Senin, 17 April 2017



Empat kapal Belanda membuang sauh di Pantai Bandar Aceh. Tak lama kemudian juru bahasa Belanda, Said Tahir menghadap Sultan Alaudin Mahmud Syah, untuk menyampaikan surat dari Komisaris FN Nieuewenhuysen. Isi surat sangat mengejutkan karena Sultan Aceh diminta mengakui kedaulatan Hindia Belanda. Tentu saja, Sultan menolaknya. Surat-surat berikutnya juga dijawab dengan tegas bahwa Aceh menolak mengakui kedaulatan Hindia Belanda.
Empat hari kemudian, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh. Dengan demikian, Belanda telah melanggar perjanjian dengan Inggris dalam Traktat London yang menyebutkan bahwa Belanda dilarang mengganggu kemerdekaan Aceh.
Pada serangan pertama, Belanda mengerahkan 3.000 tentara yang dipimpin oleh Jenderal Kohler. Dalam serangan ini, Kohler berhasil ditembak mati.
Pada 1874, serangan kedua Belanda mengerahkan 8.000 tentara. Letjen J. van Swieten mengumumkan telah menguasai Banda Aceh. Namun, kenyataannya, rakyat Aceh terus melancarkan perlawanan hingga tahun 1904.
Perang Aceh (1873-1904) menjadi perang terlama, terkuat, dan terbesar yang dihadapi Belanda, karena rakyat Aceh didorong oleh motivasi keagamaan melawan kaphee (kafir) yang dikenal sebagai Perang Sabil.
Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Vol I, Perang Aceh menelan banyak sekali biaya dan nyawa. Di pihak Aceh, empat persen penduduknya atau 70.000 orang tewas. Di pihak Belanda 35.000 serdadu KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) tewas. Mereka yang menderita luka-luka seluruhnya satu juta orang.
Repost from https://www.facebook.com/notes/deddy-endarto/lambang-kerajaan-majapahit-wilwatikta/1872877156268581/
Selama saya menelusuri sejarah Kerajaan Majapahit (WILWATIKTA), telah menemukan beberapa bentuk "Lambang Negara" yang dipakai secara resmi oleh Kerajaan Majapahit (WILWATIKTA). Hal tersebut terekam dalam beberapa dokumen kenegaraan (diplomatik) yang ditujukan kepada negara lain, ataupun peninggalan artefak arkeologis berupa : ornamen bangunan, nisan dan lainnya.
Saya menemukan 7 (TUJUH) bentuk Lambang Negara yang mewakili beberapa era pemerintahan tertentu di Majapahit (WILWATIKTA). Saya kira hal ini juga ditemui para saudara-saudara pecinta sejarah dan kebudayaan yang merunut kembali perjalanan sejarah Majapahit (WILWATIKTA).
Secara umum ada 4 (EMPAT) Lambang Negara yang dipakai Kerajaan Majapahit (WILWATIKTA) ketika didirikan hingga masa kemundurannya dengan ibukota di WILWATIKTAPURA (Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur). 1 (SATU) Lambang Negara yang dipakai pada saat ibukota Majapahit dipindahkan ke DAHANAPURA (Kediri, Jawa Timur), setelah mengalami perpecahan internal dalam tubuh SAPTAPRABHU ri WILWATIKTA (7 Dewan Raja Pengambil Keputusan di WILWATIKTA). 2 (DUA) Lambang Negara yang dipakai dalam masa pengungsian akibat serangan Kerajaan Demak Bintara, 1 (SATU) dipakai oleh pelarian yang mengarah ke Barat (Wilayah : Wengker (Ponorogo - Pacitan, Mataram, Pengging dan Gunung Lawu), sedang 1 (SATU) lainnya dipakai pelarian yang kearah Timur (Wilayah : Tengger-Bromo, Lumajang, Blambangan hingga Bali).
Saya akan membahas 4 (EMPAT) Lambang Negara Kerajaan Majapahit (WILWATIKTA) ketika masih beribukota di WILWATIKTAPURA (Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur). Asumsi saya karena di masa itu sajalah kita secara keilmuan mengakui keberadaan suatu negara yang berdaulat dan mempunyai wilayah kekuasaan yang diakui juga oleh negara lain. Lambang ke-5 hingga ke-7 walaupun digunakan sebagai identitas Kerajaan Majapahit (WILWATIKTA) saya rasa kurang pada tempatnya, karena telah bergeser ruh kenegaraannya baik pada fase kemunduran di Kediri maupun masa pelarian di lokasi lainnya (kurangnya pengakuan kedaulatan dari negara lain).
Yang menarik walaupun bentuk lambang dan ibukotanya sudah berubah, leluhur di Majapahit (WILWATIKTA) menamakannya sama : "SURYA WILWATIKTA" (Matahari WILWATIKTA). Walau pada saat ini banyak orang dan ahli sejarah menamakannya dengan SURYA MAJAPAHIT. Tetapi eksistensinya adalah sama, sistim pemerintahan di Majapahit (WILWATIKTA) yang mengacu pada poros utama atau matahari atau mandala.

1. Lambang Ke-1 :
SURYA WILWATIKTA yang dibuat masa pemerintahan SRI MAHARAJA KERTARAJASA JAYAWARDHANA (Raden Wijaya), secara umum berbentuk matahari yang memancarkan sinarnya dengan sempurna ke segala arah (banyak sudut arahnya), dan ditengahnya ada ornamen Dewa SYIWA berbusana perang menunggang kuda. Filosofi lambang ini sangat kental dengan pengaruh agama SYIWA-BUDHA dalam transisi kerajaan SINGHASARI ke kerajaan MAJAPAHIT. Mertua beliau yang merupakan raja terakhir SINGHASARI : SRI MAHARAJA KERTANEGARA juga mengklaim dirinya adalah titisan SYIWA seperti halnya leluhur pendahulunya (KEN AROK). Pada masa itu penguasa puncak atau raja digelari sebagai SYIWA GIRINDRA atau Dewa SYIWA yang menitis kedunia guna membasmi keangkara murkaan guna menyelamatkan dunia.
Pemakaian lambang ini sangat terkesan heroik, bila kita hubungkan dengan sejarah pelarian Raden WIJAYA ke Madura, pertempuran dengan Raja JAYAKATWANG hingga pengusiran tentara TARTAR. Semua dilalui dengan pertempuran hebat dan diakhiri dengan kemenangan yang gemilang. Sama dengan bentuk lambang tersebut, Dewa SYIWA yang perkasa di medan tempur dan menyinarkan cahaya kemenangan. Sama pula dengan lambang itu, dimana Dewa SYIWA sebagai tokoh TUNGGAL dengan peran Raden WIJAYA yang bertindak sebagai tokoh SENTRAL dan berperan TUNGGAL (Monarchi Absoulute), walaupun disekelilingnya banyak kaum bangsawan dan ksatrya yang sesungguhnya mempunyai kedudukan sama dan bahkan ada yang lebih tinggi. Semua sistem dimainkan secara SENTRAL KETOKOHAN, walau untuk itu harus ditebus sangat mahal dalam pemberontakan RANGGALAWE (ARYA ADIKARA) - Adipati Tuban sahabat sekaligus adik angkatnya (RANGGALAWE adalah putra dari ARYA BANYAK WIDE - Adipati di Sumenep, Madura, merupakan pelindung utama Raden WIJAYA ketika mengungsi di Madura. Setelah sukses menjadi raja, ARYA BANYAK WIDE di anugrahi nama ARYA WIRARAJA = Bangsawan Pembela Raja, dan putranya ARYA RANGGALAWE dianugrahi nama ARYA ADIKARA = Bangsawan Adik dari Raja, karena saat mengungsi mereka saling mengangkat diri menjadi saudara). Disusul dengan pemberontakan lainnya SORA. Lambang ini juga dipakai raja kedua SRI SUNDARAPANDYADEWA ADHISWARA (Dyah Jayanegara), dimasanya juga banyak sekali pemberontakan : KUTI, NAMBI, GAJAH ENGGON dan banyak lagi. Asumsi saya lambang Dewa SYIWA yang menggunakan busana perang itu lah penyebabnya, mengendalikan alam bawah sadar pemimpin sentral mencapai kesuksesan dengan cara berperang terlebih dahulu.

2. Lambang Ke-2 :
SURYA WILWATIKTA yang dibuat masa pemerintahan Rani Ke-3 : SRI TRIBHUWANATUNGGADEWI MAHARAJASA JAYAWISNUWARDHANI (Dyah Gitarja). Menyadari sejarah kelam pemberontakan di era kepemimpinan kakaknya, maka beliau merombak total sistem kenegaraan yang ada. Beliau mengadopsi pemikiran kakeknya (Raja SINGHASARI : SRI MAHARAJA KERTANEGARA), dibantu para bibi sekaligus ibunya (4 putri SRI KERTANEGARA dikawin oleh Raden WIJAYA) merumuskan arah baru dari kebijakan politis negara. Menyadari sekalipun darah raja mengalir kental dalam tubuhnya akan tetapi beliau menyadari seorang wanita, pertikaian kekuasaan yang pernah terjadi di era SINGHASARI antara putri dari prameswari dan putra dari selir juga menjadi pertimbangan utama. Di era inilah kali pertama sebuah kekuasaan dibagi secara merata dan berporos pada poros utama (semacam negara Konfederasi), ibukota negara dianggap pusat yang paling berkuasa dikawal oleh para raja bawahan yang juga kerabatnya.
Wilayah bawahan utama ini dipimpin oleh raja bawahan bergelar BHRE (baik pria atau wanita menyandang gelar ini) sejumlah 6 (ENAM) orang. Ditambahkan dengan 2 (DUA) orang mewakili pondasi negara (golongan senopati perang utama yang mengasingkan diri (tidak mau terlibat atau digunakan dalam pertikaian keluarga), mereka hanya turun gunung bila negara membutuhkan dan bangsawan yang mengasingkan diri karena menjaga ajaran agama dan melahirkan pemikiran ketata negaraan). Pemikiran konteks keagamaan mewarnai sistem bentukan baru ini, tidak lepas dari peran Maha Rsi MAUDARA yang mengangkat ajaran NAWA SANGA (Sembilan Dewa Hindu penguasa ARAH). Maka saat itu dikenal adanya SAPTAPRABHU ri WILWATIKTA (7 Raja Pengendali pemerintahan, 1 Raja di pusat dan 6 Raja bawahan), sedangkan 2 penguasa lainnya berperan sebagai katalisator kebijakan yang mempunyai hak veto terhadap keputusan SAPTAPRABHU.
Ploting ini sempat dipakai dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu adanya FRAKSI ABRI dan UTUSAN DAERAH. Fraksi ABRI punya hak veto bila suatu keputusan politis bisa dianggap membahayakan keselamatan negara, sedangkan UTUSAN DAERAH punya hak veto bila kebijaksanaan pemerintah pusat tidak sesuai dengan kondisi dan kebijakan daerah, tapi di era Presiden SUHARTO sistem ini dimandulkan, dengan memilih anggota Fraksi ABRI dari golongan tertentu dan mengisi UTUSAN DAERAH justru dari istri-istri para pejabat bukannya tokoh adat dan agama. Sistemnya sudah seiring tapi pelakunya dimanipulasi ..... itulah sejarah, JANGAN DIULANG !!!
Kekuatan bersenjata yang tertimbun satu dekade kekuatannya paska perang pendirian kerajaan sering kali terlibat pemberontakan pada jaman raja ke-2, di masa ini bukannya di netralisir tetapi malah dibina dan dikembangkan menjadi jauh lebih besar. Hal ini disebabkan energi tempur itu disalurkan dengan cara yang benar guna melakukan ekspedisi penyatuan nusantara seperti pemikiran SRI MAHARAJA KERTANEGARA yang sempat tertunda akibat runtuhnya SINGHASARI dan lahirnya MAJAPAHIT. Sehingga Lambang Negara Ke-2 inilah yang banyak tersebar diseluruh nusantara dan mancanegara sebagai lambang Majapahit (WILWATIKTA). Lambang 8 Dewa yang setingkat menguasai arah dan berporos kepada Dewa SYIWA sebagai penentu utama, sinar matahari diubah hanya bersudut delapan sesuai arah mata angin. Arah Utara-Timur-Selatan-Barat mempunyai sinaran lebih pendek mempunyai arti raja penguasa arah tersebut (ditinjau dari pusat ibukota) difungsikan sebagai penyangga kekuatan ibukota (kebijakan dalam negeri), sedangkan 4 raja dengan arah lainnya mempunyai sinaran lebih panjang sebagai arah raja yang mengelola manajemen logistik ekspedisi penyatuan nusantara dan perdagangan (kebijakan luar negeri). Pada masa inilah Majapahit (WILWATIKTA) mencapai masa keemasannya, konsistensi, kerja keras, manajemen tingkat tinggi dan soliditas kepemimpinan yang disebar merata lah kunci utamanya. Lambang ini dipakai oleh 3 (TIGA) orang raja/ratu yaitu : Rani Ke-3 SRI TRIBHUWANATUNGGADEWI MAHARAJASA JAYAWISNUWARDHANI (Dyah Gitarja); Raja Ke-4 SRI TIKTAWILWA NAGARESWARA SRI RAJASANAGARA (Dyah Hayamwuruk); Ratu Ke-5 SRI KUSUMAWARDHANI (Bhre Kabalan) hanya berkuasa 8 bulan, dan kekuasaan diberikan kepada suaminya yang menjadi raja ke-6; dan Raja Ke-6 SRI WIKRAMAWARDHANA (Bhre Mataram).

3. Lambang Ke-3 :
SURYA WILWATIKTA yang dibuat paska / setelah perang PAREGREG, yaitu perang saudara antara menantu Dyah Hayamwuruk Sri Rajasanagara : SRI WIKRAMAWARDHANA (Bhre Mataram) dengan putranya dari selir : BHRE WIRABHUMI. Sebetulnya tahta pemerintahan diserahkan kepada putri Hayamwuruk : SRI KUSUMAWARDHANI (kami mengakuinya sebagai raja / rani ke-5, tetapi banyak sejarahwan melewatinya dan langsung menganggap raja berikutnya adalah SRI WIKRAMAWARDHANA). Ditengah masa pemerintahannya SRI KUSUMAWARDHANI yang putri dari prameswari digugat oleh saudara lelakinya yang turun dari putra selir : BHRE WIRABHUMI. Yang merasa dirinya turun dari "Pancer Laki", tetapi semua keluarga besar yang tergabung dalam “Sapta Prabhu ri Wilwatikta” mempertahankannya, karena patern yang dipakai Majapahit saat itu adalah RAJASA Wangsa. Dan darah Rajasa mengalir kental ditubuhnya, ayahnya dan ibunya adalah saudara sepupu ..... garis trah yang tak terbantahkan. Karena saudara tirinya merongrong lewat beberapa pemberontakan dan menurunkan wibawa negara, akhirnya kekuasaan diserahkan kepada suaminya atas persetujuan Sapta Prabhu ri Wilwatikta. Dengan dasar masih adanya hubungan darah (Sri Wikramawardhana adalah saudara sepupu Sri Kusumawardhani dari bibinya Dyah Nirttaja atau Bhre Pajang), mempunyai ilmu pemerintahan yang bagus dan pandai olah kaprawiran. Sehingga upaya kudeta dari Bhre Wirabhumi dihadapinya dengan berani atas dukungan seluruh keluarga besar Majapahit.
Perang ini berjalan lama dan menimbulkan banyak LUKA didalam keluarga. Akhir kata SRI WIKRAMAWARDHANA (Bhre Mataram) dapat memenangkan perang Paregreg dan resmi diangkat menjadi raja Majapahit berikutnya. Tetapi keluarga dari Bhre Wirabhumi memprotes hebat, karena Wikramawardhana walaupun berdarah Rajasa bukan turunan langsung pendiri Majapahit (Sang Rama Wijaya). Karena kakeknya Wijayarajasa atau Bhre Wengker adalah pancer laki dari luar trah utama (neneknya yang putri dari Raden Wijaya). Hal tersebut menjadi pertimbangan mendalam dalam sistem pemerintahan kolektif di Majapahit, sehingga diputuskan mulai saat itu Majapahit tidak lagi menggunakan rajakula RAJASA WANGSA (anak keturunan Sang Rajasa) tetapi menggantinya dengan rajakula WIJAYA WANGSA (anak keturunan Sang Rama Wijaya), seharusnya beliau inilah pemakai pertama gelaran BRAWIJAYA (walau hal ini masih jadi perdebatan diantara para ahli karena tidak adanya dokumen resmi negara yang merujuk rajakula baru ini, tetapi dikenal luas justru oleh cerita rakyat dan babad). Beliau menunjukkan kearifannya dengan melakukan rekonsiliasi dengan keluarga Bhre Wirabhumi, dengan menempatkan keluarganya sebagai salah satu raja bawahan penentu kebijakan dan menambahkan pula keluarga asalnya. Hal ini membuat Majapahit tidak lagi bergantung pada 7 Raja dan 2 elemen, tetapi menjadi 9 Raja dan 2 elemen. Karenanya lambang negara dirubah menjadi matahari bersinar 10 (8 Raja bawahan dan 2 elemen) yang keputusan utamanya diwakili Raja Utama di pusat pemerintahan. Karena beliau bukan "Treseping Madu Trahing Kusumo" maka elemen dewa tidak bisa digambarkan mewakilinya, maka gambaran dewa dihilangkan dan diganti lambang kekuasaan utama "WILWATIKTA Jayati" (Wilwatikta yang berjaya) ditengah poros lingkarannya. Lambang ini tetap dipakai oleh Raja/Rani WILWATIKTA (Majapahit) berikutnya : Rani ke-7 SRI PRABHU STRI SUHITA.

4. Lambang Ke-4 :
Adalah Surya WILWATIKTA yang dibuat setelah era pemerintahan SRI PRABHU STRI SUHITA, yaitu : Raja ke-8 SRI KERTAWIJAYA (Bhre Tumapel) beliau adalah adik tiri dari penguasa sebelumnya. Ini jelas menambah kompleksitas kekuasaan di dalam keluarga yang ada, karena semakin menjauhkan eksistensi dari dinasti RAJASA sebagai pondasi awal kerajaan ini. Seperti diketahui dalam kitab : NEGARAKRETAGAMA dan PARARATON, perkawinan penerus dinasti RAJASA : SRI KUSUMAWARDHANI (Puteri Dyah Hayamwuruk) dengan SRI WIKRAMAWARDHANA : HYANG WEKAS ING SUKHA meninggal diusia anak-anak, sehingga kekuasaan justru turun kepada putrinya dari istri selir : SRI PRABHU STRI SUHITA.
Permasalahan kembali terjadi dimana sang Rani juga tidak mempunyai keturunan (diriwayatkan hanya mengambil putra angkat), sehingga kekuasaan di alihkan kepada saudara tirinya : SRI KERTAWIJAYA (Bhre Tumapel) yang juga putra selir dari SRI WIKRAMAWARDHANA (ibu yang berbeda dengan SRI PRABHU STRI SUHITA). Beliau inilah yang di cerita legenda masyarakat dan Babad Tanah Jawi dikenal bergelar sebagai BRAWIJAYA Ke-1.
Tentunya ini merubah peta politik keluarga berpengaruh di dalam Kerajaan WILWATIKTA (Majapahit), sehingga lambang negara dirubah menjadi SURYA WILWATIKTA yang mempunyai 16 (enam belas) sinar mewakili : 8 keluarga dinasti RAJASA pada lingkaran bagian dalam dan 8 keluarga dinasti BRAWIJAYA pada lingkaran bagian luarnya. Lambang ini dipakai sampai Raja WILWATIKTA terakhir yang berkuasa atas ibukota ASTAWULAN / TROWULAN yaitu : RajaKe-12 BHRE KERTABHUMI. Dimana kekuasaanya yang melemah karena adanya bencana yang mengepung ibukota berupa luapan gunung lumpur yang terjadi secara secara bersamaan di sisi barat (Gunung Anyar di Jombang) dan di sisi timur dekat wilayah Watukosek saat ini telah mengisolasi ibukota. Lemahnya koordinasi dengan negara bawahan dan korupsi yang menggerogoti negara, ditambah pertikaian antara kerabat akibat diserahkannya pengelolaan beberapa pelabuhan besar Majapahit kepada kerabat selir sang raja yang merupakan orang asing.
Kondisi buruk itu menyebabkan kerabatnya sendiri BHRE DAHA / KELING : SRI GIRINDRAWARDHANA DYAH RANAWIJAYA turun gunung mengambil alih kekuasaan raja pusat. Usahanya tersebut berhasil tetapi mendapat gempuran balasan dari putra BHRE KERTABHUMI : Raden PATAH adipati wilayah Demak Bintara. Sempat terjadi hegemoni kekuasaan antar keduanya, sehingga diputuskan ibukota Majapahit atas berbagai pertimbangan (adanya bencana geologis di sekitar TROWULAN dan gempuran Demak) dipindahkan ke daerah Kediri atau saat itu dikenal sebagai DAHANAPURA / DAHA yang berlokasi lebih tinggi. Maka berakhirlah kisah Kerajaan WILWATIKTA (Majapahit) di Trowulan, karena dengan dipindahnya ibukota negara ke DAHA (walaupun juga memakai lambang SURYA WILWATIKTA yang kemudian dimodifikasi pula), saya menganggap telah hilang ruh kenegaraannya. Di istana Majapahit Dhaha sempat melahirkan 2 orang raja dan kemudian mengalami keruntuhan akibat serangan Kerajaan Demak Bintara yang dipimpin Sultan Trenggana (cucu dari Raden PATAH) pada tahun 1527.
Saat ini kita memahami bahwa sistem kalender tradisional di tanah Jawa telah berlaku baku setelah adanya peleburan sistem kalender Jawa dan Islam yang dilakukan Raja Mataram Islam : Sultan Agung Hanyakrawati. Dan sejak saat itulah masyarakat tradisional Jawa memakainya sebagai pedoman dalam berkegiatan disegala peri kehidupan.
Akan tetapi dibelakangan hari terdapat beberapa perhitungan yang dirasakan “LEPAS atau TIDAK SESUAI” terhadap peredaran musim baik makrokosmos maupun mikrokosmos nya bagi peri kehidupan di Nusantara. Banyak kejadian dikatakan sebagai “SALAH MUSIM” dan sebagainya, yang menurut pemahaman saya adalah konsekwensi logis dari “suatu pemaksaan sistem kalender peradaban lain atas tanah Nusantara”.
Ini harus dipahami sebagai ilmu pengetahuan murni dan “jangan dipahami sebagai unsur keagamaan tertentu”. Bahwa sistem Kalender Jawa dibuat berdasarkan hasil pengamatan komunitas adat Jawa dalam waktu lama akan pengaruh semesta di lokasi mereka hidup (tanah Nusantara), yang kemudian dibukukan yang kita kenal sebagai primbon pranatamangsa. Demikian juga dengan peradaban lain yang mempunyai sistem kalender, mereka menciptakannya dengan akurasi tinggi hanya bila digunakan pada lokasi asli dimana sistem kalender tersebut ditemukan (misal : sistem kalender Saka India, Hijriyah Muslim dan Masehi Nasrani).

Sebagai perbandingan dalam telaah sistem kalender, maka kita ambil studi kasus atas peleburan sistem oleh Sultan Agung Hanyakrawati atas kalender Jawa dan Arab sebagai berikut berdasarkan “Serat Ajidarma - Ajinirmala” :
Nama 7 HARI (Saptawara) Sistem Kalender Jawa : 1. Radité = Akad (Minggu) / 2. Soma = Isnan (Senin) / 3. Anggara = Salasa (Selasa) / 4. Buddha = Rabo (Rabu) / 5. Rĕspati = Kamis / 6. Sukra = Jumungah (Jum’at) / 7. Tumpak = Sabtu.
Nama 5 PASARAN (Pancawara) Sistem Kalender Jawa : 1. Lĕgi = Manis / 2. Pahing / 3. Pon / 4. Cĕmĕngan = Wagé / 5. Kasih = Kaliwon.
Nama 12 BULAN Sistem Kalender Jawa : 1. Karttika / 2. Pusa / 3. Manggasari / 4. Sitra / 5. Manggakala / 6. Naya / 7. Palguna / 8. Wisaka / 9. Jita / 10. Srawana / 11. Padrawana / 12. Asuji.
Nama 12 BULAN Sistem Kalender Arab : 1. Sura = Muharram / 2. Sapar = Shafar / 3. Mulud = Rabiulawal / 4. Rabingulakir = Bakda Mulud / 5. Jumadilawal = Jumadilawal / 6. Jumadilakir = Jumadilakir / 7. Rajab = Rajab / 8. Ruwah = Sya’ban / 9. Pasa = Ramadan / 10. Sawal = Syawal / 11. Dulkangidah = Dulkaidah / 12. Besar = Zulhijjah.
Nama 60 TAHUN JAWA Sistem Kalender Jawa : 1. Sambrama / 2. Biswawisu / 3. Kalayudi / 4. Kalakandha / 5. Rahutri / 6. Dumdumi / 7. Triyoddhari / 8. Tisimuka / 9. Dinakara / 10. Sujarha / 11. Saddhamuka / 12. Saddhaksaddha / 13. Jagalogĕna / 14. Kilaka / 15. Prapawa / 16. Iwa / 17. Cukila / 18. Pramududa / 19. Prasudpadi / 20. Anggila / 21. Istrimuka / 22. Pawa / 23. Iwa / 24. Tadu / 25. Iswara / 26. Wakdaniya / 27. Pramadi / 28. Wikrama / 29. Wila / 30. Sitrapanu / 31. Supanu / 32. Taruna / 33. Partipa / 34. Wiya / 35. Sarwasitti / 36. Sarwaddhari / 37. Wirodi / 38. Wikuraddhi / 39. Karĕha / 40. Nantĕna / 41. Wijaya / 42. Jaywaha / 43. Manmata / 44. Tunmuki / 45. Yiwolambi / 46. Wulambi / 47. Wikari / 48. Sarwari / 49. Pilapawa / 50. Subakartti / 51. Sabakartti / 52. Aciya / 53. Ananda / 54. Rancata / 55. Pinggala / 56. Nala / 57. Pilawangga / 58. Umiya / 59. Saddharuna / 60. Rudraksa.
Nama 8 TAHUN ARAB Sistem Kalender Arab : 1. Alip / 2. Ehé / 3. Jimawan / 4. Jé / 5. Dal / 6. Bé / 7. Wawu / 8. Jimakir.
Dari data diatas terjadi perbedaan cukup mencolok, dimana Windu Jawa tersusun dari 60 Tahun Jawa, sedangkan Windu Arab tersusun dari 8 Tahun Arab.
Nama 10 WINDU JAWA Sistem Kalender Jawa : 1. Windu Ancara (Windu Antaru atau Antaro) / 2. Windu Manila / 3. Windu Sangara / 4. Windu Mukka / 5. Windu Mangkara / 6. Windu Sangsara / 7. Windu Kawanda / 8. Windu Tirtta / 9. Windu Sĕta (Windu Sĕtu) / 10. Windu Baya.
Nama 4 WINDU ARAB Sistem Kalender Arab : 1. Adi / 2. Sĕngara / 3. Kunthara / 4. Sancaya
PRANATAMANGSA JAWA Sistem Kalender Jawa : 1. Kasa = Çrawana (Srawana) / 2. Karo = Bhadra (Padrawana) / 3. Katĕlu = Asuji (Asuji) / 4. Kapat = Kartika (Karttika) / 5. Kalima = Margaçira (Manggasri) / 6. Kanĕm = Posya (Pusa) / 7. Kapitu = Magha (Manggakala) / 8. Kawolu = Phalguna (Palguna) / 9. Kasanga = Cétra (Sitra) / 10. Kasapuluh = Wéçaka (Wisaka) / 11. Désta = Jyéstha (Jita) / 12. Sadda = Asadha (Naya).
Dari data-data diatas terlihat suku bangsa Nusantara ternyata mampu membuat sistem kalender yang jauh lebih teliti atas pengaruh pergerakan makrokosmos dan mikrokosmos atas bumi Nusantara. Didalam prakteknya leluhur kita tidak hanya berpedoman atas masa edar Matahari dan Rembulan, tetapi juga memasukan pengaruh posisi Bintang (dikenal di era Majapahit sebagai SURYA - CHANDRA - KARTIKA AJI).

Senin, 13 Februari 2017

Kalau ada yang bilang Kerajaan WILWATIKTA (Majapahit) itu PENAKLUK NUSANTARA ..... SURUH BELAJAR LAGI. Karena Kerajaan WILWATIKTA (Majapahit) adalah pimpinan dari "Konfederasi Nusantara" yang dibentuk jauh ratusan bahkan ribuan tahun sebelum eranya.
Bekas pemimpin Konfederasi Nusantara yang bisa dijejaki saat ini adalah : TARUMANEGARA, KUTAI, MATARAM HINDU (artefak Borobudur), SRIWIJAYA (Prasasti), KAHURIPAN (Prasasti), DHAHA PANJALU (ekspedisi Pabali, Prasasti), SINGHASARI (ekspedisi Pamalayu, Prasasti), dan WILWATIKTA / MAJAPAHIT (Sumpah Palapa, ekspedisi Nusantara Jayati, Prasasti).
Mari beranalogi secara cerdas, bahwa atas persamaan kepentingan dan tujuan .... beberapa kerajaan di kawasan Nusantara (jauh lebih luas dari Indonesia modern, Nusantara lama mempunyai batas barat : Madagaskar, batas timur : Kepulauan Paskah, batas utara : Kepulauan Okinawa dan batas selatan : Selandia Baru) membentuk konfederasi atau pakta ekonomi dan pertahanan. Mereka memilih pimpinan, kerajaan yang dianggap kuat dan mempunyai kredibilitas tinggi melakukan misi diplomatik dengan kerajaan lain diluar kawasan Nusantara.
Bahan kajian dan renungan, EKSPEDISI PAMALAYU 1 dan 2 oleh Kerajaan SINGHASARI adalah atas permintaan anggota konfederasi : Kerajaan DHARMASRAYA. Atas gangguan wilayah lautnya oleh Lanun (bajak laut) selat Malaka yang bermarkas di Tumasik. Jadi itu bukan ekspedisi penundukan atas kerajaan-kerajaan Melayu tetapi justru bantuan militer dari seluruh anggota konfederasi atau operasi penegakan kedaulatan. Tidak ada satupun prasasti yang menyebutkan perang terjadi antara Kerajaan Singhasari dengan Kerajaan Dharmasraya, yang ada malah prasasti Traktat PORTO yang menyebutkan adanya kesepakatan antara Portugis dengan armada laut konfederasi yang diwakili Kerajaan Singhasari, bahwa batas terluar wilayah Singhasari ditandai dengan penanda batas PURA di atas pulau Tumasik = SINGHASARI PURA = SINGHAPURA (yang sekarang menjadi negara sendiri).
Kajian lain, ketika Majapahit baru berumur 3 tahun : ada catatan dari bangsa China dan Portugis menyebutkan mempunyai armada kapal militer dan dagang ribuan jumlahnya. Analogi pemikiran : mahasiswa ITS (Fak. Perkapalan) pernah mencoba membangun replika satu kapal Phinisi Nusantara untuk BPPT saat itu, dengan peralatan modern dan logistik yang cukup membutuhkan waktu 8 bulan dengan dana luar biasa besar. Terus kalau Majapahit punya kapal sampai ribuan, galangan mana yang mampu memproduksi sebanyak itu dan darimana dana pembangunannya yang jelas akan membuat Majapahit bangkrut diusia balita nya.
Kesimpulan, Majapahit telah diangkat menjadi PIMPINAN KONFEDERASI NUSANTARA oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara sebagai pewaris Kerajaan Singhasari yang sah (karena saat itu empat putri raja terakhir Kerajaan Singhasari bergabung dalam Kerajaan Majapahit). Armada laut yang dimilikinya adalah warisan Kerajaan Singhasari dan armada milik anggota konfederasi yang di kelolanya. Sumbangan terbesar datang dari : Kerajaan Bugis, Kerajaan Sulu, Armada Madura, Armada Bali dan Lombok, Armada Kutai, Armada Dharmasraya.
Sumpah Palapa oleh GAJAHMADA bukan upaya penaklukan Nusantara, tetapi mirip dengan Ekspedisi Pamalayunya Singhasari .... itu operasi PENEGAKAN KEDAULATAN KONFEDERASI NUSANTARA. Yang dituju adalah wilayah bermasalah di kawasan Nusantara, baik yang sifatnya pemberontakan atau pembangkangan kerajaan lokal terhadap kesepakatan awal ataupun karena adanya penguasa baru yang ingin memisahkan diri dari konfederasi saat Kerajaan Singhasari sebagai pemimpin konfederasi runtuh akibat serangan Kerajaan Gegelang yang masih kerabatnya sendiri.
Luas wilayah Nusantara yang sedemikian luar biasa dan banyaknya kerajaan-kerajaan lokal didalamnya, jelas membutuhkan waktu lama dan jumlah pertempuran yang banyak guna menundukkannya. Tapi berapa banyak yang anda dapat temukan dicatatan sejarah dan prasasti atas pertempuran yang dilakukan oleh Majapahit ? ..... jawabnya jelas dibawah 10 kali pertempuran besar. Dan itu bukti lain, bahwa Majapahit adalah PEMIMPIN yang dipilih dan bukannya penakluk Nusantara.
Jadi sudah betul kalau pencetus negara INDONESIA modern saat ini mengambil bentuk negara KESATUAN, karena memang seperti itu adanya sejak ribuan tahun yang lalu. Dan INDONESIA sekarang ini adalah transformasi sempurna dari nilai-nilai yang diperjuangkan seluruh anggota konfederasi Nusantara yang pernah dipimpin : TARUMANEGARA, KUTAI, MATARAM HINDU, SRIWIJAYA, KAHURIPAN, DHAHA PANJALU, SINGHASARI dan WILWATIKTA / MAJAPAHIT.
Maka adalah kewajiban kita untuk menjaga dan menyempurnakannya. Ketika terjadi ketimpangan pelaksanaan yang menyebabkan ketidak puasan, kerugian bagi suatu wilayah, hendaknya kita tinjau ulang dan membenahi sistemnya. Kalau yang salah pimpinannya, ya diganti pimpinannya sesuai mekanisme yang ada. Tetapi bila kekecewaan itu diekspresikan dengan pemisahan diri atau menuntut kemerdekaan ..... jawabanya adalah jelas ..... akan ada operasi penegakan kedaulatan, sama dengan yang dilakukan Kerajaan Singhasari dengan Ekspedisi Pamalayunya, sama dengan yang dilakukan oleh Gajahmada dengan Sumpah Palapanya.

Rabu, 08 Februari 2017

SOMBA OPU VS VOC

PERANG BATAK


PERANG PATTIMURA


Selasa, 31 Januari 2017


Sekitar pada abad ke 17 tepatnya tahun 1738 Masehi, Kerajaan Mataram (sudah Islam bukan mataram Kuno) mengadakan pertemuan agung, dimana seluruh Bupati tiap-tiap kota berkumpul di Ngayogyakarta. Yang namanya Bupati melakukan perjalanan dinas yang jauh (sekitar 315km Gresik-keraton), untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan terhadap bupati, maka banyak prajurit tangguh di pusatkan untuk mengawal Bupati mereka masing-masing, demikian dengan Bupati Gresik. Kota Gresik yang sepi akan pengamanan menjadi sasaran empuk oleh cakraningrat IV dari Sampang Madura, untuk menguasai Gresik dengan mengerahkan Demangnya bernama Dewaraga yang kondang akan kesaktiannya beserta prajurit yang menggunakan banyak perahu saat malam hari

Ketika orang madura sampai di pendopo Gresik, prajurit dari Sampang menjarah harta di seluruh toko Gresik dan harta benda para pejabat Gresik, Para perempuan juga di rampas bahkan istri Bupati Gresik dan istri para pejabat Gresik serta seluruh anak perempuan pun di boyong ke Madura dengan menggunakan perahu pula. Pasukan Sampang yang sudah menguasai Wilayah Gresik menyuruh para pejabat Gresik menggunakan pakaian khas Madura serta di gundul rambutnya apabila tidak mau akan di siksa habis-habisan, dan saat itulah demang Dewaraga dari sampang mendeklarasikan dirinya sebagai Bupati Gresik.

Namun ada pejabat Gresik yang lolos dari kejaran pasukan Sampang dan melarikan diri ke keraton untuk melaporkan kejadian bahwa Gresik telah dikuasai Sampang. Mendengar Gresik yang di ambil Alih Madura secara Keji, Bupati ponorogo merasa simpati dan akan membantu bupati Gresik untung mengkondisikan kembali dengan memberi bantuan dalam bala pasukan elite ponorogo, yang tidak lain Warok.
(Disini terlihat uniknya, dari puluhan bupati yang hadir. Hanya bupati Ponorogo yang bersimpati dan siap membantu menyelesaikan kemelut di Gresik yang telah dikuasai sepenuhnya oleh pihak Sampang, Madura. Sayangnya dalam serat tidak ditulis siapakah bupati ponorogo ini)

Sebelumnya, Karena bantuan dari warok Ponorogo Keraton Mataram pernah terselamatkan dari seranganTrunojoyo dari Sampang, para warok diberikan sebuah tempat istimewa yang kini menjadi Kulonprogo. 
Bupati Gresik dan Ponorogo melakukan perjalanan ke Gresik dengan singgah dahulu di Ponorogo untuk keperluan ekspedisi. dan dilanjutkan peralanan melalui rute madiun, nganjuk, jombang, mojokerto, dan membuat benteng sementara di salah satu daerah Gresik yang bernama Cerme. pasukan Gresik-Ponorogo mulai diserang oleh pasukan sampang, namun pasukan sampang kelah talak dan kocar-kacir. padahal pasukan sampang lebih banyak daripada Gresik-Ponorogo, antara 7000 banding 700 pasukan. Kegagalan pasukan madura menyerang pertahan Gesik ini membuat murka Cakraningrat IV, hingga dikerahkan para jawara untuk menyerbu, namun Terlambat bantuan para jawara ini yang berpapasan dengan pasukan Madura yang mengotong mayat temannya dan yang sedang terluka, perang pun terhindarkan para jawara dan demang Dewa Raga pun tewas saat perang.
Bupati Ponorogo dipersilahkan kembali ke Keraton, namun para Warok masih turut membantu pasukan Gresik untuk merebut alun-alun Gresik. Bupati Gresik mendapatkan tawaran bantuan dari VOC dan diterima oleh Bupati Gresik. pasukan sampang pun banyak yang melarikan diri ke madura, namun karena kemarahan warga Gresik turut membakar perahu-perahu madura, sehingga banyak pasukan sampang yang bersembunyi di pesisir Gresik yang kini bernama desa Meduran.
Cakraningrat IV pun meminta maaf keapada bupati Gresik, dan dikembalikannya istri bupati dan seluruh perempuan yang dibawa ke sampang sebelumnya dan memohon untuk dikasihani pasukan madura yang tidak bisa kembali ke sampang. tidak diketahui secara pasti kekalahan pasukan madura ketika perang terjadi, entah karena pusaka bupati Gresik ataupun lawan yang serang justru para warok ponorogo yang sudah terkenal kesaktiannya yang secara pakaian terdapat kemiripan justru menyerang balik, terlebih adik bupati ponorogo (batara katong) yang menjadi pengasa Sumenep yang merupakan kiblat dari seluruh kota madura.
Untuk mengantisipasi serangan mendadak dari Madura, maka bupati Gresik selanjutnya berasal dari Ponorogo hingga ke era R.M Soero Diwirjo yang lahir di Gresik. Kemenangan Gresik atas sampang ini yang berhasil mengusir pasukan sampang memutuskan cakraningrat untuk memindahaan warga sampang sebanyak 250.000 orang ke wilayah jawa yang kini dikenal dengan tapal kuda.
Setelah Gresik damai seperti sedia kala, dalam pertemuan bupati ponorogo dan bupati Gresik terjadi percakapan kecil.
"Piye Gersik?"
"Gresik..."
"Gegere wis Resik...
Hingga saat ini warga ponorogo di Gresik saling sinkronasi membaur dengan warga Gresik sejak lama. slain itu terdapat Group Reyog di Gresik baik dikelola desa/perorangan (sidomoro, driyorejo, benjeng), sekolahan (sdn Ponganagan, smpn3Gresik, Sman1kebomas,sman1manyar), perusahaan (Pt.semen Gresik Indonesia, Pt pupuk petro kimia Gresik) hingga keagamaan (pura medang kamulan)

Rabu, 18 Januari 2017




Shield of an Aceh warrior, captured in 1876. Aceh, ca. 1870-1875

Shield of an Aceh warrior, captured in 1876. Aceh, ca. 1870-1875
For many years, the colonial administration focused purely on Java. It was thought that the other islands of the archipelago, the outer provinces, were unprofitable, so they were left undisturbed. In the late 19th century, the Dutch changed tack. With the opening of the Suez Canal, more ships had started to use the Malacca Strait, and these had fallen prey to pirates who operated from the nearby sultanate of Aceh on Sumatra and threatened to make use of the route impossible. Moreover, in 1871, the Netherlands had acquired official sovereignty over Aceh. To enforce its authority, the Dutch sent troops to take over the palace of the sultan of Aceh. It was a symbolic act, but a guerrilla war erupted which seemed impossible to suppress. Led by J.B. van Heutsz, a Dutch army eventually managed to break the resistance. Dutch troops treated the indigenous population with particular severity.


After the Java War, a Dutch vision developed of the East Indies as a subdued province. Johannes van den Bosch, the governor general who launched the cultivation system in 1830, envisaged that instead of paying rent, the indigenous population would henceforth devote a fifth of their land to export crops. This produce – indigo, sugar and coffee – was sold in Europe by the Netherlands Trading Company (Nederlandsche Handel-Maatschappij or NHM), which made a vast profit.
The Dutch government received considerable revenue from the East Indies: in some years, as much as a quarter of the nation’s income came from the colony. Local rulers also benefited from the cultivation system. They received bonuses if their farmers increased production. For the ordinary Javanese, the cultivation system was an additional financial burden, moreover it led to corruption and exploitation. Despite protests against its harmful effects, the system remained in place until 1870.
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870
Four Javanese court functionaries. Java, c. 1810-1870

Senin, 16 Januari 2017

PETRUS.....
.............................Suatu malam pertengahan Juni 1983, sebuah jip berwarna gelap berhenti di tengah jembatan Sungai Cimedang, sekitar 70 km sebelah timur Tasikmalaya, yang membatasi Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya. Beberapa penduduk yang sedang meronda melihat kendaraan tersebut berhenti sebentar di tengah jembatan, berputar, lalu ngebut kembali ke timur, arah semula jip itu datang.
Peristiwa itu nyaris tak menarik perhatian jika esok harinya penduduk yang tinggal di dekat jembatan tak menemukan sesosok mayat tersangkut di akar pepohonan di tepi barat sungai. “Tenggorokan mayat itu luka menganga, kepala pecah, dan darah keluat dari mulut, hidung, dan lubang luka itu,” ujar Sabeni (bukan nama sebenarnya), seorang pencari ikan dari Desa Sindangsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis. Tak ada identitas diri ditemukan pada mayat pria berusia tiga puluhan tahun itu, kecuali tubuhnya yang penuh rajah. Oleh penduduk yang pagi itu berniat mandi, mayat itu didorong ke tengah sungai dan dihanyutkan ke hilir. “Kita tidak ingin urusan dengan polisi. Makanya mayat itu tidak kita laporkan,” ujar seorang penduduk Desa Tawang, Kecamatan Panca Tengah, Kabupaten Tasikmalaya. Masyarakat setempat berharap, mayat itu dibawa arus ke laut selatan yang jaraknya sekitar 18 km dari jembatan Cimedang.
“Setelah kejadian malam itu, hampir tiap dua malam sekali jip warna gelap itu melewati desa kami dan berhenti di jembatan,” cerita Icang, seorang penduduk Desa Tawang yang lain. Dan bisa dipastikan, setelah kunjungan jip itu, esoknya sesosok mayat penuh luka ditemukan tersangkut di pinggir sungai. Tak seorang penduduk pun berniat mengetahui dari dekat apa yang dikerjakan jip misterius itu. “Tugas penduduk desa adalah bertani. Sedang pembunuhan itu urusan yang berwajib,” kata Icang. Sampai sepekan menjelang Lebaran, penduduk sepanjang tepian sungai itu telah menemukan 18 mayat, seorang di antaranya perempuan. Semuanya tak mempunyai tanda pengenal, namun semuanya bertato. Mereka tewas dengan kepala remuk atau leher dijerat tali plastik. Semua penemuan itu tak dilaporkan pada kepolisian setempat.
Penduduk Desa Sindangsari dan Tawang tampaknya tak berniat menguburkan mayat-mayat yang mereka temukan. “Mayat itu kan mayat residivis yang selama ini merongrong rakyat,” kata Kasni (bukan nama sebenarnya), penduduk Desa Sindangsari. Jika mayat terdampar di tepi barat sungai, yang berarti wilayah Tasikmalaya, penduduk mendorongnya ke tengah, dan biasanya kemudian tersangkut di tepi timur sungai. Penduduk tepian ini kemudian ganti mendorong mayat itu ke tengah sungai lagi.
Akibat ditemukannya mayat misterius itu penduduk sepanjang tepian sungai itu selalu was-was bila mandi atau mencuci di kali. Mereka khawatir kalau tiba-tiba muncul mayat yang mengambang. Para pencari ikan juga mengeluh. Masyarakat menolak membeli ikan yang ditangkap dari Sungai Cimedang karena khawatir ikan tersebut telah memakan mayat. Penduduk kedua desa itu pun sepakat buat mengajukan keberatan agar mayat tak dibuang lagi di sungai. Tapi kepada siapa? Bukankah pelaku pembunuhan misterius itu tak diketahui. Lewat beberapa wartawan yang berkunjung ke wilayah itu, mereka mengimbau agar di waktu mendatang mayat digeletakkan di pinggir jalan. “Kami yang akan menguburkannya,” kata seorang tokoh masyarakat setempat. Untuk itu setelah Lebaran penduduk menggali tiga lubang kubur di sebuah kebun di Desa Sindangsari. Namun upaya itu ternyata sia-sia. Sebab setelah itu tak ada lagi mayat misterius yang kelihatan mengambang di Sungai Cimedang. Tiga lubang besar itu pun masih menganga sampai sekarang.

Petrus merupakan satu dari serangkaian sejarah kelam masa Orde Baru. Berikut beberapa sejarah yang kelam masa Orde Baru..


(Membaca Ulang Babad Giyanti)
Lagi baca-baca lagi Babad Giyanti, yang membagi Kerajaan Mataram jadi dua: Yogyakarta dan Surakarta.
Tapi selagi saya baca, ada fakta sejarah menarik yang selama ini sejak sekolah saya abaikan. Fakta bahwa gara-gara Geger Pecinan 1740, Sunan Pakubuwono II memindahkan kratonnya dari Kartosura ke daerah Solo. Mulai 1745, Kraton Surakarta resmi berjalan.
Fakta sejarah kedua, meskipun Rusuh Pecinan 1740 itu pada akhirnya memang berhadapannya Cina dengan pasukannya Pakubuwono II, tapi yang bikin gara-gara awal itu VOC alias Kumpeni Belanda. Gara gara pergesekan itu, timbullah perseteruan segitiga yang rumit. Antara Belanda, Kerajaan Mataram, dan Cina.
Awalnya Pakubuwono II berkomitmen bersama dengan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said(Pangeran Samber Nyawa), untuk bersekutu dengan Cina menggempur Kumpeni Belanda. Tapi kemudian, entah apa sebabnya, Pakubuwono II berbalik haluan, membela Belanda, melawan Cina. Sehingga akhirnya pemberontakan Cina terhadap Belanda jadi melemah, dan akhirnya berhasil ditumpas.
Nah dari perkembangan ini, Proxy War Belanda rupanya berhasil membelah Kraton Surakarta. Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, kekeuh untuk tetap melawan Belanda. Musuh pokok adalah Belanda. Cina itu kembangan aja, kira kira gitu lah. Sedangkan Pakubuwono II beranggapan dengan tumpasnya pemberontakan Cina dalam Geger Pecinan 1740, urusan sudah selesai. Bersekutu dengan penjajah Belanda, sah sah saja. Gampangannnya gitu lah.
Sementara itu, meski ada tentangan keras dari Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, Pakubuwono II malah makin mesra menjalin persekutuan dengan Belanda.
Alhasil, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, menjalin ikrar bersama bersekutu melawan Pakubuwono II. Pokoknya melawan Belanda merupakan harga mati. Karena perang berlarut-larut, akhirnya 1755 disepakati kekuasaan Mataram belah dua.
Pangeran Mangkubuwmi, dapat Yogyakarta dan sekitarnya, bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Sedangkan Pakubuwono II dapat sebagian besar daerah di Surakarta. Sedangkan Raden Mas
Said, dapat wilayah utara Solo, yang kemudian jadi Kraton Mangkunegaran. Raden Said alias Pangeran Samber Nyawa, bergelar Raja Mangkunegara I.
Apa hikmah dari peristiwa bersejarah yang terdokumentasi melalui Babad Giyanti tersebut? Hati-hati dengan Proxy War yang dimainkan Asing. Pakubuwono II, Sultan Hamengkubuwono I, dan Raja Mangkunegara I, telah menjadi sasaran Perang Proxy dari Belanda dan Cina.
Maka itu, waspadai agen-agen Van Mook dan Van der Plas yang sepertinya sejak 1948, 1965, 1998, masih tetap mengaktifkan jaringan jaringannnya di Indonesia untuk memainkan peran aktif dalam operasi-operasi politik dan Perang Psikologis di Indonesia.
Pada awalnya, kalau saya telisik kronologi yang bermuara pada Geger Pecinan 1740, sebenarnya awal mulanya justru gesekan antara Kumpeni Belanda versus komunitas Cina di tanah Jawa. Sehingga pihak Belanda dan komunitas Cina sama sama membujuk pemain pemain kunci di Kraton Mataram, untuk bersekutu di pihaknya.

Sabtu, 14 Januari 2017


Kali ini bulan Suro, suasana Gerdhu tiba-tiba menjadi lebih sepi. Para penghuninya pun tiba-tiba ikut-ikutan nyepi seperti orang Hindu ketika melaksanakan upacara nyepi.
“Loh mbah, kok mbah Kacud gak keliatan selama tiga hari ini to ?” Mad Fata muncul secara tiba-tiba menghampiri Nisito dan Juniti serta Culing yang lagi asyik tiduran di Gerdhu.
“Mbahmu lagi meguru Mad. Biarin aja biasanya setelah tiga hari juga muncul.” Sahut Nisito
Dari kejauhan nampak Arda yang menghampiri keempat penghuni Gerdhu yang diberi nama Gerah (Gerdhu para Rahwono) ini. Raut mukanya nampak kesal semakin memperburuk potongannya yang hanya berpakaian kaus kutang serta celana bolong di dhengkulnya.
“Kenapa Da. Wajah dan pakaian kok serasi, lecek. Haha..” Mad Fata memperhatikan wajah Arda seraya menyambut salaman gaul dari tangannya.
“Ahh, mbuh Mad. Saya kok ya bingung tadi pas mau beli rokok, ditegur sama ustad sebelah itu. Ndalil lagi. Katanya pakaiannya orang Islam itu yang sopan niru kanjeng Nabi. Berjubah atau bersarung pakek sorban, terus dzikir di masjid. Ahh lha aku beli rokok kok jubahan.” 
“Betul itu Da. Kanjeng Nabi dulu jubahan. Kita ya minimal sarungan terus diangkat sedikit biar gak masuk neraka.”
“Hubungane apa sarung sama Neraka, Ling. Islam kok ya mengerikan ngunu.” Arda ndak mau kalah sama Culing yang malah bela ustad tersebut.
“Loh kan katanya kalo sarung kita nglembreh nanti masuk neraka. Makanya kamu ngaji jangan di Gerdhu aja.”
“Loh kamu sendiri nek sudah mentok ngajimu yo akhire ngaji ke mbah Kacud.” Arda tidak terima. “Bukan urusan acara ta tempat Ling, tapi dapat apa kamu waktu ngaji.”
“Wes wes, begini lho lee. Kanjeng Nabi ndawuh ataupun melakukan sesuatu itu kita tidak boleh langsung menerima mentah-mentah. Harus tau dimensi sosial politiknya waktu itu, kondisi kebudayaannya, struktur manajemen berpikir masyarakatnya, wahh luas lee. Tidak bisa di telan mentah-mentah.” Juniti mulai membuka pembicaraan.
Memang beberapa hari ini diskusi di Gerdhu cenderung ngislami, entah karena terbawa suasana mistis bulan Suro yang identik dengan ngumbah pusoko bagi orang Jawa.
“Lah waktu Kanjeng Nabi ngomong tentang pakaian yang nglembreh. Kudu jelas itu bersifat kebendaan atau makna. Kalo kebendaan berarti kita harus tau kondisi lingkungan Arab.” Nisito turut menyumbangkan idenya
“Di Arab kan ya gitu-gitu aja kondisinya mbah, padang pasir tandus, banyak kurma, banyak domba.” Arda mencoba mengidentifikasi kondisi lingkungan Arabnya.
“Nah, terus kira-kira kenapa Kanjeng Nabi nyuruh pakaiannya diangkat?”
“Ya mungkin lho mbah ya, mungkin.” Kata Mad Fata. “Kanjeng Nabi nyuruh kita menjaga pakaian agar tidak kena debu yang diragukan kesuciannya, mungkin waktu angin agak kencang debunya bercampur telethong unta. Kan najis mbah.”
“Nah berarti yang disuruh ngangkat pakainnya apa menjaga kesuciannya ?”
“Kesucian mbah.”
“Nah, sekarang kita mencoba dari sisi makna. Kira-kira maksud pakaian nglembreh itu apa ?
“Apa ya mbah ?” Culing mendongakkan wajahnya. “Mungkin tandanya berlebihan mbah. Kan kalo nglembreh berarti pakaiannya lebih.”
“Nahh tepat. Berarti kalo berlebihan tandanya orang yang ?”
“Sombooong.” Hampir serentak ketiga pemuda itu menjawab Nisito
“Nah, berarti Kanjeng Nabi nyuruh kalo pakaian biasa aja, ndak usah terlalu bagus. Ataupun meskipun pakaiannya biasa, jangan sampai ada niat ingin menyombongkan diri.”
“Intinya.” Sahut Juniti. “Meskipun kita lempit sarung kita tapi tujuan kita tidak seperti maksud Kanjeng Nabi, ya salah kaprah lee.”
Ketiga pemuda tersebut manggut-manggut seperti diceramahi kyai tapi potongan kayak wong gendheng. Tak berselang lama, muncul sesosok orang njembling seperti busung lapar dengan mata yang sayu mendekati mereka. Tak salah lagi, Kacud menghampiri mereka dengan memakai baju surjan, sandal klompen, dan berjarik.
“Lo,, loo,, mbah Kacud ini mau nikah lagi to ? Iling mbah, udah layu.” Kata Mad Fata.
“Aku baru ketemu Kanjeng Nabi. Makanya pakai begini.”
“Loh kok ya aneh, ketemu Kanjeng Nabi ya pakek sarung bergamis mbah. Bukan kayak mantenan.” Culing nampak tidak terima.
“Itu kan Kanjeng Nabi menurutmu, Kanjeng Nabiku ya begini. Wong beliau orang Jawa kok, Cuma dulu bajunya jubah semua, makanya beliau berjubah. Coba beliau ndak disuruh ke Arab, ya mungkin bersurjan.”
“Mbah Kacud ini tiga hari nyepi udah sesat, tobat mbaah. Kanjeng Nabi pakaiannya jubah putih bagus, pakek sorban.”
“Nabimu kui sopo to ? Kanjeng Nabi Muhammad, Musailamah Al-Kadzab atau Abu Jahal ?”
“Ngawur mbah ini, ya Nabi Muhammad.”
“Lho ya gini pakaiane Kanjeng Nabi. Nek jubahan bagus yo Abu Jahal. Lha Kanjeng Nabi angon wedhus kok jubahan apik. Gile lo ndro.”
“Kanjeng Nabi berjubah kan memang pakaiannya di Arab semua berjubah. Beliau abdan Nabiyya. Nabi yang menghamba. Beliau mensejajarkan dirinya dengan orang atau rakyatnya yang pakaiannya paling buruk sehingga banyak tambalan di jubah beliau lee.” Ujar Nisito
“Kalau di Jawa mungkin Kanjeng Nabi ya bersurjan, pakai udheng, membawa keris. Makanya kanjeng Sunan Kalijaga ya begitu, niru nilai berpakaiannya Kanjeng Nabi, bukan niru pakaiannya.” Sambung Juniti
“Tapi tadi mbah Kacud bilang kalo kanjeng Nabi Muhammad orang Jawa. Kan pengawuran sejarah mbah.” Kata Culing
“Maklum Ling, mbah Kacud ndak sekolah.” Sahut Mad Fataa
“Memang secara jasad, beliau orang Arab. Namun, secara kepribadian dan karakter serta kelakuan, beliau berjiwa Jawa sehingga mbahmu Kacud menganggap beliau masih ada darah Jawa.” Kata Nisito
“Lho, kok bisa mbah ?” Culing kebingungan
“Coba, sifat kanjeng Nabi Muhammad itu bagaimana yang paling menonjol ?”
“Beliau lembut, ndak pemarah, pemaaf, dan apa lagi yaa...” jawab Mad Fataa
“Beliau adalah Al-Qur’an yang hidup.” Sahut Culing
“Wah, jawabanmu kurang kreatip. Kanjeng Nabi suka bertapa, suka ngitung-itung, suka kemenyan, suka musik, suka wetonan.” Tungkas Kacud
“Lho, lho, beneran to mbah ?”
“Ngawur sampeyan mbah !”
“Gini lee, Kanjeng Nabi kan juga melakukan bertapa atau menyendiri di tempat yang jauh dari keramaian. Atau mungkin kalian menyebutnya ya berkhalwat di Gua Hira. Akhirnya beliau mendapatkan kesejatian diri dengan diangkat menjadi Nabi dan Rasul.” Jawab Nisito
“Oiya ya mbah, beliau menyendiri 40 hari 40 malam sehingga mendapat wahyu.” Ucap Culing
“Lebih tepatnya, mendapat risalah dan nubuwah lee, bukan sekedar wahyu. Karena kalau wahyu, semua makhluk juga diwahyui oleh Gusti Allah. Wong lebah ae diberi wahyu kok, opo maneh potongan kita.” Sahut Juniti
“Kanjeng Nabi juga suka dengan perhitungan. seperti ketika beliau sakit, beliau minta air dari 7 sumur sebagai jalaran obatnya. Nah, coba kalian pikir lah, bangsa mana yang suka dengan begituan ?” tanya Nisito
Para pemuda nampak bingung ngelu dengar sebuah hal aneh yang kalo disalahkan ya kayaknya ndak salah, dibenarkan ya kok ndak ada dalam buku-buku pelajaran.
“Iya ya mbah, tak pikir-pikir juga begitu. Sifat orang Arab kan kebanyakan agak keras dengan suaranya yang lantang. Kalo saya belajar pembagian iklim ya wajar mereka berwatak keras karena iklim di sana kan ganas. Tapi kok ya Kanjeng Nabi itu berbeda, kok aluuus, kalem, santun, ngomongnya ya ndak keras tapi jelas.” Beber Arda yang dari tadi meneng tiba-tiba mulai muni.
“Wah wah, kamu kritis juga Da, kamu tau dari mana kok orang Arab keras ?”
“Kan pernah ada Sayyid atau orang sini nyebutnya Habib dari wilayah Arab ngisi pengajian, kalo ngomong ya beda dengan bangsa Jawa. Ngomongnya keras dan tidak basa basi. Kalo kita kan meskipun ngomong benar dan menyalahkan yang lain tetap memikirkan perasaan orang to mbah.”
“Joss, joss.” Kacud tiba-tiba bertepuk tangan. “Potonganmu kayak wong ngedos, tapi pikiranmu ngalah-ngalahi propesor.”
“Penampilan bukan patokan penilaian mbah. Haha”
“Tapi ya mosok Gusti Allah keliru nakdirkan kanjeng Nabi ke Arab ?” tanya Mad Fata
“Lho ya ndak lahh,, islam kui butuh penguatan akar. Makanya ditaru di Arab. Orang Arab kalo indah ya dibilang indah, kalo salah ya dibilang salah. Tegas, keras, dan kuat. Maka dinikahkan atau diperjodohkan dengan kanjeng Nabi sebagai sosok penghalus, pengasih, penyayang. Islam menjadi sebuah nilai yang lengkap dan indah dengan dasar yang kuat lee.” Ujar Nisito
“Betul itu Mad, nek ditaruh di Jawa, waah jelas ndak kuat. Disini salah ya yang ngomong salah yang dipertanyakan. Separuh bilang benar, separuh salah, wah serba dibulet-buletkan. Kemudian sifat Jawa ya manutan tanpa pikir panjang. Bahaya kalo islam turun disini, nanti jadinya kayak keyakinan lain yang punya banyak versi kitab sucinya.” Tungkas Arda sambil merem melek
“Sek sek sek. Kamu ini kerasukan jin apa kok tiba-tiba ngomong gini.” Tanya Kacud
“Lho kan, gini nih sifat Jawa. Orang benar dipertanyakan. Kalo di Arab, langsung manthuk-manthuk mbah. Huahua”
“Kampret kowe.”

SEWELASAN

AGENDA

  • MENGOLEKSI
  • BERKEGIATAN
  • NAPAK TILAS

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget