Kali ini bulan Suro, suasana
Gerdhu tiba-tiba menjadi lebih sepi. Para penghuninya pun tiba-tiba ikut-ikutan
nyepi seperti orang Hindu ketika melaksanakan upacara nyepi.
“Loh mbah, kok mbah Kacud gak
keliatan selama tiga hari ini to ?” Mad Fata muncul secara tiba-tiba
menghampiri Nisito dan Juniti serta Culing yang lagi asyik tiduran di Gerdhu.
“Mbahmu lagi meguru Mad. Biarin
aja biasanya setelah tiga hari juga muncul.” Sahut Nisito
Dari kejauhan nampak Arda yang
menghampiri keempat penghuni Gerdhu yang diberi nama Gerah (Gerdhu para
Rahwono) ini. Raut mukanya nampak kesal semakin memperburuk potongannya yang
hanya berpakaian kaus kutang serta celana bolong di dhengkulnya.
“Kenapa Da. Wajah dan pakaian
kok serasi, lecek. Haha..” Mad Fata memperhatikan wajah Arda seraya menyambut
salaman gaul dari tangannya.
“Ahh, mbuh Mad. Saya kok ya
bingung tadi pas mau beli rokok, ditegur sama ustad sebelah itu. Ndalil lagi.
Katanya pakaiannya orang Islam itu yang sopan niru kanjeng Nabi. Berjubah atau
bersarung pakek sorban, terus dzikir di masjid. Ahh lha aku beli rokok kok
jubahan.”
“Betul itu Da. Kanjeng Nabi
dulu jubahan. Kita ya minimal sarungan terus diangkat sedikit biar gak masuk
neraka.”
“Hubungane apa sarung sama
Neraka, Ling. Islam kok ya mengerikan ngunu.” Arda ndak mau kalah sama Culing
yang malah bela ustad tersebut.
“Loh kan katanya kalo sarung
kita nglembreh nanti masuk neraka. Makanya kamu ngaji jangan di Gerdhu aja.”
“Loh kamu sendiri nek sudah
mentok ngajimu yo akhire ngaji ke mbah Kacud.” Arda tidak terima. “Bukan urusan
acara ta tempat Ling, tapi dapat apa kamu waktu ngaji.”
“Wes wes, begini lho lee.
Kanjeng Nabi ndawuh ataupun melakukan sesuatu itu kita tidak boleh langsung menerima
mentah-mentah. Harus tau dimensi sosial politiknya waktu itu, kondisi
kebudayaannya, struktur manajemen berpikir masyarakatnya, wahh luas lee. Tidak
bisa di telan mentah-mentah.” Juniti mulai membuka pembicaraan.
Memang beberapa hari ini
diskusi di Gerdhu cenderung ngislami, entah karena terbawa suasana mistis bulan
Suro yang identik dengan ngumbah pusoko
bagi orang Jawa.
“Lah waktu Kanjeng Nabi ngomong
tentang pakaian yang nglembreh. Kudu
jelas itu bersifat kebendaan atau makna. Kalo kebendaan berarti kita harus tau
kondisi lingkungan Arab.” Nisito turut menyumbangkan idenya
“Di Arab kan ya gitu-gitu aja
kondisinya mbah, padang pasir tandus, banyak kurma, banyak domba.” Arda mencoba
mengidentifikasi kondisi lingkungan Arabnya.
“Nah, terus kira-kira kenapa
Kanjeng Nabi nyuruh pakaiannya diangkat?”
“Ya mungkin lho mbah ya,
mungkin.” Kata Mad Fata. “Kanjeng Nabi nyuruh kita menjaga pakaian agar tidak
kena debu yang diragukan kesuciannya, mungkin waktu angin agak kencang debunya
bercampur telethong unta. Kan najis mbah.”
“Nah berarti yang disuruh
ngangkat pakainnya apa menjaga kesuciannya ?”
“Kesucian mbah.”
“Nah, sekarang kita mencoba
dari sisi makna. Kira-kira maksud pakaian nglembreh
itu apa ?
“Apa ya mbah ?” Culing
mendongakkan wajahnya. “Mungkin tandanya berlebihan mbah. Kan kalo nglembreh
berarti pakaiannya lebih.”
“Nahh tepat. Berarti kalo
berlebihan tandanya orang yang ?”
“Sombooong.” Hampir serentak
ketiga pemuda itu menjawab Nisito
“Nah, berarti Kanjeng Nabi
nyuruh kalo pakaian biasa aja, ndak usah terlalu bagus. Ataupun meskipun
pakaiannya biasa, jangan sampai ada niat ingin menyombongkan diri.”
“Intinya.” Sahut Juniti.
“Meskipun kita lempit sarung kita tapi tujuan kita tidak seperti maksud Kanjeng
Nabi, ya salah kaprah lee.”
Ketiga pemuda tersebut
manggut-manggut seperti diceramahi kyai tapi potongan kayak wong gendheng. Tak
berselang lama, muncul sesosok orang njembling seperti busung lapar dengan mata
yang sayu mendekati mereka. Tak salah lagi, Kacud menghampiri mereka dengan
memakai baju surjan, sandal klompen, dan berjarik.
“Lo,, loo,, mbah Kacud ini mau
nikah lagi to ? Iling mbah, udah layu.” Kata Mad Fata.
“Aku baru ketemu Kanjeng Nabi.
Makanya pakai begini.”
“Loh kok ya aneh, ketemu
Kanjeng Nabi ya pakek sarung bergamis mbah. Bukan kayak mantenan.” Culing
nampak tidak terima.
“Itu kan Kanjeng Nabi
menurutmu, Kanjeng Nabiku ya begini. Wong beliau orang Jawa kok, Cuma dulu
bajunya jubah semua, makanya beliau berjubah. Coba beliau ndak disuruh ke Arab,
ya mungkin bersurjan.”
“Mbah Kacud ini tiga hari nyepi
udah sesat, tobat mbaah. Kanjeng Nabi pakaiannya jubah putih bagus, pakek
sorban.”
“Nabimu kui sopo to ? Kanjeng
Nabi Muhammad, Musailamah Al-Kadzab atau Abu Jahal ?”
“Ngawur mbah ini, ya Nabi
Muhammad.”
“Lho ya gini pakaiane Kanjeng Nabi.
Nek jubahan bagus yo Abu Jahal. Lha Kanjeng Nabi angon wedhus kok jubahan apik.
Gile lo ndro.”
“Kanjeng Nabi berjubah kan
memang pakaiannya di Arab semua berjubah. Beliau abdan Nabiyya. Nabi yang
menghamba. Beliau mensejajarkan dirinya dengan orang atau rakyatnya yang
pakaiannya paling buruk sehingga banyak tambalan di jubah beliau lee.” Ujar
Nisito
“Kalau di Jawa mungkin Kanjeng
Nabi ya bersurjan, pakai udheng, membawa keris. Makanya kanjeng Sunan Kalijaga
ya begitu, niru nilai berpakaiannya Kanjeng Nabi, bukan niru pakaiannya.”
Sambung Juniti
“Tapi tadi mbah Kacud bilang
kalo kanjeng Nabi Muhammad orang Jawa. Kan pengawuran sejarah mbah.” Kata
Culing
“Maklum Ling, mbah Kacud ndak
sekolah.” Sahut Mad Fataa
“Memang secara jasad, beliau
orang Arab. Namun, secara kepribadian dan karakter serta kelakuan, beliau
berjiwa Jawa sehingga mbahmu Kacud menganggap beliau masih ada darah Jawa.”
Kata Nisito
“Lho, kok bisa mbah ?” Culing
kebingungan
“Coba, sifat kanjeng Nabi
Muhammad itu bagaimana yang paling menonjol ?”
“Beliau lembut, ndak pemarah,
pemaaf, dan apa lagi yaa...” jawab Mad Fataa
“Beliau adalah Al-Qur’an yang
hidup.” Sahut Culing
“Wah, jawabanmu kurang kreatip.
Kanjeng Nabi suka bertapa, suka ngitung-itung, suka kemenyan, suka musik, suka
wetonan.” Tungkas Kacud
“Lho, lho, beneran to mbah ?”
“Ngawur sampeyan mbah !”
“Gini lee, Kanjeng Nabi kan
juga melakukan bertapa atau menyendiri di tempat yang jauh dari keramaian. Atau
mungkin kalian menyebutnya ya berkhalwat di Gua Hira. Akhirnya beliau
mendapatkan kesejatian diri dengan diangkat menjadi Nabi dan Rasul.” Jawab
Nisito
“Oiya ya mbah, beliau
menyendiri 40 hari 40 malam sehingga mendapat wahyu.” Ucap Culing
“Lebih tepatnya, mendapat
risalah dan nubuwah lee, bukan sekedar wahyu. Karena kalau wahyu, semua makhluk
juga diwahyui oleh Gusti Allah. Wong lebah ae diberi wahyu kok, opo maneh
potongan kita.” Sahut Juniti
“Kanjeng Nabi juga suka dengan
perhitungan. seperti ketika beliau sakit, beliau minta air dari 7 sumur sebagai
jalaran obatnya. Nah, coba kalian pikir lah, bangsa mana yang suka dengan
begituan ?” tanya Nisito
Para pemuda nampak bingung ngelu
dengar sebuah hal aneh yang kalo disalahkan ya kayaknya ndak salah, dibenarkan
ya kok ndak ada dalam buku-buku pelajaran.
“Iya ya mbah, tak pikir-pikir juga
begitu. Sifat orang Arab kan kebanyakan agak keras dengan suaranya yang
lantang. Kalo saya belajar pembagian iklim ya wajar mereka berwatak keras
karena iklim di sana kan ganas. Tapi kok ya Kanjeng Nabi itu berbeda, kok
aluuus, kalem, santun, ngomongnya ya ndak keras tapi jelas.” Beber Arda yang
dari tadi meneng tiba-tiba mulai muni.
“Wah wah, kamu kritis juga Da,
kamu tau dari mana kok orang Arab keras ?”
“Kan pernah ada Sayyid atau
orang sini nyebutnya Habib dari wilayah Arab ngisi pengajian, kalo ngomong ya
beda dengan bangsa Jawa. Ngomongnya keras dan tidak basa basi. Kalo kita kan
meskipun ngomong benar dan menyalahkan yang lain tetap memikirkan perasaan orang
to mbah.”
“Joss, joss.” Kacud tiba-tiba
bertepuk tangan. “Potonganmu kayak wong ngedos, tapi pikiranmu ngalah-ngalahi
propesor.”
“Penampilan bukan patokan
penilaian mbah. Haha”
“Tapi ya mosok Gusti Allah
keliru nakdirkan kanjeng Nabi ke Arab ?” tanya Mad Fata
“Lho ya ndak lahh,, islam kui
butuh penguatan akar. Makanya ditaru di Arab. Orang Arab kalo indah ya dibilang
indah, kalo salah ya dibilang salah. Tegas, keras, dan kuat. Maka dinikahkan
atau diperjodohkan dengan kanjeng Nabi sebagai sosok penghalus, pengasih,
penyayang. Islam menjadi sebuah nilai yang lengkap dan indah dengan dasar yang
kuat lee.” Ujar Nisito
“Betul itu Mad, nek ditaruh di
Jawa, waah jelas ndak kuat. Disini salah ya yang ngomong salah yang
dipertanyakan. Separuh bilang benar, separuh salah, wah serba dibulet-buletkan.
Kemudian sifat Jawa ya manutan tanpa pikir panjang. Bahaya kalo islam turun
disini, nanti jadinya kayak keyakinan lain yang punya banyak versi kitab
sucinya.” Tungkas Arda sambil merem melek
“Sek sek sek. Kamu ini kerasukan
jin apa kok tiba-tiba ngomong gini.” Tanya Kacud
“Lho kan, gini nih sifat Jawa.
Orang benar dipertanyakan. Kalo di Arab, langsung manthuk-manthuk mbah. Huahua”
“Kampret kowe.”