Selasa, 31 Januari 2017


Sekitar pada abad ke 17 tepatnya tahun 1738 Masehi, Kerajaan Mataram (sudah Islam bukan mataram Kuno) mengadakan pertemuan agung, dimana seluruh Bupati tiap-tiap kota berkumpul di Ngayogyakarta. Yang namanya Bupati melakukan perjalanan dinas yang jauh (sekitar 315km Gresik-keraton), untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan terhadap bupati, maka banyak prajurit tangguh di pusatkan untuk mengawal Bupati mereka masing-masing, demikian dengan Bupati Gresik. Kota Gresik yang sepi akan pengamanan menjadi sasaran empuk oleh cakraningrat IV dari Sampang Madura, untuk menguasai Gresik dengan mengerahkan Demangnya bernama Dewaraga yang kondang akan kesaktiannya beserta prajurit yang menggunakan banyak perahu saat malam hari

Ketika orang madura sampai di pendopo Gresik, prajurit dari Sampang menjarah harta di seluruh toko Gresik dan harta benda para pejabat Gresik, Para perempuan juga di rampas bahkan istri Bupati Gresik dan istri para pejabat Gresik serta seluruh anak perempuan pun di boyong ke Madura dengan menggunakan perahu pula. Pasukan Sampang yang sudah menguasai Wilayah Gresik menyuruh para pejabat Gresik menggunakan pakaian khas Madura serta di gundul rambutnya apabila tidak mau akan di siksa habis-habisan, dan saat itulah demang Dewaraga dari sampang mendeklarasikan dirinya sebagai Bupati Gresik.

Namun ada pejabat Gresik yang lolos dari kejaran pasukan Sampang dan melarikan diri ke keraton untuk melaporkan kejadian bahwa Gresik telah dikuasai Sampang. Mendengar Gresik yang di ambil Alih Madura secara Keji, Bupati ponorogo merasa simpati dan akan membantu bupati Gresik untung mengkondisikan kembali dengan memberi bantuan dalam bala pasukan elite ponorogo, yang tidak lain Warok.
(Disini terlihat uniknya, dari puluhan bupati yang hadir. Hanya bupati Ponorogo yang bersimpati dan siap membantu menyelesaikan kemelut di Gresik yang telah dikuasai sepenuhnya oleh pihak Sampang, Madura. Sayangnya dalam serat tidak ditulis siapakah bupati ponorogo ini)

Sebelumnya, Karena bantuan dari warok Ponorogo Keraton Mataram pernah terselamatkan dari seranganTrunojoyo dari Sampang, para warok diberikan sebuah tempat istimewa yang kini menjadi Kulonprogo. 
Bupati Gresik dan Ponorogo melakukan perjalanan ke Gresik dengan singgah dahulu di Ponorogo untuk keperluan ekspedisi. dan dilanjutkan peralanan melalui rute madiun, nganjuk, jombang, mojokerto, dan membuat benteng sementara di salah satu daerah Gresik yang bernama Cerme. pasukan Gresik-Ponorogo mulai diserang oleh pasukan sampang, namun pasukan sampang kelah talak dan kocar-kacir. padahal pasukan sampang lebih banyak daripada Gresik-Ponorogo, antara 7000 banding 700 pasukan. Kegagalan pasukan madura menyerang pertahan Gesik ini membuat murka Cakraningrat IV, hingga dikerahkan para jawara untuk menyerbu, namun Terlambat bantuan para jawara ini yang berpapasan dengan pasukan Madura yang mengotong mayat temannya dan yang sedang terluka, perang pun terhindarkan para jawara dan demang Dewa Raga pun tewas saat perang.
Bupati Ponorogo dipersilahkan kembali ke Keraton, namun para Warok masih turut membantu pasukan Gresik untuk merebut alun-alun Gresik. Bupati Gresik mendapatkan tawaran bantuan dari VOC dan diterima oleh Bupati Gresik. pasukan sampang pun banyak yang melarikan diri ke madura, namun karena kemarahan warga Gresik turut membakar perahu-perahu madura, sehingga banyak pasukan sampang yang bersembunyi di pesisir Gresik yang kini bernama desa Meduran.
Cakraningrat IV pun meminta maaf keapada bupati Gresik, dan dikembalikannya istri bupati dan seluruh perempuan yang dibawa ke sampang sebelumnya dan memohon untuk dikasihani pasukan madura yang tidak bisa kembali ke sampang. tidak diketahui secara pasti kekalahan pasukan madura ketika perang terjadi, entah karena pusaka bupati Gresik ataupun lawan yang serang justru para warok ponorogo yang sudah terkenal kesaktiannya yang secara pakaian terdapat kemiripan justru menyerang balik, terlebih adik bupati ponorogo (batara katong) yang menjadi pengasa Sumenep yang merupakan kiblat dari seluruh kota madura.
Untuk mengantisipasi serangan mendadak dari Madura, maka bupati Gresik selanjutnya berasal dari Ponorogo hingga ke era R.M Soero Diwirjo yang lahir di Gresik. Kemenangan Gresik atas sampang ini yang berhasil mengusir pasukan sampang memutuskan cakraningrat untuk memindahaan warga sampang sebanyak 250.000 orang ke wilayah jawa yang kini dikenal dengan tapal kuda.
Setelah Gresik damai seperti sedia kala, dalam pertemuan bupati ponorogo dan bupati Gresik terjadi percakapan kecil.
"Piye Gersik?"
"Gresik..."
"Gegere wis Resik...
Hingga saat ini warga ponorogo di Gresik saling sinkronasi membaur dengan warga Gresik sejak lama. slain itu terdapat Group Reyog di Gresik baik dikelola desa/perorangan (sidomoro, driyorejo, benjeng), sekolahan (sdn Ponganagan, smpn3Gresik, Sman1kebomas,sman1manyar), perusahaan (Pt.semen Gresik Indonesia, Pt pupuk petro kimia Gresik) hingga keagamaan (pura medang kamulan)

Rabu, 18 Januari 2017




Shield of an Aceh warrior, captured in 1876. Aceh, ca. 1870-1875

Shield of an Aceh warrior, captured in 1876. Aceh, ca. 1870-1875
For many years, the colonial administration focused purely on Java. It was thought that the other islands of the archipelago, the outer provinces, were unprofitable, so they were left undisturbed. In the late 19th century, the Dutch changed tack. With the opening of the Suez Canal, more ships had started to use the Malacca Strait, and these had fallen prey to pirates who operated from the nearby sultanate of Aceh on Sumatra and threatened to make use of the route impossible. Moreover, in 1871, the Netherlands had acquired official sovereignty over Aceh. To enforce its authority, the Dutch sent troops to take over the palace of the sultan of Aceh. It was a symbolic act, but a guerrilla war erupted which seemed impossible to suppress. Led by J.B. van Heutsz, a Dutch army eventually managed to break the resistance. Dutch troops treated the indigenous population with particular severity.


After the Java War, a Dutch vision developed of the East Indies as a subdued province. Johannes van den Bosch, the governor general who launched the cultivation system in 1830, envisaged that instead of paying rent, the indigenous population would henceforth devote a fifth of their land to export crops. This produce – indigo, sugar and coffee – was sold in Europe by the Netherlands Trading Company (Nederlandsche Handel-Maatschappij or NHM), which made a vast profit.
The Dutch government received considerable revenue from the East Indies: in some years, as much as a quarter of the nation’s income came from the colony. Local rulers also benefited from the cultivation system. They received bonuses if their farmers increased production. For the ordinary Javanese, the cultivation system was an additional financial burden, moreover it led to corruption and exploitation. Despite protests against its harmful effects, the system remained in place until 1870.
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870

Senin, 16 Januari 2017

PETRUS.....
.............................Suatu malam pertengahan Juni 1983, sebuah jip berwarna gelap berhenti di tengah jembatan Sungai Cimedang, sekitar 70 km sebelah timur Tasikmalaya, yang membatasi Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya. Beberapa penduduk yang sedang meronda melihat kendaraan tersebut berhenti sebentar di tengah jembatan, berputar, lalu ngebut kembali ke timur, arah semula jip itu datang.
Peristiwa itu nyaris tak menarik perhatian jika esok harinya penduduk yang tinggal di dekat jembatan tak menemukan sesosok mayat tersangkut di akar pepohonan di tepi barat sungai. “Tenggorokan mayat itu luka menganga, kepala pecah, dan darah keluat dari mulut, hidung, dan lubang luka itu,” ujar Sabeni (bukan nama sebenarnya), seorang pencari ikan dari Desa Sindangsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis. Tak ada identitas diri ditemukan pada mayat pria berusia tiga puluhan tahun itu, kecuali tubuhnya yang penuh rajah. Oleh penduduk yang pagi itu berniat mandi, mayat itu didorong ke tengah sungai dan dihanyutkan ke hilir. “Kita tidak ingin urusan dengan polisi. Makanya mayat itu tidak kita laporkan,” ujar seorang penduduk Desa Tawang, Kecamatan Panca Tengah, Kabupaten Tasikmalaya. Masyarakat setempat berharap, mayat itu dibawa arus ke laut selatan yang jaraknya sekitar 18 km dari jembatan Cimedang.
“Setelah kejadian malam itu, hampir tiap dua malam sekali jip warna gelap itu melewati desa kami dan berhenti di jembatan,” cerita Icang, seorang penduduk Desa Tawang yang lain. Dan bisa dipastikan, setelah kunjungan jip itu, esoknya sesosok mayat penuh luka ditemukan tersangkut di pinggir sungai. Tak seorang penduduk pun berniat mengetahui dari dekat apa yang dikerjakan jip misterius itu. “Tugas penduduk desa adalah bertani. Sedang pembunuhan itu urusan yang berwajib,” kata Icang. Sampai sepekan menjelang Lebaran, penduduk sepanjang tepian sungai itu telah menemukan 18 mayat, seorang di antaranya perempuan. Semuanya tak mempunyai tanda pengenal, namun semuanya bertato. Mereka tewas dengan kepala remuk atau leher dijerat tali plastik. Semua penemuan itu tak dilaporkan pada kepolisian setempat.
Penduduk Desa Sindangsari dan Tawang tampaknya tak berniat menguburkan mayat-mayat yang mereka temukan. “Mayat itu kan mayat residivis yang selama ini merongrong rakyat,” kata Kasni (bukan nama sebenarnya), penduduk Desa Sindangsari. Jika mayat terdampar di tepi barat sungai, yang berarti wilayah Tasikmalaya, penduduk mendorongnya ke tengah, dan biasanya kemudian tersangkut di tepi timur sungai. Penduduk tepian ini kemudian ganti mendorong mayat itu ke tengah sungai lagi.
Akibat ditemukannya mayat misterius itu penduduk sepanjang tepian sungai itu selalu was-was bila mandi atau mencuci di kali. Mereka khawatir kalau tiba-tiba muncul mayat yang mengambang. Para pencari ikan juga mengeluh. Masyarakat menolak membeli ikan yang ditangkap dari Sungai Cimedang karena khawatir ikan tersebut telah memakan mayat. Penduduk kedua desa itu pun sepakat buat mengajukan keberatan agar mayat tak dibuang lagi di sungai. Tapi kepada siapa? Bukankah pelaku pembunuhan misterius itu tak diketahui. Lewat beberapa wartawan yang berkunjung ke wilayah itu, mereka mengimbau agar di waktu mendatang mayat digeletakkan di pinggir jalan. “Kami yang akan menguburkannya,” kata seorang tokoh masyarakat setempat. Untuk itu setelah Lebaran penduduk menggali tiga lubang kubur di sebuah kebun di Desa Sindangsari. Namun upaya itu ternyata sia-sia. Sebab setelah itu tak ada lagi mayat misterius yang kelihatan mengambang di Sungai Cimedang. Tiga lubang besar itu pun masih menganga sampai sekarang.

Petrus merupakan satu dari serangkaian sejarah kelam masa Orde Baru. Berikut beberapa sejarah yang kelam masa Orde Baru..


(Membaca Ulang Babad Giyanti)
Lagi baca-baca lagi Babad Giyanti, yang membagi Kerajaan Mataram jadi dua: Yogyakarta dan Surakarta.
Tapi selagi saya baca, ada fakta sejarah menarik yang selama ini sejak sekolah saya abaikan. Fakta bahwa gara-gara Geger Pecinan 1740, Sunan Pakubuwono II memindahkan kratonnya dari Kartosura ke daerah Solo. Mulai 1745, Kraton Surakarta resmi berjalan.
Fakta sejarah kedua, meskipun Rusuh Pecinan 1740 itu pada akhirnya memang berhadapannya Cina dengan pasukannya Pakubuwono II, tapi yang bikin gara-gara awal itu VOC alias Kumpeni Belanda. Gara gara pergesekan itu, timbullah perseteruan segitiga yang rumit. Antara Belanda, Kerajaan Mataram, dan Cina.
Awalnya Pakubuwono II berkomitmen bersama dengan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said(Pangeran Samber Nyawa), untuk bersekutu dengan Cina menggempur Kumpeni Belanda. Tapi kemudian, entah apa sebabnya, Pakubuwono II berbalik haluan, membela Belanda, melawan Cina. Sehingga akhirnya pemberontakan Cina terhadap Belanda jadi melemah, dan akhirnya berhasil ditumpas.
Nah dari perkembangan ini, Proxy War Belanda rupanya berhasil membelah Kraton Surakarta. Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, kekeuh untuk tetap melawan Belanda. Musuh pokok adalah Belanda. Cina itu kembangan aja, kira kira gitu lah. Sedangkan Pakubuwono II beranggapan dengan tumpasnya pemberontakan Cina dalam Geger Pecinan 1740, urusan sudah selesai. Bersekutu dengan penjajah Belanda, sah sah saja. Gampangannnya gitu lah.
Sementara itu, meski ada tentangan keras dari Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, Pakubuwono II malah makin mesra menjalin persekutuan dengan Belanda.
Alhasil, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, menjalin ikrar bersama bersekutu melawan Pakubuwono II. Pokoknya melawan Belanda merupakan harga mati. Karena perang berlarut-larut, akhirnya 1755 disepakati kekuasaan Mataram belah dua.
Pangeran Mangkubuwmi, dapat Yogyakarta dan sekitarnya, bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Sedangkan Pakubuwono II dapat sebagian besar daerah di Surakarta. Sedangkan Raden Mas
Said, dapat wilayah utara Solo, yang kemudian jadi Kraton Mangkunegaran. Raden Said alias Pangeran Samber Nyawa, bergelar Raja Mangkunegara I.
Apa hikmah dari peristiwa bersejarah yang terdokumentasi melalui Babad Giyanti tersebut? Hati-hati dengan Proxy War yang dimainkan Asing. Pakubuwono II, Sultan Hamengkubuwono I, dan Raja Mangkunegara I, telah menjadi sasaran Perang Proxy dari Belanda dan Cina.
Maka itu, waspadai agen-agen Van Mook dan Van der Plas yang sepertinya sejak 1948, 1965, 1998, masih tetap mengaktifkan jaringan jaringannnya di Indonesia untuk memainkan peran aktif dalam operasi-operasi politik dan Perang Psikologis di Indonesia.
Pada awalnya, kalau saya telisik kronologi yang bermuara pada Geger Pecinan 1740, sebenarnya awal mulanya justru gesekan antara Kumpeni Belanda versus komunitas Cina di tanah Jawa. Sehingga pihak Belanda dan komunitas Cina sama sama membujuk pemain pemain kunci di Kraton Mataram, untuk bersekutu di pihaknya.

Sabtu, 14 Januari 2017


Kali ini bulan Suro, suasana Gerdhu tiba-tiba menjadi lebih sepi. Para penghuninya pun tiba-tiba ikut-ikutan nyepi seperti orang Hindu ketika melaksanakan upacara nyepi.
“Loh mbah, kok mbah Kacud gak keliatan selama tiga hari ini to ?” Mad Fata muncul secara tiba-tiba menghampiri Nisito dan Juniti serta Culing yang lagi asyik tiduran di Gerdhu.
“Mbahmu lagi meguru Mad. Biarin aja biasanya setelah tiga hari juga muncul.” Sahut Nisito
Dari kejauhan nampak Arda yang menghampiri keempat penghuni Gerdhu yang diberi nama Gerah (Gerdhu para Rahwono) ini. Raut mukanya nampak kesal semakin memperburuk potongannya yang hanya berpakaian kaus kutang serta celana bolong di dhengkulnya.
“Kenapa Da. Wajah dan pakaian kok serasi, lecek. Haha..” Mad Fata memperhatikan wajah Arda seraya menyambut salaman gaul dari tangannya.
“Ahh, mbuh Mad. Saya kok ya bingung tadi pas mau beli rokok, ditegur sama ustad sebelah itu. Ndalil lagi. Katanya pakaiannya orang Islam itu yang sopan niru kanjeng Nabi. Berjubah atau bersarung pakek sorban, terus dzikir di masjid. Ahh lha aku beli rokok kok jubahan.” 
“Betul itu Da. Kanjeng Nabi dulu jubahan. Kita ya minimal sarungan terus diangkat sedikit biar gak masuk neraka.”
“Hubungane apa sarung sama Neraka, Ling. Islam kok ya mengerikan ngunu.” Arda ndak mau kalah sama Culing yang malah bela ustad tersebut.
“Loh kan katanya kalo sarung kita nglembreh nanti masuk neraka. Makanya kamu ngaji jangan di Gerdhu aja.”
“Loh kamu sendiri nek sudah mentok ngajimu yo akhire ngaji ke mbah Kacud.” Arda tidak terima. “Bukan urusan acara ta tempat Ling, tapi dapat apa kamu waktu ngaji.”
“Wes wes, begini lho lee. Kanjeng Nabi ndawuh ataupun melakukan sesuatu itu kita tidak boleh langsung menerima mentah-mentah. Harus tau dimensi sosial politiknya waktu itu, kondisi kebudayaannya, struktur manajemen berpikir masyarakatnya, wahh luas lee. Tidak bisa di telan mentah-mentah.” Juniti mulai membuka pembicaraan.
Memang beberapa hari ini diskusi di Gerdhu cenderung ngislami, entah karena terbawa suasana mistis bulan Suro yang identik dengan ngumbah pusoko bagi orang Jawa.
“Lah waktu Kanjeng Nabi ngomong tentang pakaian yang nglembreh. Kudu jelas itu bersifat kebendaan atau makna. Kalo kebendaan berarti kita harus tau kondisi lingkungan Arab.” Nisito turut menyumbangkan idenya
“Di Arab kan ya gitu-gitu aja kondisinya mbah, padang pasir tandus, banyak kurma, banyak domba.” Arda mencoba mengidentifikasi kondisi lingkungan Arabnya.
“Nah, terus kira-kira kenapa Kanjeng Nabi nyuruh pakaiannya diangkat?”
“Ya mungkin lho mbah ya, mungkin.” Kata Mad Fata. “Kanjeng Nabi nyuruh kita menjaga pakaian agar tidak kena debu yang diragukan kesuciannya, mungkin waktu angin agak kencang debunya bercampur telethong unta. Kan najis mbah.”
“Nah berarti yang disuruh ngangkat pakainnya apa menjaga kesuciannya ?”
“Kesucian mbah.”
“Nah, sekarang kita mencoba dari sisi makna. Kira-kira maksud pakaian nglembreh itu apa ?
“Apa ya mbah ?” Culing mendongakkan wajahnya. “Mungkin tandanya berlebihan mbah. Kan kalo nglembreh berarti pakaiannya lebih.”
“Nahh tepat. Berarti kalo berlebihan tandanya orang yang ?”
“Sombooong.” Hampir serentak ketiga pemuda itu menjawab Nisito
“Nah, berarti Kanjeng Nabi nyuruh kalo pakaian biasa aja, ndak usah terlalu bagus. Ataupun meskipun pakaiannya biasa, jangan sampai ada niat ingin menyombongkan diri.”
“Intinya.” Sahut Juniti. “Meskipun kita lempit sarung kita tapi tujuan kita tidak seperti maksud Kanjeng Nabi, ya salah kaprah lee.”
Ketiga pemuda tersebut manggut-manggut seperti diceramahi kyai tapi potongan kayak wong gendheng. Tak berselang lama, muncul sesosok orang njembling seperti busung lapar dengan mata yang sayu mendekati mereka. Tak salah lagi, Kacud menghampiri mereka dengan memakai baju surjan, sandal klompen, dan berjarik.
“Lo,, loo,, mbah Kacud ini mau nikah lagi to ? Iling mbah, udah layu.” Kata Mad Fata.
“Aku baru ketemu Kanjeng Nabi. Makanya pakai begini.”
“Loh kok ya aneh, ketemu Kanjeng Nabi ya pakek sarung bergamis mbah. Bukan kayak mantenan.” Culing nampak tidak terima.
“Itu kan Kanjeng Nabi menurutmu, Kanjeng Nabiku ya begini. Wong beliau orang Jawa kok, Cuma dulu bajunya jubah semua, makanya beliau berjubah. Coba beliau ndak disuruh ke Arab, ya mungkin bersurjan.”
“Mbah Kacud ini tiga hari nyepi udah sesat, tobat mbaah. Kanjeng Nabi pakaiannya jubah putih bagus, pakek sorban.”
“Nabimu kui sopo to ? Kanjeng Nabi Muhammad, Musailamah Al-Kadzab atau Abu Jahal ?”
“Ngawur mbah ini, ya Nabi Muhammad.”
“Lho ya gini pakaiane Kanjeng Nabi. Nek jubahan bagus yo Abu Jahal. Lha Kanjeng Nabi angon wedhus kok jubahan apik. Gile lo ndro.”
“Kanjeng Nabi berjubah kan memang pakaiannya di Arab semua berjubah. Beliau abdan Nabiyya. Nabi yang menghamba. Beliau mensejajarkan dirinya dengan orang atau rakyatnya yang pakaiannya paling buruk sehingga banyak tambalan di jubah beliau lee.” Ujar Nisito
“Kalau di Jawa mungkin Kanjeng Nabi ya bersurjan, pakai udheng, membawa keris. Makanya kanjeng Sunan Kalijaga ya begitu, niru nilai berpakaiannya Kanjeng Nabi, bukan niru pakaiannya.” Sambung Juniti
“Tapi tadi mbah Kacud bilang kalo kanjeng Nabi Muhammad orang Jawa. Kan pengawuran sejarah mbah.” Kata Culing
“Maklum Ling, mbah Kacud ndak sekolah.” Sahut Mad Fataa
“Memang secara jasad, beliau orang Arab. Namun, secara kepribadian dan karakter serta kelakuan, beliau berjiwa Jawa sehingga mbahmu Kacud menganggap beliau masih ada darah Jawa.” Kata Nisito
“Lho, kok bisa mbah ?” Culing kebingungan
“Coba, sifat kanjeng Nabi Muhammad itu bagaimana yang paling menonjol ?”
“Beliau lembut, ndak pemarah, pemaaf, dan apa lagi yaa...” jawab Mad Fataa
“Beliau adalah Al-Qur’an yang hidup.” Sahut Culing
“Wah, jawabanmu kurang kreatip. Kanjeng Nabi suka bertapa, suka ngitung-itung, suka kemenyan, suka musik, suka wetonan.” Tungkas Kacud
“Lho, lho, beneran to mbah ?”
“Ngawur sampeyan mbah !”
“Gini lee, Kanjeng Nabi kan juga melakukan bertapa atau menyendiri di tempat yang jauh dari keramaian. Atau mungkin kalian menyebutnya ya berkhalwat di Gua Hira. Akhirnya beliau mendapatkan kesejatian diri dengan diangkat menjadi Nabi dan Rasul.” Jawab Nisito
“Oiya ya mbah, beliau menyendiri 40 hari 40 malam sehingga mendapat wahyu.” Ucap Culing
“Lebih tepatnya, mendapat risalah dan nubuwah lee, bukan sekedar wahyu. Karena kalau wahyu, semua makhluk juga diwahyui oleh Gusti Allah. Wong lebah ae diberi wahyu kok, opo maneh potongan kita.” Sahut Juniti
“Kanjeng Nabi juga suka dengan perhitungan. seperti ketika beliau sakit, beliau minta air dari 7 sumur sebagai jalaran obatnya. Nah, coba kalian pikir lah, bangsa mana yang suka dengan begituan ?” tanya Nisito
Para pemuda nampak bingung ngelu dengar sebuah hal aneh yang kalo disalahkan ya kayaknya ndak salah, dibenarkan ya kok ndak ada dalam buku-buku pelajaran.
“Iya ya mbah, tak pikir-pikir juga begitu. Sifat orang Arab kan kebanyakan agak keras dengan suaranya yang lantang. Kalo saya belajar pembagian iklim ya wajar mereka berwatak keras karena iklim di sana kan ganas. Tapi kok ya Kanjeng Nabi itu berbeda, kok aluuus, kalem, santun, ngomongnya ya ndak keras tapi jelas.” Beber Arda yang dari tadi meneng tiba-tiba mulai muni.
“Wah wah, kamu kritis juga Da, kamu tau dari mana kok orang Arab keras ?”
“Kan pernah ada Sayyid atau orang sini nyebutnya Habib dari wilayah Arab ngisi pengajian, kalo ngomong ya beda dengan bangsa Jawa. Ngomongnya keras dan tidak basa basi. Kalo kita kan meskipun ngomong benar dan menyalahkan yang lain tetap memikirkan perasaan orang to mbah.”
“Joss, joss.” Kacud tiba-tiba bertepuk tangan. “Potonganmu kayak wong ngedos, tapi pikiranmu ngalah-ngalahi propesor.”
“Penampilan bukan patokan penilaian mbah. Haha”
“Tapi ya mosok Gusti Allah keliru nakdirkan kanjeng Nabi ke Arab ?” tanya Mad Fata
“Lho ya ndak lahh,, islam kui butuh penguatan akar. Makanya ditaru di Arab. Orang Arab kalo indah ya dibilang indah, kalo salah ya dibilang salah. Tegas, keras, dan kuat. Maka dinikahkan atau diperjodohkan dengan kanjeng Nabi sebagai sosok penghalus, pengasih, penyayang. Islam menjadi sebuah nilai yang lengkap dan indah dengan dasar yang kuat lee.” Ujar Nisito
“Betul itu Mad, nek ditaruh di Jawa, waah jelas ndak kuat. Disini salah ya yang ngomong salah yang dipertanyakan. Separuh bilang benar, separuh salah, wah serba dibulet-buletkan. Kemudian sifat Jawa ya manutan tanpa pikir panjang. Bahaya kalo islam turun disini, nanti jadinya kayak keyakinan lain yang punya banyak versi kitab sucinya.” Tungkas Arda sambil merem melek
“Sek sek sek. Kamu ini kerasukan jin apa kok tiba-tiba ngomong gini.” Tanya Kacud
“Lho kan, gini nih sifat Jawa. Orang benar dipertanyakan. Kalo di Arab, langsung manthuk-manthuk mbah. Huahua”
“Kampret kowe.”

*SLUKU-SLUKU BATHOK*
```Sluku-sluku bathok,
Bathoké éla-élo
Si Rama menyang Solo,
Oléh-oléhé payung mutho.
Mak jenthit lolo lo bah,
Yén mati ora obah
Yén obah medéni bocah,
Yen urip goléko dhuwit"```
*Sluku-sluku bathok:*
_Hidup tidak boleh dihabiskan hanya untuk bekerja. Waktunya istirahat ya istirahat, untuk menjaga jiwa dan raga agar selalu dalam kondisi seimbang. Bathok atau kepala kita perlu beristirahat untuk memaksimalkan kemampuannya._
*Bathoké éla élo :*
_Dengan berdzikir *(éla-élo = Laa Ilaaha Ilallah)*, mengingat Allah, syaraf neuron di otak akan mengendur. Ingatlah Allah, dengan mengingat-Nya hati menjadi tentram._
*Si Rama menyang Solo:*
_*Siram (mandilah, bersucilah)* menyang (menuju) *Solo (Solat).* Lalu bersuci dan dirikanlah salat._
*Oléh-oléhé payung mutho :*
_Maka kita akan mendapatkan perlindungan (payung) dari Allah, Tuhan kita._
*Mak jenthit lolo lo bah :*
_Kematian itu datangnya tiba-tiba, tak ada yang tahu. Tak dapat diprediksi tak juga terkira. Tak bisa dimajukan atau dimundurkan walau sesaat._
*Wong mati ora obah :*
_Saat kematian datang, semua sudah terlambat. Kesempatan beramal hilang._
*Yen obah medéni bocah :*
_Banyak Jiwa Yang-Rindu Untuk-Kembali Pada-Allah ingin minta dihidupkan, tapi Allah tak mengizinkan. Jika mayat hidup lagi maka bentuknya pasti menakutkan dan madlaratnya tentu lebih besar._
*Yén urip goléko dhuwit :*
_Kesempatan untuk beramal hanya ada di saat sekarang (selagi mampu sekaligus ada waktu) bukan di nanti (ketidakmampuan dan hilangnya kesempatan), tempat behramal hanya di sini (Dunia) bukan di sana (Akherat), di sana bukan tempat beramal (bercocok tanam) tapi tempat berhasil (panen raya)._

Rabu, 11 Januari 2017




140.
polahe wong Jawa kaya gabah diinteri
endi sing bener endi sing sejati
para tapa padha ora wani
padha wedi ngajarake piwulang adi
salah-salah anemani pati

tingkah laku orang Jawa seperti gabah ditampi
mana yang benar mana yang asli
para pertapa semua tak berani
takut menyampaikan ajaran benar
salah-salah dapat menemui ajal

141.
banjir bandang ana ngendi-endi
gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni
gehtinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni
marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti

banjir bandang dimana-mana
gunung meletus tidak dinyana-nyana, tidak ada isyarat dahulu
sangat benci terhadap pendeta yang bertapa, tanpa makan dan tidur
karena takut bakal terbongkar rahasianya siapa anda sebenarnya

142.
pancen wolak-waliking jaman
amenangi jaman edan
ora edan ora kumanan
sing waras padha nggagas
wong tani padha ditaleni
wong dora padha ura-ura
beja-bejane sing lali,
isih beja kang eling lan waspadha

sungguh zaman gonjang-ganjing
menyaksikan zaman gila
tidak ikut gila tidak dapat bagian
yang sehat pada olah pikir
para petani dibelenggu
para pembohong bersuka ria
beruntunglah bagi yang lupa,
masih beruntung yang ingat dan waspada

143.
ratu ora netepi janji
musna kuwasa lan prabawane
akeh omah ndhuwur kuda
wong padha mangan wong
kayu gligan lan wesi hiya padha doyan
dirasa enak kaya roti bolu
yen wengi padha ora bisa turu


raja tidak menepati janji
kehilangan kekuasaan dan kewibawaannya
banyak rumah di atas kuda
orang makan sesamanya
kayu gelondongan dan besi juga dimakan
katanya enak serasa kue bolu
malam hari semua tak bisa tidur

144.
sing edan padha bisa dandan
sing ambangkang padha bisa
nggalang omah gedong magrong-magrong


yang gila dapat berdandan
yang membangkang semua dapat
membangun rumah, gedung-gedung megah

145.
wong dagang barang sangsaya laris, bandhane ludes
akeh wong mati kaliren gisining panganan
akeh wong nyekel bendha ning uriping sengsara


orang berdagang barang makin laris tapi hartanya makin habis
banyak orang mati kelaparan di samping makanan
banyak orang berharta namun hidupnya sengsara

146.
wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil
sing ora abisa maling digethingi
sing pinter duraka dadi kanca
wong bener sangsaya thenger-thenger
wong salah sangsaya bungah
akeh bandha musna tan karuan larine
akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe


orang waras dan adil hidupnya memprihatinkan dan terkucil
yang tidak dapat mencuri dibenci
yang pintar curang jadi teman
orang jujur semakin tak berkutik
orang salah makin pongah
banyak harta musnah tak jelas larinya
banyak pangkat dan kedudukan lepas tanpa sebab

147.
bumi sangsaya suwe sangsaya mengkeret
sakilan bumi dipajeki
wong wadon nganggo panganggo lanang
iku pertandhane yen bakal nemoni
wolak-walike zaman


bumi semakin lama semakin sempit
sejengkal tanah kena pajak
wanita memakai pakaian laki-laki
itu pertanda bakal terjadinya
zaman gonjang-ganjing

148.
akeh wong janji ora ditepati
akeh wong nglanggar sumpahe dhewe
manungsa padha seneng ngalap,
tan anindakake hukuming Allah
barang jahat diangkat-angkat
barang suci dibenci


banyak orang berjanji diingkari
banyak orang melanggar sumpahnya sendiri
manusia senang menipu
tidak melaksanakan hukum Allah
barang jahat dipuja-puja
barang suci dibenci

149.
akeh wong ngutamakake royal
lali kamanungsane, lali kebecikane
lali sanak lali kadang
akeh bapa lali anak
akeh anak mundhung biyung
sedulur padha cidra
keluarga padha curiga
kanca dadi mungsuh
manungsa lali asale

banyak orang hamburkan uang
lupa kemanusiaan, lupa kebaikan
lupa sanak saudara
banyak ayah lupa anaknya
banyak anak mengusir ibunya
antar saudara saling berbohong
antar keluarga saling mencurigai
kawan menjadi musuh
manusia lupa akan asal-usulnya

150.
ukuman ratu ora adil
akeh pangkat jahat jahil
kelakuan padha ganjil
sing apik padha kepencil
akarya apik manungsa isin
luwih utama ngapusi


hukuman raja tidak adil
banyak yang berpangkat, jahat dan jahil
tingkah lakunya semua ganjil
yang baik terkucil
berbuat baik manusia malah malu
lebih mengutamakan menipu

151.
wanita nglamar pria
isih bayi padha mbayi
sing pria padha ngasorake drajate dhewe


wanita melamar pria
masih muda sudah beranak
kaum pria merendahkan derajatnya sendiri

Bait 152 sampai dengan 156 tidak ada (hilang dan rusak)

157.
wong golek pangan pindha gabah den interi
sing kebat kliwat, sing kasep kepleset
sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik
sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati
nanging sing ngawur padha makmur
sing ngati-ati padha sambat kepati-pati


tingkah laku orang mencari makan seperti gabah ditampi
yang cepat mendapatkan, yang lambat terpeleset
yang besar beramai-ramai membuat yang kecil terjepit
yang angkuh menengadah, yang takut malah mati
namun yang ngawur malah makmur
yang berhati-hati mengeluh setengah mati

158.
cina alang-alang keplantrang dibandhem nggendring
melu Jawa sing padha eling
sing tan eling miling-miling
mlayu-mlayu kaya maling kena tuding
eling mulih padha manjing
akeh wong injir, akeh centhil
sing eman ora keduman
sing keduman ora eman


cina berlindung karena dilempari lari terbirit-birit
ikut orang Jawa yang sadar
yang tidak sadar was-was
berlari-lari bak pencuri yang kena tuduh
yang tetap tinggal dibenci
banyak orang malas, banyak yang genit
yang sayang tidak kebagian
yang dapat bagian tidak sayang

159.
selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun
sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu
bakal ana dewa ngejawantah
apengawak manungsa
apasurya padha bethara Kresna
awatak Baladewa
agegaman trisula wedha
jinejer wolak-waliking zaman
wong nyilih mbalekake,
wong utang mbayar
utang nyawa bayar nyawa
utang wirang nyaur wirang


selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun
(sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu)
akan ada dewa tampil
berbadan manusia
berparas seperti Batara Kresna
berwatak seperti Baladewa
bersenjata trisula wedha
tanda datangnya perubahan zaman
orang pinjam mengembalikan,
orang berhutang membayar
hutang nyawa bayar nyawa
hutang malu dibayar malu

160.
sadurunge ana tetenger lintang kemukus lawa
ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener
lawase pitung bengi,
parak esuk bener ilange
bethara surya njumedhul
bebarengan sing wis mungkur prihatine manungsa kelantur-lantur
iku tandane putra Bethara Indra wus katon
tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa


sebelumnya ada pertanda bintang pari
panjang sekali tepat di arah Selatan menuju Timur
lamanya tujuh malam
hilangnya menjelang pagi sekali
bersama munculnya Batara Surya
bebarengan dengan hilangnya kesengsaraan manusia yang berlarut-larut
itulah tanda putra Batara Indra sudah nampak
datang di bumi untuk membantu orang Jawa

161.
dunungane ana sikil redi Lawu sisih wetan
wetane bengawan banyu
andhedukuh pindha Raden Gatotkaca
arupa pagupon dara tundha tiga
kaya manungsa angleledha

asalnya dari kaki Gunung Lawu sebelah Timur
sebelah timurnya bengawan
berumah seperti Raden Gatotkaca
berupa rumah merpati susun tiga
seperti manusia yang menggoda

162.
akeh wong dicakot lemut mati
akeh wong dicakot semut sirna
akeh swara aneh tanpa rupa
bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis
tan kasat mata, tan arupa
sing madhegani putrane Bethara Indra
agegaman trisula wedha
momongane padha dadi nayaka perang
perange tanpa bala
sakti mandraguna tanpa aji-aji


banyak orang digigit nyamuk,
mati banyak orang digigit semut, mati
banyak suara aneh tanpa rupa
pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar
tak kelihatan, tak berbentuk
yang memimpin adalah putra Batara Indra,
bersenjatakan trisula wedha
para asuhannya menjadi perwira perang
jika berperang tanpa pasukan
sakti mandraguna tanpa azimat

163.
apeparap pangeraning prang
tan pokro anggoning nyandhang
ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang
sing padha nyembah reca ndhaplang,
cina eling seh seh kalih pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang


bergelar pangeran perang
kelihatan berpakaian kurang pantas
namun dapat mengatasi keruwetan orang banyak
yang menyembah arca terlentang
cina ingat suhu-suhunya dan memperoleh perintah, lalu melompat ketakutan

164.
putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu
hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti
mumpuni sakabehing laku
nugel tanah Jawa kaping pindho
ngerahake jin setan
kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo
kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda
landhepe triniji suci
bener, jejeg, jujur
kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong


putra kesayangan almarhum yang bermukim di Gunung Lawu
yaitu Kyai Batara Mukti, ya Krisna, ya Herumukti
menguasai seluruh ajaran (ngelmu)
memotong tanah Jawa kedua kali
mengerahkan jin dan setan
seluruh makhluk halus berada dibawah perintahnya bersatu padu
membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda
tajamnya tritunggal nan suci
benar, lurus, jujur
didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong

165.
pendhak Sura nguntapa kumara
kang wus katon nembus dosane
kadhepake ngarsaning sang kuasa
isih timur kaceluk wong tuwa
paringane Gatotkaca sayuta


tiap bulan Sura sambutlah kumara
yang sudah tampak menebus dosa
dihadapan sang Maha Kuasa
masih muda sudah dipanggil orang tua
warisannya Gatotkaca sejuta

166.
idune idu geni
sabdane malati
sing mbregendhul mesti mati
ora tuwo, enom padha dene bayi
wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada
garis sabda ora gentalan dina,
beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira
tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa
nanging inung pilih-pilih sapa


ludahnya ludah api
sabdanya sakti (terbukti)
yang membantah pasti mati
orang tua, muda maupun bayi
orang yang tidak berdaya minta apa saja pasti terpenuhi
garis sabdanya tidak akan lama
beruntunglah bagi yang yakin dan percaya serta menaati sabdanya
tidak mau dihormati orang se tanah Jawa
tetapi hanya memilih beberapa saja

167.
waskita pindha dewa
bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira
pindha lahir bareng sadina
ora bisa diapusi marga bisa maca ati
wasis, wegig, waskita,
ngerti sakdurunge winarah
bisa pirsa mbah-mbahira
angawuningani jantraning zaman Jawa
ngerti garise siji-sijining umat
Tan kewran sasuruping zaman


pandai meramal seperti dewa
dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan canggah anda
seolah-olah lahir di waktu yang sama
tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati
bijak, cermat dan sakti
mengerti sebelum sesuatu terjadi
mengetahui leluhur anda
memahami putaran roda zaman Jawa
mengerti garis hidup setiap umat
tidak khawatir tertelan zaman

168.
mula den upadinen sinatriya iku
wus tan abapa, tan bibi, lola
awus aputus weda Jawa
mung angandelake trisula
landheping trisula pucuk
gegawe pati utawa utang nyawa
sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan
sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda


oleh sebab itu carilah satria itu
yatim piatu, tak bersanak saudara
sudah lulus weda Jawa
hanya berpedoman trisula
ujung trisulanya sangat tajam
membawa maut atau utang nyawa
yang tengah pantang berbuat merugikan orang lain
yang di kiri dan kanan menolak pencurian dan kejahatan

169.
sirik den wenehi
ati malati bisa kesiku
senenge anggodha anjejaluk cara nistha
ngertiyo yen iku coba
aja kaino
ana beja-bejane sing den pundhuti
ateges jantrane kaemong sira sebrayat


pantang bila diberi
hati mati dapat terkena kutukan
senang menggoda dan minta secara nista
ketahuilah bahwa itu hanya ujian
jangan dihina
ada keuntungan bagi yang dimintai
artinya dilindungi anda sekeluarga

170.
ing ngarsa Begawan
dudu pandhita sinebut pandhita
dudu dewa sinebut dewa
kaya dene manungsa
dudu seje daya kajawaake kanti jlentreh
gawang-gawang terang ndrandhang

di hadapan Begawan
bukan pendeta disebut pendeta
bukan dewa disebut dewa
namun manusia biasa
bukan kekuatan lain diterangkan jelas
bayang-bayang menjadi terang benderang

171.
aja gumun, aja ngungun
hiya iku putrane Bethara Indra
kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan
tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh
hiya siji iki kang bisa paring pituduh
marang jarwane jangka kalaningsun
tan kena den apusi
marga bisa manjing jroning ati
ana manungso kaiden ketemu
uga ana jalma sing durung mangsane
aja sirik aja gela
iku dudu wektunira
nganggo simbol ratu tanpa makutha
mula sing menangi enggala den leluri
aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu
beja-bejane anak putu


jangan heran, jangan bingung
itulah putranya Batara Indra
yang sulung dan masih kuasa mengusir setan
turunnya air brajamusti pecah memercik
hanya satu ini yang dapat memberi petunjuk
tentang arti dan makna ramalan saya
tidak bisa ditipu
karena dapat masuk ke dalam hati
ada manusia yang bisa bertemu
tapi ada manusia yang belum saatnya
jangan iri dan kecewa
itu bukan waktu anda
memakai lambang ratu tanpa mahkota
sebab itu yang menjumpai segeralah menghormati,
jangan sampai terputus, menghadaplah dengan patuh
keberuntungan ada di anak cucu

172.
iki dalan kanggo sing eling lan waspada
ing zaman kalabendu Jawa
aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa
cures ludhes saka braja jelma kumara
aja-aja kleru pandhita samusana
larinen pandhita asenjata trisula wedha
iku hiya pinaringaning dewa

inilah jalan bagi yang ingat dan waspada
pada zaman kalabendu Jawa
jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa
yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga
jangan keliru mencari dewa
carilah dewa bersenjata trisula wedha
itulah pemberian dewa

173.
nglurug tanpa bala
yen menang tan ngasorake liyan
para kawula padha suka-suka
marga adiling pangeran wus teka
ratune nyembah kawula
angagem trisula wedha
para pandhita hiya padha muja
hiya iku momongane kaki Sabdopalon
sing wis adu wirang nanging kondhang
genaha kacetha kanthi njingglang
nora ana wong ngresula kurang
hiya iku tandane kalabendu wis minger
centi wektu jejering kalamukti
andayani indering jagad raya
padha asung bhekti

menyerang tanpa pasukan
bila menang tak menghina yang lain
rakyat bersuka ria
karena keadilan Yang Kuasa telah tiba
raja menyembah rakyat
bersenjatakan trisula wedha
para pendeta juga pada memuja
itulah asuhannya Sabdopalon
yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur
segalanya tampak terang benderang
tak ada yang mengeluh kekurangan
itulah tanda zaman kalabendu telah usai
berganti zaman penuh kemuliaan
memperkokoh tatanan jagad raya
semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi


Carita Pantun Ngahiangna Pajajaran

Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!

Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang : “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”

Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!

Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!

Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!

Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!

Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.

Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.

Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.

Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!

Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.

Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.

Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.

Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.

Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.

Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!

Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.

Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!

Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.

Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!

Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!

**********************************************************************


Terjemahan bebas Uga Wangsit Siliwangi.

Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut mundur pada waktu beliau sebelum menghilang :
“Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.”

Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!

Dengarkan! Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi!

Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh kebelakang!

Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Adapun yang menjadi penguasa tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu, banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah!

Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa diteemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. dan bahkan berlebihan kalau bicara.

Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.

Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah nagara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.

Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!

Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.

Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang.

Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.

Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin. Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah. Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.

Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan kepenjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.

Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.
Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.

Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!

Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.

Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.

Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang!

SEWELASAN

AGENDA

  • MENGOLEKSI
  • BERKEGIATAN
  • NAPAK TILAS

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget