Senin, 17 April 2017



Empat kapal Belanda membuang sauh di Pantai Bandar Aceh. Tak lama kemudian juru bahasa Belanda, Said Tahir menghadap Sultan Alaudin Mahmud Syah, untuk menyampaikan surat dari Komisaris FN Nieuewenhuysen. Isi surat sangat mengejutkan karena Sultan Aceh diminta mengakui kedaulatan Hindia Belanda. Tentu saja, Sultan menolaknya. Surat-surat berikutnya juga dijawab dengan tegas bahwa Aceh menolak mengakui kedaulatan Hindia Belanda.
Empat hari kemudian, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh. Dengan demikian, Belanda telah melanggar perjanjian dengan Inggris dalam Traktat London yang menyebutkan bahwa Belanda dilarang mengganggu kemerdekaan Aceh.
Pada serangan pertama, Belanda mengerahkan 3.000 tentara yang dipimpin oleh Jenderal Kohler. Dalam serangan ini, Kohler berhasil ditembak mati.
Pada 1874, serangan kedua Belanda mengerahkan 8.000 tentara. Letjen J. van Swieten mengumumkan telah menguasai Banda Aceh. Namun, kenyataannya, rakyat Aceh terus melancarkan perlawanan hingga tahun 1904.
Perang Aceh (1873-1904) menjadi perang terlama, terkuat, dan terbesar yang dihadapi Belanda, karena rakyat Aceh didorong oleh motivasi keagamaan melawan kaphee (kafir) yang dikenal sebagai Perang Sabil.
Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Vol I, Perang Aceh menelan banyak sekali biaya dan nyawa. Di pihak Aceh, empat persen penduduknya atau 70.000 orang tewas. Di pihak Belanda 35.000 serdadu KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) tewas. Mereka yang menderita luka-luka seluruhnya satu juta orang.
Repost from https://www.facebook.com/notes/deddy-endarto/lambang-kerajaan-majapahit-wilwatikta/1872877156268581/
Selama saya menelusuri sejarah Kerajaan Majapahit (WILWATIKTA), telah menemukan beberapa bentuk "Lambang Negara" yang dipakai secara resmi oleh Kerajaan Majapahit (WILWATIKTA). Hal tersebut terekam dalam beberapa dokumen kenegaraan (diplomatik) yang ditujukan kepada negara lain, ataupun peninggalan artefak arkeologis berupa : ornamen bangunan, nisan dan lainnya.
Saya menemukan 7 (TUJUH) bentuk Lambang Negara yang mewakili beberapa era pemerintahan tertentu di Majapahit (WILWATIKTA). Saya kira hal ini juga ditemui para saudara-saudara pecinta sejarah dan kebudayaan yang merunut kembali perjalanan sejarah Majapahit (WILWATIKTA).
Secara umum ada 4 (EMPAT) Lambang Negara yang dipakai Kerajaan Majapahit (WILWATIKTA) ketika didirikan hingga masa kemundurannya dengan ibukota di WILWATIKTAPURA (Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur). 1 (SATU) Lambang Negara yang dipakai pada saat ibukota Majapahit dipindahkan ke DAHANAPURA (Kediri, Jawa Timur), setelah mengalami perpecahan internal dalam tubuh SAPTAPRABHU ri WILWATIKTA (7 Dewan Raja Pengambil Keputusan di WILWATIKTA). 2 (DUA) Lambang Negara yang dipakai dalam masa pengungsian akibat serangan Kerajaan Demak Bintara, 1 (SATU) dipakai oleh pelarian yang mengarah ke Barat (Wilayah : Wengker (Ponorogo - Pacitan, Mataram, Pengging dan Gunung Lawu), sedang 1 (SATU) lainnya dipakai pelarian yang kearah Timur (Wilayah : Tengger-Bromo, Lumajang, Blambangan hingga Bali).
Saya akan membahas 4 (EMPAT) Lambang Negara Kerajaan Majapahit (WILWATIKTA) ketika masih beribukota di WILWATIKTAPURA (Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur). Asumsi saya karena di masa itu sajalah kita secara keilmuan mengakui keberadaan suatu negara yang berdaulat dan mempunyai wilayah kekuasaan yang diakui juga oleh negara lain. Lambang ke-5 hingga ke-7 walaupun digunakan sebagai identitas Kerajaan Majapahit (WILWATIKTA) saya rasa kurang pada tempatnya, karena telah bergeser ruh kenegaraannya baik pada fase kemunduran di Kediri maupun masa pelarian di lokasi lainnya (kurangnya pengakuan kedaulatan dari negara lain).
Yang menarik walaupun bentuk lambang dan ibukotanya sudah berubah, leluhur di Majapahit (WILWATIKTA) menamakannya sama : "SURYA WILWATIKTA" (Matahari WILWATIKTA). Walau pada saat ini banyak orang dan ahli sejarah menamakannya dengan SURYA MAJAPAHIT. Tetapi eksistensinya adalah sama, sistim pemerintahan di Majapahit (WILWATIKTA) yang mengacu pada poros utama atau matahari atau mandala.

1. Lambang Ke-1 :
SURYA WILWATIKTA yang dibuat masa pemerintahan SRI MAHARAJA KERTARAJASA JAYAWARDHANA (Raden Wijaya), secara umum berbentuk matahari yang memancarkan sinarnya dengan sempurna ke segala arah (banyak sudut arahnya), dan ditengahnya ada ornamen Dewa SYIWA berbusana perang menunggang kuda. Filosofi lambang ini sangat kental dengan pengaruh agama SYIWA-BUDHA dalam transisi kerajaan SINGHASARI ke kerajaan MAJAPAHIT. Mertua beliau yang merupakan raja terakhir SINGHASARI : SRI MAHARAJA KERTANEGARA juga mengklaim dirinya adalah titisan SYIWA seperti halnya leluhur pendahulunya (KEN AROK). Pada masa itu penguasa puncak atau raja digelari sebagai SYIWA GIRINDRA atau Dewa SYIWA yang menitis kedunia guna membasmi keangkara murkaan guna menyelamatkan dunia.
Pemakaian lambang ini sangat terkesan heroik, bila kita hubungkan dengan sejarah pelarian Raden WIJAYA ke Madura, pertempuran dengan Raja JAYAKATWANG hingga pengusiran tentara TARTAR. Semua dilalui dengan pertempuran hebat dan diakhiri dengan kemenangan yang gemilang. Sama dengan bentuk lambang tersebut, Dewa SYIWA yang perkasa di medan tempur dan menyinarkan cahaya kemenangan. Sama pula dengan lambang itu, dimana Dewa SYIWA sebagai tokoh TUNGGAL dengan peran Raden WIJAYA yang bertindak sebagai tokoh SENTRAL dan berperan TUNGGAL (Monarchi Absoulute), walaupun disekelilingnya banyak kaum bangsawan dan ksatrya yang sesungguhnya mempunyai kedudukan sama dan bahkan ada yang lebih tinggi. Semua sistem dimainkan secara SENTRAL KETOKOHAN, walau untuk itu harus ditebus sangat mahal dalam pemberontakan RANGGALAWE (ARYA ADIKARA) - Adipati Tuban sahabat sekaligus adik angkatnya (RANGGALAWE adalah putra dari ARYA BANYAK WIDE - Adipati di Sumenep, Madura, merupakan pelindung utama Raden WIJAYA ketika mengungsi di Madura. Setelah sukses menjadi raja, ARYA BANYAK WIDE di anugrahi nama ARYA WIRARAJA = Bangsawan Pembela Raja, dan putranya ARYA RANGGALAWE dianugrahi nama ARYA ADIKARA = Bangsawan Adik dari Raja, karena saat mengungsi mereka saling mengangkat diri menjadi saudara). Disusul dengan pemberontakan lainnya SORA. Lambang ini juga dipakai raja kedua SRI SUNDARAPANDYADEWA ADHISWARA (Dyah Jayanegara), dimasanya juga banyak sekali pemberontakan : KUTI, NAMBI, GAJAH ENGGON dan banyak lagi. Asumsi saya lambang Dewa SYIWA yang menggunakan busana perang itu lah penyebabnya, mengendalikan alam bawah sadar pemimpin sentral mencapai kesuksesan dengan cara berperang terlebih dahulu.

2. Lambang Ke-2 :
SURYA WILWATIKTA yang dibuat masa pemerintahan Rani Ke-3 : SRI TRIBHUWANATUNGGADEWI MAHARAJASA JAYAWISNUWARDHANI (Dyah Gitarja). Menyadari sejarah kelam pemberontakan di era kepemimpinan kakaknya, maka beliau merombak total sistem kenegaraan yang ada. Beliau mengadopsi pemikiran kakeknya (Raja SINGHASARI : SRI MAHARAJA KERTANEGARA), dibantu para bibi sekaligus ibunya (4 putri SRI KERTANEGARA dikawin oleh Raden WIJAYA) merumuskan arah baru dari kebijakan politis negara. Menyadari sekalipun darah raja mengalir kental dalam tubuhnya akan tetapi beliau menyadari seorang wanita, pertikaian kekuasaan yang pernah terjadi di era SINGHASARI antara putri dari prameswari dan putra dari selir juga menjadi pertimbangan utama. Di era inilah kali pertama sebuah kekuasaan dibagi secara merata dan berporos pada poros utama (semacam negara Konfederasi), ibukota negara dianggap pusat yang paling berkuasa dikawal oleh para raja bawahan yang juga kerabatnya.
Wilayah bawahan utama ini dipimpin oleh raja bawahan bergelar BHRE (baik pria atau wanita menyandang gelar ini) sejumlah 6 (ENAM) orang. Ditambahkan dengan 2 (DUA) orang mewakili pondasi negara (golongan senopati perang utama yang mengasingkan diri (tidak mau terlibat atau digunakan dalam pertikaian keluarga), mereka hanya turun gunung bila negara membutuhkan dan bangsawan yang mengasingkan diri karena menjaga ajaran agama dan melahirkan pemikiran ketata negaraan). Pemikiran konteks keagamaan mewarnai sistem bentukan baru ini, tidak lepas dari peran Maha Rsi MAUDARA yang mengangkat ajaran NAWA SANGA (Sembilan Dewa Hindu penguasa ARAH). Maka saat itu dikenal adanya SAPTAPRABHU ri WILWATIKTA (7 Raja Pengendali pemerintahan, 1 Raja di pusat dan 6 Raja bawahan), sedangkan 2 penguasa lainnya berperan sebagai katalisator kebijakan yang mempunyai hak veto terhadap keputusan SAPTAPRABHU.
Ploting ini sempat dipakai dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu adanya FRAKSI ABRI dan UTUSAN DAERAH. Fraksi ABRI punya hak veto bila suatu keputusan politis bisa dianggap membahayakan keselamatan negara, sedangkan UTUSAN DAERAH punya hak veto bila kebijaksanaan pemerintah pusat tidak sesuai dengan kondisi dan kebijakan daerah, tapi di era Presiden SUHARTO sistem ini dimandulkan, dengan memilih anggota Fraksi ABRI dari golongan tertentu dan mengisi UTUSAN DAERAH justru dari istri-istri para pejabat bukannya tokoh adat dan agama. Sistemnya sudah seiring tapi pelakunya dimanipulasi ..... itulah sejarah, JANGAN DIULANG !!!
Kekuatan bersenjata yang tertimbun satu dekade kekuatannya paska perang pendirian kerajaan sering kali terlibat pemberontakan pada jaman raja ke-2, di masa ini bukannya di netralisir tetapi malah dibina dan dikembangkan menjadi jauh lebih besar. Hal ini disebabkan energi tempur itu disalurkan dengan cara yang benar guna melakukan ekspedisi penyatuan nusantara seperti pemikiran SRI MAHARAJA KERTANEGARA yang sempat tertunda akibat runtuhnya SINGHASARI dan lahirnya MAJAPAHIT. Sehingga Lambang Negara Ke-2 inilah yang banyak tersebar diseluruh nusantara dan mancanegara sebagai lambang Majapahit (WILWATIKTA). Lambang 8 Dewa yang setingkat menguasai arah dan berporos kepada Dewa SYIWA sebagai penentu utama, sinar matahari diubah hanya bersudut delapan sesuai arah mata angin. Arah Utara-Timur-Selatan-Barat mempunyai sinaran lebih pendek mempunyai arti raja penguasa arah tersebut (ditinjau dari pusat ibukota) difungsikan sebagai penyangga kekuatan ibukota (kebijakan dalam negeri), sedangkan 4 raja dengan arah lainnya mempunyai sinaran lebih panjang sebagai arah raja yang mengelola manajemen logistik ekspedisi penyatuan nusantara dan perdagangan (kebijakan luar negeri). Pada masa inilah Majapahit (WILWATIKTA) mencapai masa keemasannya, konsistensi, kerja keras, manajemen tingkat tinggi dan soliditas kepemimpinan yang disebar merata lah kunci utamanya. Lambang ini dipakai oleh 3 (TIGA) orang raja/ratu yaitu : Rani Ke-3 SRI TRIBHUWANATUNGGADEWI MAHARAJASA JAYAWISNUWARDHANI (Dyah Gitarja); Raja Ke-4 SRI TIKTAWILWA NAGARESWARA SRI RAJASANAGARA (Dyah Hayamwuruk); Ratu Ke-5 SRI KUSUMAWARDHANI (Bhre Kabalan) hanya berkuasa 8 bulan, dan kekuasaan diberikan kepada suaminya yang menjadi raja ke-6; dan Raja Ke-6 SRI WIKRAMAWARDHANA (Bhre Mataram).

3. Lambang Ke-3 :
SURYA WILWATIKTA yang dibuat paska / setelah perang PAREGREG, yaitu perang saudara antara menantu Dyah Hayamwuruk Sri Rajasanagara : SRI WIKRAMAWARDHANA (Bhre Mataram) dengan putranya dari selir : BHRE WIRABHUMI. Sebetulnya tahta pemerintahan diserahkan kepada putri Hayamwuruk : SRI KUSUMAWARDHANI (kami mengakuinya sebagai raja / rani ke-5, tetapi banyak sejarahwan melewatinya dan langsung menganggap raja berikutnya adalah SRI WIKRAMAWARDHANA). Ditengah masa pemerintahannya SRI KUSUMAWARDHANI yang putri dari prameswari digugat oleh saudara lelakinya yang turun dari putra selir : BHRE WIRABHUMI. Yang merasa dirinya turun dari "Pancer Laki", tetapi semua keluarga besar yang tergabung dalam “Sapta Prabhu ri Wilwatikta” mempertahankannya, karena patern yang dipakai Majapahit saat itu adalah RAJASA Wangsa. Dan darah Rajasa mengalir kental ditubuhnya, ayahnya dan ibunya adalah saudara sepupu ..... garis trah yang tak terbantahkan. Karena saudara tirinya merongrong lewat beberapa pemberontakan dan menurunkan wibawa negara, akhirnya kekuasaan diserahkan kepada suaminya atas persetujuan Sapta Prabhu ri Wilwatikta. Dengan dasar masih adanya hubungan darah (Sri Wikramawardhana adalah saudara sepupu Sri Kusumawardhani dari bibinya Dyah Nirttaja atau Bhre Pajang), mempunyai ilmu pemerintahan yang bagus dan pandai olah kaprawiran. Sehingga upaya kudeta dari Bhre Wirabhumi dihadapinya dengan berani atas dukungan seluruh keluarga besar Majapahit.
Perang ini berjalan lama dan menimbulkan banyak LUKA didalam keluarga. Akhir kata SRI WIKRAMAWARDHANA (Bhre Mataram) dapat memenangkan perang Paregreg dan resmi diangkat menjadi raja Majapahit berikutnya. Tetapi keluarga dari Bhre Wirabhumi memprotes hebat, karena Wikramawardhana walaupun berdarah Rajasa bukan turunan langsung pendiri Majapahit (Sang Rama Wijaya). Karena kakeknya Wijayarajasa atau Bhre Wengker adalah pancer laki dari luar trah utama (neneknya yang putri dari Raden Wijaya). Hal tersebut menjadi pertimbangan mendalam dalam sistem pemerintahan kolektif di Majapahit, sehingga diputuskan mulai saat itu Majapahit tidak lagi menggunakan rajakula RAJASA WANGSA (anak keturunan Sang Rajasa) tetapi menggantinya dengan rajakula WIJAYA WANGSA (anak keturunan Sang Rama Wijaya), seharusnya beliau inilah pemakai pertama gelaran BRAWIJAYA (walau hal ini masih jadi perdebatan diantara para ahli karena tidak adanya dokumen resmi negara yang merujuk rajakula baru ini, tetapi dikenal luas justru oleh cerita rakyat dan babad). Beliau menunjukkan kearifannya dengan melakukan rekonsiliasi dengan keluarga Bhre Wirabhumi, dengan menempatkan keluarganya sebagai salah satu raja bawahan penentu kebijakan dan menambahkan pula keluarga asalnya. Hal ini membuat Majapahit tidak lagi bergantung pada 7 Raja dan 2 elemen, tetapi menjadi 9 Raja dan 2 elemen. Karenanya lambang negara dirubah menjadi matahari bersinar 10 (8 Raja bawahan dan 2 elemen) yang keputusan utamanya diwakili Raja Utama di pusat pemerintahan. Karena beliau bukan "Treseping Madu Trahing Kusumo" maka elemen dewa tidak bisa digambarkan mewakilinya, maka gambaran dewa dihilangkan dan diganti lambang kekuasaan utama "WILWATIKTA Jayati" (Wilwatikta yang berjaya) ditengah poros lingkarannya. Lambang ini tetap dipakai oleh Raja/Rani WILWATIKTA (Majapahit) berikutnya : Rani ke-7 SRI PRABHU STRI SUHITA.

4. Lambang Ke-4 :
Adalah Surya WILWATIKTA yang dibuat setelah era pemerintahan SRI PRABHU STRI SUHITA, yaitu : Raja ke-8 SRI KERTAWIJAYA (Bhre Tumapel) beliau adalah adik tiri dari penguasa sebelumnya. Ini jelas menambah kompleksitas kekuasaan di dalam keluarga yang ada, karena semakin menjauhkan eksistensi dari dinasti RAJASA sebagai pondasi awal kerajaan ini. Seperti diketahui dalam kitab : NEGARAKRETAGAMA dan PARARATON, perkawinan penerus dinasti RAJASA : SRI KUSUMAWARDHANI (Puteri Dyah Hayamwuruk) dengan SRI WIKRAMAWARDHANA : HYANG WEKAS ING SUKHA meninggal diusia anak-anak, sehingga kekuasaan justru turun kepada putrinya dari istri selir : SRI PRABHU STRI SUHITA.
Permasalahan kembali terjadi dimana sang Rani juga tidak mempunyai keturunan (diriwayatkan hanya mengambil putra angkat), sehingga kekuasaan di alihkan kepada saudara tirinya : SRI KERTAWIJAYA (Bhre Tumapel) yang juga putra selir dari SRI WIKRAMAWARDHANA (ibu yang berbeda dengan SRI PRABHU STRI SUHITA). Beliau inilah yang di cerita legenda masyarakat dan Babad Tanah Jawi dikenal bergelar sebagai BRAWIJAYA Ke-1.
Tentunya ini merubah peta politik keluarga berpengaruh di dalam Kerajaan WILWATIKTA (Majapahit), sehingga lambang negara dirubah menjadi SURYA WILWATIKTA yang mempunyai 16 (enam belas) sinar mewakili : 8 keluarga dinasti RAJASA pada lingkaran bagian dalam dan 8 keluarga dinasti BRAWIJAYA pada lingkaran bagian luarnya. Lambang ini dipakai sampai Raja WILWATIKTA terakhir yang berkuasa atas ibukota ASTAWULAN / TROWULAN yaitu : RajaKe-12 BHRE KERTABHUMI. Dimana kekuasaanya yang melemah karena adanya bencana yang mengepung ibukota berupa luapan gunung lumpur yang terjadi secara secara bersamaan di sisi barat (Gunung Anyar di Jombang) dan di sisi timur dekat wilayah Watukosek saat ini telah mengisolasi ibukota. Lemahnya koordinasi dengan negara bawahan dan korupsi yang menggerogoti negara, ditambah pertikaian antara kerabat akibat diserahkannya pengelolaan beberapa pelabuhan besar Majapahit kepada kerabat selir sang raja yang merupakan orang asing.
Kondisi buruk itu menyebabkan kerabatnya sendiri BHRE DAHA / KELING : SRI GIRINDRAWARDHANA DYAH RANAWIJAYA turun gunung mengambil alih kekuasaan raja pusat. Usahanya tersebut berhasil tetapi mendapat gempuran balasan dari putra BHRE KERTABHUMI : Raden PATAH adipati wilayah Demak Bintara. Sempat terjadi hegemoni kekuasaan antar keduanya, sehingga diputuskan ibukota Majapahit atas berbagai pertimbangan (adanya bencana geologis di sekitar TROWULAN dan gempuran Demak) dipindahkan ke daerah Kediri atau saat itu dikenal sebagai DAHANAPURA / DAHA yang berlokasi lebih tinggi. Maka berakhirlah kisah Kerajaan WILWATIKTA (Majapahit) di Trowulan, karena dengan dipindahnya ibukota negara ke DAHA (walaupun juga memakai lambang SURYA WILWATIKTA yang kemudian dimodifikasi pula), saya menganggap telah hilang ruh kenegaraannya. Di istana Majapahit Dhaha sempat melahirkan 2 orang raja dan kemudian mengalami keruntuhan akibat serangan Kerajaan Demak Bintara yang dipimpin Sultan Trenggana (cucu dari Raden PATAH) pada tahun 1527.
Saat ini kita memahami bahwa sistem kalender tradisional di tanah Jawa telah berlaku baku setelah adanya peleburan sistem kalender Jawa dan Islam yang dilakukan Raja Mataram Islam : Sultan Agung Hanyakrawati. Dan sejak saat itulah masyarakat tradisional Jawa memakainya sebagai pedoman dalam berkegiatan disegala peri kehidupan.
Akan tetapi dibelakangan hari terdapat beberapa perhitungan yang dirasakan “LEPAS atau TIDAK SESUAI” terhadap peredaran musim baik makrokosmos maupun mikrokosmos nya bagi peri kehidupan di Nusantara. Banyak kejadian dikatakan sebagai “SALAH MUSIM” dan sebagainya, yang menurut pemahaman saya adalah konsekwensi logis dari “suatu pemaksaan sistem kalender peradaban lain atas tanah Nusantara”.
Ini harus dipahami sebagai ilmu pengetahuan murni dan “jangan dipahami sebagai unsur keagamaan tertentu”. Bahwa sistem Kalender Jawa dibuat berdasarkan hasil pengamatan komunitas adat Jawa dalam waktu lama akan pengaruh semesta di lokasi mereka hidup (tanah Nusantara), yang kemudian dibukukan yang kita kenal sebagai primbon pranatamangsa. Demikian juga dengan peradaban lain yang mempunyai sistem kalender, mereka menciptakannya dengan akurasi tinggi hanya bila digunakan pada lokasi asli dimana sistem kalender tersebut ditemukan (misal : sistem kalender Saka India, Hijriyah Muslim dan Masehi Nasrani).

Sebagai perbandingan dalam telaah sistem kalender, maka kita ambil studi kasus atas peleburan sistem oleh Sultan Agung Hanyakrawati atas kalender Jawa dan Arab sebagai berikut berdasarkan “Serat Ajidarma - Ajinirmala” :
Nama 7 HARI (Saptawara) Sistem Kalender Jawa : 1. Radité = Akad (Minggu) / 2. Soma = Isnan (Senin) / 3. Anggara = Salasa (Selasa) / 4. Buddha = Rabo (Rabu) / 5. Rĕspati = Kamis / 6. Sukra = Jumungah (Jum’at) / 7. Tumpak = Sabtu.
Nama 5 PASARAN (Pancawara) Sistem Kalender Jawa : 1. Lĕgi = Manis / 2. Pahing / 3. Pon / 4. Cĕmĕngan = Wagé / 5. Kasih = Kaliwon.
Nama 12 BULAN Sistem Kalender Jawa : 1. Karttika / 2. Pusa / 3. Manggasari / 4. Sitra / 5. Manggakala / 6. Naya / 7. Palguna / 8. Wisaka / 9. Jita / 10. Srawana / 11. Padrawana / 12. Asuji.
Nama 12 BULAN Sistem Kalender Arab : 1. Sura = Muharram / 2. Sapar = Shafar / 3. Mulud = Rabiulawal / 4. Rabingulakir = Bakda Mulud / 5. Jumadilawal = Jumadilawal / 6. Jumadilakir = Jumadilakir / 7. Rajab = Rajab / 8. Ruwah = Sya’ban / 9. Pasa = Ramadan / 10. Sawal = Syawal / 11. Dulkangidah = Dulkaidah / 12. Besar = Zulhijjah.
Nama 60 TAHUN JAWA Sistem Kalender Jawa : 1. Sambrama / 2. Biswawisu / 3. Kalayudi / 4. Kalakandha / 5. Rahutri / 6. Dumdumi / 7. Triyoddhari / 8. Tisimuka / 9. Dinakara / 10. Sujarha / 11. Saddhamuka / 12. Saddhaksaddha / 13. Jagalogĕna / 14. Kilaka / 15. Prapawa / 16. Iwa / 17. Cukila / 18. Pramududa / 19. Prasudpadi / 20. Anggila / 21. Istrimuka / 22. Pawa / 23. Iwa / 24. Tadu / 25. Iswara / 26. Wakdaniya / 27. Pramadi / 28. Wikrama / 29. Wila / 30. Sitrapanu / 31. Supanu / 32. Taruna / 33. Partipa / 34. Wiya / 35. Sarwasitti / 36. Sarwaddhari / 37. Wirodi / 38. Wikuraddhi / 39. Karĕha / 40. Nantĕna / 41. Wijaya / 42. Jaywaha / 43. Manmata / 44. Tunmuki / 45. Yiwolambi / 46. Wulambi / 47. Wikari / 48. Sarwari / 49. Pilapawa / 50. Subakartti / 51. Sabakartti / 52. Aciya / 53. Ananda / 54. Rancata / 55. Pinggala / 56. Nala / 57. Pilawangga / 58. Umiya / 59. Saddharuna / 60. Rudraksa.
Nama 8 TAHUN ARAB Sistem Kalender Arab : 1. Alip / 2. Ehé / 3. Jimawan / 4. Jé / 5. Dal / 6. Bé / 7. Wawu / 8. Jimakir.
Dari data diatas terjadi perbedaan cukup mencolok, dimana Windu Jawa tersusun dari 60 Tahun Jawa, sedangkan Windu Arab tersusun dari 8 Tahun Arab.
Nama 10 WINDU JAWA Sistem Kalender Jawa : 1. Windu Ancara (Windu Antaru atau Antaro) / 2. Windu Manila / 3. Windu Sangara / 4. Windu Mukka / 5. Windu Mangkara / 6. Windu Sangsara / 7. Windu Kawanda / 8. Windu Tirtta / 9. Windu Sĕta (Windu Sĕtu) / 10. Windu Baya.
Nama 4 WINDU ARAB Sistem Kalender Arab : 1. Adi / 2. Sĕngara / 3. Kunthara / 4. Sancaya
PRANATAMANGSA JAWA Sistem Kalender Jawa : 1. Kasa = Çrawana (Srawana) / 2. Karo = Bhadra (Padrawana) / 3. Katĕlu = Asuji (Asuji) / 4. Kapat = Kartika (Karttika) / 5. Kalima = Margaçira (Manggasri) / 6. Kanĕm = Posya (Pusa) / 7. Kapitu = Magha (Manggakala) / 8. Kawolu = Phalguna (Palguna) / 9. Kasanga = Cétra (Sitra) / 10. Kasapuluh = Wéçaka (Wisaka) / 11. Désta = Jyéstha (Jita) / 12. Sadda = Asadha (Naya).
Dari data-data diatas terlihat suku bangsa Nusantara ternyata mampu membuat sistem kalender yang jauh lebih teliti atas pengaruh pergerakan makrokosmos dan mikrokosmos atas bumi Nusantara. Didalam prakteknya leluhur kita tidak hanya berpedoman atas masa edar Matahari dan Rembulan, tetapi juga memasukan pengaruh posisi Bintang (dikenal di era Majapahit sebagai SURYA - CHANDRA - KARTIKA AJI).

SEWELASAN

AGENDA

  • MENGOLEKSI
  • BERKEGIATAN
  • NAPAK TILAS

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget