Penelusuran ekspedisi sejarah Benjeng sebagai wilayah
Majapahitan memang tidak sekedar sebuah dongeng. Ekspedisi kami menuju sebuah
wilayah yang konon berdasarkan penuturan warga setempat terdapat sebuah
bangunan kuna yang terpendam. Daerah tersebut berada di luar dusun Munggusoyi Benjeng.
Tepatnya sekitar 100 meter dari perkampungan dan sekarang terletak di area
persawahan.
Ketika tiba disana, kami disambut oleh salah seorang
warga yang memang merawat tempat tersebut yang oleh warga disebut sebagai
Njedhing. Setelah mendengar beberapa cerita dari warga itu, kami memohon izin
untuk melakukan penggalian situs (bahasa kerennya itu ekskavasi) dan
penelitian. Ternyta tak hanya difasilitasi tempat, kami juga diberi alat untuk
membantu penelitian.
Langsung saja kami membersihkan tempat yang terletak
di tengah sawah dengan luas sekitar 5x3 meter. Tempat tersebut memang diberi
cungkup dan terlihat ada beberapa masyarakat yang mengunjunginya karena
terdapat bekas kembang di area cungkup tersebut. Pada tahap pembersihan, di
area tersebut memang sudah banyak terdapat bata kuna yang menumpuk berserakan.
Kemudian kami mencoba menggali lebih dalam dan memang tidak ditemukan bata utuh
alias semuanya sudah patah.
Berdasarkan penuturan mantan kepala dusun, dahulu
tempat ini bekas bangunan yang besar. Pada sekitar tahun 1970an ketika ada
pembangunan masjid dusun, maka warga kemudian membawa bata-bata di wilayah itu
sebagai bangunan masjid. Kemungkinan besar karena ukuran bata di Njedhing yang
besar dan lebar, maka warga kemudian memotongnya menjadi dua. Maka tidak heran
jika yang ditemukan semua merupakan bekas dari pengambilan dahulu dan semua
terpotong.
Ciri khas bata tersebut terlihat lebih besar dengan
perbandingan yang kami lihat di daerah Kemlagi. Penelusuran candi di Kemlagi
yang digali oleh BPCB memperlihatkan sebuah bata yang lebih tipis dibandingkan
dengan bata di daerah Munggusoyi.
Berdasarkan keterangan Bapak Hariri dari BPCB bagian
Arkeologi, bata yang lebih kecil mengindikasikan bahwa bangunan candi tersebut
berasal pada masa awal Majapahit (1400an M), sedangkan bata yang lebih besar
mengindikasikan pada masa Majapahit akhir. Jika dilihat dari model dan cap yang
ada di cetakan bata, bata di Munggusoyi dengan yang ada di Kemlagi terlihat
sama. Karena di Munggusoyi lebih besar dan tebal, maka diidentifikasi bahwa
bangunan tersebut berasal dari masa Majapahit akhir.
Untuk kepastian bangunan tersebut apakah sebuah candi
atau gapura, memang harus perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Namun,
dilihat dari geografi wilayah pada tahun awal kemerdekaan, daerah Njedhing
tersebut sangat memenuhi syarat sebagai wilayah yang dikatakan candi. Letak
dari Njedhing bersebelahan dengan sebuah kali kecil dan dahulu berdasarkan
sumber Kretek Desa bernama Kali Tjandi.
Berdasarkan cerita warga yang memiliki sawah di
sekitar Njedhing, dibawah area sawah mereka merupakan sebuah tumpukan bata yang
berjajar rapi dan masih utuh. Hal itulah yang menyebabkan mereka tidak membajak
sawah begitu dalam setelah panen karena kuatir bercampur dengan bata di
bawahnya. Adapun luasnya hampir seluas sawah yang diatasnya sehingga sekitar
setengah hektar.
Penghuni dari Njedhing menurut beberapa wong pinter, merupakan sosok perempuan
yang cantik. Pernah ada cerita ketika ada preman sawah yang ahli beladiri
menginap di daerah Njedhing, beliau ingin memecah bata di daerah Njedhing.
Secara umum, sudah jelas memecah bata bertumpuk-tumpuk adalah hal yang mudah
bagi yang ahli beladiri. Namun, setelah berusaha mencoba, tak satupun bata
berhasil dipatahkan. Tak hanya gagal memecah bata, beliau juga diimpeni oleh danyang Njedhing sehingga
pulang dan tak meneruskan pekerjaannya.
Konon berdasarkan cerita yang merawat Njedhing, ketika
ada warga hendak bepergian ataupun mengadakan selamatan, maka sebaiknya juga
pamit kepada Mbah Njedhing. Seperti kebanyakan di desa lain, ketika mengadakan
selamatan maka sebaiknya pamit kepada danyang desa. Jika dikaitkan dengan
kesopanan, maka memang seharusnya sebelum kita mengadakan acara, kita jangan
sampai lupa kepada para leluhur wilayah yang telah berjasa lebih dulu dalam
kesejahteraan desa. Dalam islam dikenal dengan berwasilah atau tawasul yaitu
dengan mengingat para leluhur yang berjasa dalam kehidupan. Sampai sekarang,
ketika akan bepergian semisal akan berziarah ke Wali, maka terlebih dahulu
sowan ke Njedhing sebagai perwujudan tata krama yang luhur bagi masyarakat
Jawa.
Proses penggalian kami hanya sampai sebatas penelitian
terhadap bata yang ditemukan, tidak sampai menggali lebih jauh karena selain
memakan waktu, tenaga, biaya, juga tidak ikut punya tanah. Masak sawah orang di
jag-jag (dirusak) kan kasian mereka makan apa. Setidaknya upaya dokumentasi
lebih dahulu dilakukan.