan bajak laut keadaanya sangat buruk. Umumnya nereka diikat pada tangan dan kakinya, dan pada malam harinya lehernyapun diikat. Bila sedang berlyar mereka ditempatkan di bawah perahu supaya tidak kelihatan, dan jika membangkang mereka dihukum dengan kekerasan. Bahkan ketika memberi makan, makanan mereka dilemparkan seperti memberi makan hewan. Namun setelah tiba di Sulu atau Mindanao keadaanya membaik, terutama setelah dijual ke beberapa orang setempat. Kebutuhan akan tenaga mereka membuat mereka diperlakuakan denga baik agar tetap sehat dan tetap dapat bekerja dengan baik. Adanya kepercayaan membuat mereka dapat bergerak  dengan bebas dalam pekerjaanya seperti ketika berkebun dan berdagang.
Berita tentang pranata perbudakan di kawasan ini menggambarkan bahwa perbudakan tidaklah sekejam dibandingkan yang dikenal di dunia barat, khususnya seperti di Amerika Serikat. Maka ada kecenderungan untuk membandingkan perbudakan barat dan tmur, yang pertama bersifat kejam dan yang kedua bersifat lebih manusiawi. Namun, citra ini kurang didukung sumber sejarah pada masa itu. Dalam hubungan ini, teori watson yang membedakan sistem perbudakan yang ‘terbuka’ dan ‘tertutup’ lebih bermakna bila diterapkan di sini.
Dengan sistem tertutup perbudakan dalam masyarakat tradisional yang mempertahankan budaknya dengan mempertegas kedudukan budak itu dalam masyarakat bersangkutan. Meski budak mrerupakan suatu milik yang dapat dipindah tangankan, namun kenyataanya keadaan mereka agak statis, transaksi jual-beli jarang terjadi. Sebaliknya dalam sistem terbuka transaksi jual-beli lebih sering terjadi. Keadaan ini dijumpai pada daerah pesisir yang membutuhkan suplai budak dari luar terus-menerus. Dengan ini dimungkinkan mobilitas vertikal bagi para budak yang ditentukan berdasar waktu seberapa lama budak itu dipekerjakan.  Tetapi dalam sistem terbuka ini ada kesempatan untuk dimerdekakan, terlebih jika terjalin hubungan yang akrab dengan tuannya. Sebaliknya dalam sistem tertutup kedudukan budak lebih mapan, malah dalam tradisi tertentu menganut bahwa golongan tertentu ditakdirkan untuk tetap menjalankan fungsi yang dituntut masyaraka setempat.
Keadaan masyarakat di kawasan Laut Sulawesi lebih mendekati sistem terbuka, sebagaimana diberitakan sumber sejarah. Adanya ekspedisi lintas laut memungkinkan masyarakat Sulu dan Mangindano memperoleh budak yang tunak, sehingga bandar Sulu terkenal sebagai pusat perdagangan budak pada waktu itu. Keterangan yang didapat menunjukan keadaan budak disini diperlakukan denga baik, dan mobilitas keatas dimungkinkan dengan adanya suplai budak yang tetap. Banyak budak yang mendapat kepercayaan dalam bekerja bahkan ada budang yang mendapatkan status merdeka, terlebih jika mereka beragama Islam, yaitu agama suku bangsa Tausug yang domonan di kawasan itu.
Namun demikian selagi ia masih berstatus sebagi budak, kedudukannya jelas pada tingkat sosial yang paling rendah, walaupun nasibnya baik bersama tuan yang baik hati. Menurut undang-undang yang berlaku di  Maguindanao pada waktu itu, seorang budak disamakan dengan orang tidak waras atau anak yang belum akhil balig. Misalnya dalam kesaksian dan bahkan dalam hukuman yang harus diterima mereka. jika mereka membunuh orang merdeka atau budak lain maka mereka harus dihukum. Namun jika orang merdeka membunuh budak maka orang merdeka itu tidak boleh dihukum.
Dari keterangan budak yang pernah jatuh ketangan orang Lanun, Mangindano, dan Balangingi dapat dilihat bahwa selain adanya  mobilitas keatas, ada pula gerak mobilitas horisontal secara geografis. Berbagai suku bangsa dari berbagai penjuru Asia Tenggara berkumpul di kawasan ini. Ditinjau dari sudut kependudukan kegiatan bajak laut merupakan faktor penting dalam perpindahan penduduk dan persentuhan kebudayaan dari berbagai suku bangsa. Menurut perhitungan Warren, dalam waktu satu abad (1770-1870) kira-kira 200.000 sampai 300.000 oerang telah diangkut ke Kepulauan Sulu sebagai budak. angka mereka yang melarikan diri tidak diketahui, namun sebagian besar dari jumlah itu diperkirakan tetap berada di kawasan ini dan akhirnya telah berbaur dengan penduduk setempat.
Beberapa Kesimpulan
Bajak laut merupkan gejala universal yang terjadi sejak masa awal sampai pada masa mutakhir ini. Gejala ini muncul dikawasan perairan pada waktu adanya suatu vakum (kekosongan kekuasaan ). Keadaan demikian pernah ditemukan di kawaan Laut Tengah pada masa peradaban Yunani dan Romawi kuno, di laut Karibia pada abad XVI dan XVII, di perairan Mandagaskar dan Afrika Timur pada abad XVIII, serta di perairan lain termasuk Asia Tenggara. Masalah bajak laut baru muncul ketika ada bentuk kekuasaan dan pemerintahan lain yang mulai menampilkan diri dengan tujuan menegakkan kekuasaannya sendiri dan akhirnya menumpas kekuasaan liar itu dari kawasan yang bersangkutan.
Kesaksian tertua tentang adanya kegiatan bajak laut di Asia Tenggara berasal dari sumber Cina. Cina menyebut bajak laut kekuatan tandingan yang mengganggu pelayaran diperairan. Dengan kata lain, kekutan bahari melawan kekuatan setempat yang telah mengadakan hubungan resmi dengan Cina itulah yang dinamakan bajak laut.
Setelah kapal Eropa Barat mulai mengunjungi perairan Asia Tenggara,  yang di cap bajak laut adalah kekuasaan liar yang berada diluar jaringan Internasional, yaitu para pelaut pribumi dan juga pelaut-pelaut dari Eropa. Akan tetapi dari pandangan Pribumi kapal Belanda pun tentu dilihat penduduk sebagai bajak laut walaupun sumber Belanda tidak menyebutnya.
Dikalangan pribumi fenomena bajak laut bukan merupakan sesuatu yang asing, dalam kepustakaan  diadakan pembedaan antara perlawanan suatu kekuatan maritime yang bermusuhan (dalam keadaaan perang) dan tindakan perompakan oleh bajak laut. Misalnya kekuatan laut Ma’duelleng dari Wajo di selat Sulawesi, Mangindano dan Lanun.
Dengan memasuki abad XIX suasana menjali lain. Kekuatan asing yang datang dari barat semakin mantap menegakkan kekuasaannya. Maka pada abad ini kekuatan Raja Laut makin lama makin beralih ketangan kekutan Barat. Dalam perkembangannya, maka kekuatan pribumi makin lama makin jatuh kedalam kekuasaan kolonial Barat. Sedangkan yang masih mempunyai kekuatan bahari makin lama makin tergeser kedalam status bajak laut. Satu demi satu Kerajaan pribumi masuk dalam orbit salah sau kekutan colonial pelayaran dan perdagangan lintas laut hanya diperbolehkan dengan seizing pemerintah colonial. Yang bisa lolos dari pengawasan colonial disebut penyelundup sedangkan tiap tindakan kekerasan dilaut, kecuali yang dilakukan oleh kekuatan colonial dianggap sebagai tindakan bajak laut.

Ketegasan perumusan siapa yang sepantasnya disebut bajak laut dan yang bukan dalam dunia Internasional mulai tumbuh pada abad ke 19. Pada waktu itu mulai diakui hokum Internasional bajak laut, yaitu perorangan atau kelompok yang mengadakan tindakan kekerasan dilaut tanpa diberi wewenang oleh suatu pemerintahan yang sah dalam keadaan bukan perang.

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar

SEWELASAN

AGENDA

  • MENGOLEKSI
  • BERKEGIATAN
  • NAPAK TILAS

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget